“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.”
Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang.
“Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu.
Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
“Astaghfirullah, jangan malas begitu dong, Rin. Ini sudah hampir Ashar, kamu mandi dulu nanti tidur lagi,” kata Tristan.
“Tadi juga sudah mandi, menghabiskan air saja,” celetuk Irina.
“Bukan menghabiskan air, Irina. Tapi, enggak baik kalau ibu hamil mandi lewat jam lima sore,” gerundel Tristan kemudian sembari merapikan kamar mereka yang hampir seperti kapal pecah.
“Mitos,” tampik Irina tak memedulikan perkataan Tristan.
“Wallahualam, kamu ini juga masih sakit jadi, jangan menganggap remeh nasihat dari suami,” gumam Tristan kemudian.
“Kenapa kamu jadi sok berkuasa sih? Aku enggak minta kamu buat menikahiku, kok,” tandas Irina.
“Astaghfirullah, lebih baik sekarang kamu mandi ... terus kita Shalat Ashar bareng.” Tristan menghela napas panjang, lantas menyodorkan sebuah handuk mandi.
“Aku ‘kan hamil, buat apa sholat,” balas Irina.
“Astaghfirullahaladzim, justru meninggalkan sholat lima waktu adalah pantangan terbesar untuk muslimah yang sedang hamil. Lagi pula ukuran perut kamu masih belum terlalu besar, kamu enggak akan kesusahan melakukan saat melakukan ruku’ dan sujud,” ujar Tristan kemudian sedikit menggelengkan kepala atas perkataan istrinya.
“Jangan sok suci di hadapanku, aku enggak mempan dinasihati seperti itu,” ketus Irina.
Karena merasa sangat jenuh dengan Irina, Tristan menghiraukannya dan pergi untuk mengambil sapu di ujung ruangan tersebut tanpa memalingkan wajahnya kepada Irina. Entah mengapa, setelah dikatai seperti itu Tristan merasa harga dirinya sebagai suami seperti runtuh seketika. Namun, perkataan Irina memang benar adanya, Tristan adalah orang munafik yang hanya mencari pertolongan Allah ketika masa sulit saja.
“Benar, ‘kan?” tanya Irina.
“Mandi saja sana, kamu kelihatan begitu kelelahan setelah menjalani hipnoterapi,” kata Tristan acuh, “Kamu mau makan apa? Nanti aku buatkan, Mama sedang mampir ke rumah Kak Marissa mungkin ba’da Isya pulang.”
“Kamu masih tetap sama saja, selalu mengalihkan topik pembicaraan,” gerutu Irina.
“Astaghfirullahaladzim, bukannya aku mengalihkan topik pembicaraan. Aku Cuma enggak mau kita bertengkar karena hal sepele, Irina,” tutur Tristan dengan sedikit memelas.
“Kamu ....”
“Kenapa, Irina?”
“Setelah anak ini lahir, aku minta pisah. Enggak peduli mau kamu setuju atau enggak aku bakal minta pisah,” kata Irina cepat.
“Jangan bermain-main dengan kata ‘cerai’ Irina, asal kamu tahu perceraian itu sesuatu yang halal namun, paling dibenci oleh Allah SWT,” tegas Tristan, “Kamu jangan berbicara seperti itu.”
“Lagi pula apa yang harus dipertahankan? Kamu saja tak ingin mencintaiku untuk apa aku bertahan?” tanya Irina, “Aku cukup lelah dengan semua ini.”
***
“Makan yang banyak, kamu perlu gizi yang baik untuk anak kita,” kata Tristan sembari mengambil beberapa potong ayam saus mentega dan beberapa potong brokoli ke piring Irina.
Malam ini Irina tampak lebih lahap dari hari sebelumnya, karena menjalani hipnoterapi. Ia sudah mulai lebih baik dari hari sebelumnya, walaupun tidak seketika hasil terapinya, Irina tetap mengalami perubahan perilaku. Tristan tersenyum lega begitu melihat masakan di hadapannya tinggal sedikit karena disantap oleh Irina.
“Kalau mau menambah sayurnya bilang saja biar aku masakan lagi,” ujar Tristan.
“Enggak perlu, aku sudah kenyang, kok.” Irina menyudahi kunyahannya dan menumpuk piring miliknya di atas piring yang lain.
“Aku enggak apa-apa memasakkan kamu lagi, malah aku senang banget.”
Percakapan mereka terpotong ketika tiba-tiba saja seorang perempuan masuk tanpa mengucapkan salah dan langsung mengecup pipi kanan dan kiri Tristan. Tristan sangat terkejut akan hal itu tapi lidahnya kelu untuk berkata-kata, di tambah lagi Irina yang tiba-tiba menjatuhkan sendok ke atas piring dengan kesal dan pergi meninggalkan mereka berdua.
