Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini.
Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk merincikan kondisi Irina beberapa bulan ini dalam sebuah kertas folio berukuran A4 yang kini ada di dalam map file, Tristan memeriksa kertas-kertas itu sebelum akhirnya menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka. Irina keluar dengan langkah perlahan, wajahnya masih terlihat belum ada perubahan, masih terlihat seperti menyimpan banyak beban yang berat. Jumpsuit berwarna tosca berlengan lonceng itu terlihat sangat cocok untuk Irina namun, sayangnya wajah Irina terlalu sedih untuk warna seceria itu. “Sudah selesai mandinya? Sini aku bantu untuk menyisir rambut kamu,” kata Tristan kepada Irina. Irina diam sejenak, menatap manik mata Tristan saat itu. Sedikit menggeleng kecil dan beranjak melangkah ke tempat tidur untuk duduk. Tanpa menunggu persetujuan Irina, Tristan mengambil sebuah sisir dan mengekori Irina. “Enggak perlu terlihat baik di depan semua orang,” keluh Irina acuh tak acuh. “Sayang, jangan berbicara seperti itu. Sini aku bantu untuk menyisirkan rambut kamu,” balas Tristan mengulurkan tangan untuk membuka cepolan rambut Irina yang terlihat kusut dan asal. Entah sudah berapa lama surai hitam mengkilap itu tak lagi bersinar dan tergerai bebas, Tristan sudah tidak ingat kapan terakhir kali melihat Irina dengan rambut hitam yang tergerai. Dengan perlahan Tristan membuka cepolan itu, rambut Irina tergerai dengan bebas namun, sangat kusut tak berbentuk. “Tristan apa yang kamu lakukan? Sudah kukatakan aku enggak mau ...,” protes Irina menampik tangan Tristan yang sebentar lagi akan membasahi rambutnya dengan vitamin rambut. “Aku hanya ingin membantu istriku untuk menyisirkan rambutnya yang indah,” jawab Tristan, “Sudah lama sekali aku enggak melihat istriku dengan rambut tergerai yang indah seperti untaian mutiara hitam yang mengkilap ketika diterpa cahaya.” “Aku enggak mau,” keluh Irina lagi bersikeras. Dengan sangat telaten, Tristan menyisiri Irina tak menghiraukan penolakan darinya. Setelah selesai Tristan menyisipkan beberapa helai rambut Irina di belakang telinga sembari menatap manik matanya dengan sangat intens. Tristan mengulum senyum tipis andalannya, membuat Irina sedikit terenyak karena melihat senyuman itu lagi. “Istriku ini sangat cantik,” sanjung Tristan kemudian. “Jangan bercanda,” sinis Irina, “Jangan pernah mengasihaniku lagi, aku sudah lelah melihat kebohongan kamu.” “Demi Allah, aku enggak berbohong. Istriku sangat cantik walaupun saat ini ia ada di masa-masa sulit seperti ini,” gumam Tristan lagi. Irina mengalihkan pandangannya, menjauhi tatapan mata Tristan yang mampu membuat perasaannya tidak stabil. Tristan menyadari itu dan segera meletakkan kembali sisir yang sedari tadi ia genggam, ia mengambil long cardigan yang sudah ia siapkan tadi. “Kamu pakai ini ya biar enggak kedinginan, biar bayi kita juga nyaman di perut kamu,” ucap Tristan. “Sudah berapa kali aku bilang kalau kamu enggak perlu mengasihaniku? Kamu tahu ‘kan bayi yang ada di perutku bukan anak kamu?!” sergah Irina tiba-tiba menjadi sangat emosional. “Astaghfirullah, istighfar Irina. Aku tahu itu bukan anak aku tapi, aku suami kamu ... otomatis bayi kamu ya bayi aku juga,” balas Tristan kemudian.*** Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang saat Tristan menggandeng tangan Irina masuk ke dalam lobi rumah sakit. Irina masih berjalan dengan kepada menunduk takut untuk melihat keadaan sekitarnya saat itu padahal Tristan dan Marrey sudah mengapitnya kanan dan kiri. Mereka akan berjalan menuju ruangan dokter Oriche yang sudah menunggu mereka bertiga. Irina berjalan sedikit tak beraturan ketika mendengar banyak suara langkah kaki dan suara tawa beberapa laki-laki yang tak jauh dari mereka. Irina juga hampir saja menangi kalau saja Tristan tidak mempererat genggaman tangannya untuk Irina. “Akhirnya Bapak dan Ibu sampai juga di sini, saya sudah menunggu sejak tadi, Pak. Sekarang kita langsung saja pergi ke ruangan kerja Dokter Laurent sebelum beliau pergi pulang,” ajak Dokter Oriche yang ternyata sudah menunggu mereka di depan ruangan. “Baik, Dok. Kita langsung ke sana saja karena Istri saya juga sudah tampak bertingkah aneh lagi,” gumam Tristan segera menyetujui. Tanpa menunggu lama Dokter Oriche mengangguk dan segera berjalan mendahului mereka bertiga membimbing ke sebuah ruangan yang ada di sudut paling pojok. Sepanjang perjalanan Irina sungguh ketakutan, Irina memainkan buku jarinya dengan tangan gemetar. “Tenang, Nak. Sebentar lagi kita sampai ke ruangan Dokter Laurent,” bisik Marrey sembari membenahi rambut Irina yang sudah tak rapi. Dokter Oriche berhenti di depan sebuah ruangan lantas mengetuk pintu bercat putih gading itu beberapa kali sebelum pada akhirnya seorang wanita dengan rambut bob sebahu keluar dan tersenyum ramah kepada mereka. “Selamat Siang, Dok. Ini pasien yang saya bicarakan kemarin,” ujar Dokter Oriche memperkenalkan Irina. Dokter perempuan itu tersenyum tipis, kemudian mengulurkan tangan kepada Irina, Tristan dan Marrey secara bergantian. “Dengan Bapak Hadiwira dan Ibu Hadiwira ya? Silakan masuk terlebih dahulu, Pak, Bu.” “Terima kasih banyak, Dok.” Tristan menjawab sembari membimbing Irina untuk masuk ke ruangan itu walaupun harus sedikit mengeluarkan tenaga karena Irina merasa ketakutan melihat ruangan itu. “Tidak ada apa-apa di dalam, Bu. Lagi pula kita bersama-sama masuk ke dalam,” kata Dokter Laurent. “Enggak!” tolak Irina. “Irina... ayo, masuk ke dalam, Nak. Kamu harus terapi agar cepat sembuh, kamu mau hidup dengan baik lagi ‘kan?” bujuk Marrey. Dengan sedikit terpaksa, akhirnya Tristan mengangkat tubuh Irina dan membawanya masuk ke dalam ruangan berukuran 3 x 4 itu, dan menerima pukulan yang begitu keras beberapa kali di punggungnya. Hal itu tak menyurutkan semangat Tristan untuk membawa Irina menjalani psikoterapi. “Bu Irina, Bu Irina tenang dulu ... saya hanya akan melakukan hipnoterapi kepada Bu Irina. Bu Irina hanya perlu mendengarkan perkataan saya dan mengikuti semua petunjuk saya,” ujar Dokter Laurent tepat di telinga kiri Irina. Suara rendah Dokter Laurent membuat Irina melunak, ia terlihat lebih tenang dan mau melepaskan cengkeramannya dari bahu Tristan. Ketika Irina sudah mulai tenang, Dokter Laurent memberikannya segelas air mineral dan memintanya untuk segera menghabiskannya. Beberapa detik kemudian, Dokter Laurent menyetel sebuah musik penghilang stres, dan memberikan bantal lembut kepada Irina. “Bu Irina sekarang berbaring saja di sini, dengarkan perkataan saya dan ikuti petunjuk saya. Bu Irina harus fokus akan perkataan saya, agar hipnoterapi yang Bu Irina lakukan berhasil.”
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.
“Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya. Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda. “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi. Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri. “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tan