“Perempuan menyebalkan itu sungguh membuatku muak, bagaimana kalau kita makan sup wonton bersama?” dengan seulas senyum semringah perempuan yang kini berada di sisi kanan Tristan sembari mengangkat rantang plastik di tangan kanannya.
“Maaf Yerianna, sungguh tak sopan apabila seseorang masuk ke dalam rumah seseorang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu,” ucap Tristan, “Aku sudah sangat kenyang, ada baiknya sekarang kamu pulang karena aku enggak ingin Irina kembali marah kepadaku.”
“Apa kamu bilang?” tuntut Yerianna, “Kamu mengusirku, Tris?”
“Maaf beribu maaf, Yerianna ... aku sudah mengatakannya kemarin, aku benar-benar tak ingin membuat rumah tanggaku menjadi semakin kacau, kita sudah berhenti berhubungan.”
“Kamu membuangku hanya karena Irina? Kamu sedang mabuk atau kenapa hah? Kamu pikir ini lucu?” sergah Yerianna, “Buka matamu, aku membuat sup wonton ini untuk permintaan maafku karena kemarin aku menamparmu tapi, kamu malah mengusirku?”
“Aku menghargai usaha kamu untuk memberiku sup wonton itu sebagai permintaan maaf tapi, aku enggak suka kamu main menyelonong saja masuk ke rumah ini tanpa mengucap salam, ditambah lagi kamu melakukan hal yang tidak senonoh kepadaku,” kata Tristan.
“Tristan Hadiwira! Tolong jangan bercanda di hadapanku, aku tahu kamu hanya berpura-pura saja, ‘kan? Kamu hanya ingin ....”
“Yerianna aku mohon sama kamu tolong jauhi aku. Enggak, bukan menjauhiku tapi, menjaga jarak kepadaku. Kita masih bisa berteman namun, enggak untuk kembali berpacaran,” potong Tristan semakin membuat Yerianna merasa muak.
Yerianna meletakkan rantang plastik itu dengan keras di atas meja, menatap mata Tristan dengan tajam dengan mata berkaca-kaca.
“Sudah cukup, Yerianna,” lirih Tristan, “Aku enggak ingin menyakiti siapa pun, jadi tolong hargai keputusanku.”
“Kamu kenapa melakukan ini kepadaku, Tristan? Kenapa?” tanya Yerianna, “Aku selalu berharap bahwa ini hanyalah mimpi namun, nyatanya ini semua kenyataan.”
“Maaf, aku minta maaf sama kamu. Aku memang orang jahat, dan aku enggak mau kamu tambah merasa tersakiti seperti ini Yerianna, aku enggak mau kamu menangis lagi,” ungkap Tristan.
“Kamu tahu bahwa anak yang dikandung Irina itu bukan anakmu tapi, kenapa kamu rela menikahinya? Apakah kamu pikir aku enggak bisa memberimu anak? Aku bisa memberimu sebelas anak kalau kamu mau,” celoteh Yerianna dengan suara meninggi, jelas sekali gurat-gurat kekesalan itu semakin memuncak.
“Astaghfirullahaladzim, Yerianna. Aku enggak pernah berpikir seperti itu, aku hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahanku kepada Irina,” gumam Tristan.
“Sama saja, ‘kan? Kamu hanya ingin—“
“Istighfar! Aku sudah sangat lelah mendengar perkataan kamu yang terlalu egois! Aku melakukan ini karena aku merasa bersalah sudah mengerjai Irina, dan satu hal yang kamu harus tahu, aku sudah lelah bertengkar karena hal ini. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa dan harusnya kamu paham itu,” gerutu Tristan dengan kasar.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.
“Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya. Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda. “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi. Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri. “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tan
Prolog "Irina, tolong makan sedikit saja. Calon anak kita perlu makan, jangan menyiksa dia seperti ini." Entah sudah berapa kali Tristan meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di atas meja ruang tamu. Irina, wanita itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu menahan pilu, matanya sendu menyimpan air mata yang tak sanggup lagi ia turunkan, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak kunjung juga mereda. "Bagaimana kalau aku dulang?" tanya Tristan. Irina diam, pandangan matanya nanar menatap lurus ke depan. Tristan menghela napas pelan, lantas duduk di samping Irina. Tristan tahu bahwa perempuan yang sekarang sudah sah menjadi istrinya itu masih belum bisa menerima kenyataan dengan sepenuh hati ta