Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna.
Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua.
“Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Tristan yang tiba-tiba masuk membawa segelas susu.
Irina terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan Tristan saat itu. Irina lebih memilih untuk berdiri dan melangkah ke depan, memperhatikan beberapa lampu yang terlihat begitu terang di kejauhan, Irina menghela napas panjang saat Tristan sampai di sampingnya.
“Kamu ini ditanyai malah diam saja, melihat apa, sih?” tanya Tristan penasaran, sembari mengikuti arah pandangan Irina kala itu.
“Jadi, kenapa kamu bertengkar dengan Yerianna? Kalian masih bisa berpacaran, kok. Aku enggak mau jadi orang ketiga di hubungan kalian,” kata Irina kemudian.
“Tak seharusnya kamu berbicara seperti itu karena kamu adalah istri sahku, justru Yerianna lah yang harus menjauhi rumah tangga kita,” tegas Tristan, “Aku enggak mau mendengar kamu berbicara seolah kamu itu orang yang merebutku dari Yerianna, semua ini sudah digariskan oleh Allah.”
“Jangan munafik, Tris. Kamu masih cinta, ‘kan sama Yerianna? Jujur saja, jangan bohong karena mau bagaimana pun aku bisa mengetahui kebohonganmu,” cetus Irina.
“Istighfar Irina, Istighfar. Jangan membahas hal ini terus menerus, kamu enggak perlu merasa bersalah kepada Yerianna, cukup!”
“Bagaimana aku enggak merasa bersalah?” tanya Irina kemudian dengan tangan terlipat di depan dada.
Tanpa menunggu lama Tristan menarik tangan Irina dan menyerahkan gelas berisi susu itu, kemudian beralih meninggalkan Irina yang masih terlihat sangat kesal karena Tristan tak menjawab pertanyaannya padahal ia ingin tahu bagaimana caranya agar Irina tak merasa bersalah terhadap Yerianna karena menyerobot tempat yang seharusnya ditempati oleh Yerianna—walaupun sebenarnya Irina sangat memimpikan tempat ini.
Irina mengekori Tristan yang sudah bersiap untuk keluar kamar membawa beberapa map file dan laptop miliknya, Tristan terlihat begitu kesal kepada Irina saat itu namun, masih terlihat memendam kekesalannya itu hingga terkumpul semua.
“Kenapa kamu suka sekali berlari dari masalah?” tanya Irina dengan nada yang begitu tinggi.
Membuat Tristan menoleh dalam keterkejutannya, menatap Irina dengan tatapan tak percaya bahwa perempuan itu menjadi sangat kasar dalam seketika. “Astaghfirullahaladzim ....”
“Berhenti terlihat sok suci di depanku, Tristan. Kamu bukan orang yang religius, dan aku mengetahui hal itu cukup baik. Kamu menikahiku karena kamu merasa bersalah ‘kan kepadaku? Kenapa? Apa enggak ada alasan lain selain itu? Kalau enggak ada kenapa kamu masih bertahan? Apa kamu ingin menampakkan sifat aslimu nanti saat aku sudah mulai membuka hati lagi untuk kamu?” tanya Irina penuh penekanan meminta penjelasan dari Tristan.
“Subhanallah, kenapa kamu punya pemikiran seperti itu, Irina? Kamu terlalu berburuk sangka kepada suamimu sendiri,” sungut Tristan.
“Jawab saja kenapa kamu melakukannya,” keluh Irina memalingkan wajahnya dan meletakkan gelas yang ada di genggamannya dengan keras ke atas meja santai hingga beberapa tetes isinya terciprat ke luar.
“Harusnya aku yang bertanya kepadamu, apa kamu enggak menyukaiku lagi? Karena hal ini? Karena kamu menganggap bahwa aku lah yang meminta orang-orang itu untuk memperkosamu di sana?”
“Memang benar, ‘kan? Kamu yang memintaku untuk ke sana, kamu selalu berbohong dan membuatku semakin tak percaya akan cinta,” gerutu Irina.
“Aku enggak pernah bermaksud seperti itu,” tandas Tristan.
“Kamu memang enggak bermaksud seperti itu namun, kamu melakukannya.”
***
Tepat jam sembilan malam Marrey diantarkan pulang oleh Mario ke rumah Tristan dan Irina, tanpa mampir terlebih dahulu. Malam itu juga sudah mulai turun rinai hujan berskala sedang, Marrey membawa beberapa masakan Marissa yang terlihat sangat lezat seperti opor ayam, pizza lipat, dan kue cubit.
“Nak, ini Kakak kamu membawakan beberapa buah tangan untuk istri kamu, ke mana dia? Apa sudah tidur?” tanya Marrey saat Tristan menyambutnya di pintu utama.
“Irina belum tidur, Ma. Kemungkinan sedang menonton televisi di kamar,” jawab Tristan kemudian.
“Kenapa? Kalian bertengkar lagi?” tebak Marrey yang menelisik air muka Tristan yang sepersekian detik terlihat berubah-ubah.
“Enggak ada apa-apa, kok. Cuma ada salah paham sedikit, Ma,” jawab Tristan kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Marrey membawakan barangnya masuk ke dalam.
Marrey terlihat menghela napas panjang, kemudian mengekori Tristan masuk ke dalam rumah tanpa lupa menutut rapat pintu utama rumah itu. Marrey melihat beberapa jejak keributan di ruang makan, membuatnya semakin bertanya-tanya apa yang terjadi antara Tristan dan Irina hingga ruangan itu sangat berantakan.
“Sebenarnya ... apa yang terjadi, Tristan? Apa kamu dan Irina bertengkar hebat? Lantas ini apa?” Marrey melirik rantang plastik yang masih bertengger di atas meja makan.
Tristan menghela napas. “Itu sup yang dibawa oleh Yerianna, Ma. Tadi dia datang ke sini dan masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, hal itu membuat Irina salah paham lagi kepadaku.”
“Astaghfirullahaladzim ... kok bisa-bisanya Yerianna datang ke rumah ini tanpa mengucapkan salam? Memangnya kamu belum memberitahu dia kalau kamu sudah menikah dengan Irina?” tanya Marrey.
“Mama pasti tahu kalau Yerianna enggak mau mendengarkan penjelasanku mengenai hal ini, ‘kan? Mama ... tahu sendiri kalau Yerianna pasti enggak akan rela juga melepaskan aku.”
Marrey mendengus kesal mendengar perkataan Tristan tadi. “Pantas saja kalau Irina menjadi salah paham, Tris. Coba kamu bayangkan, Irina istri kamu dia juga lagi hamil. Perempuan hamil perasaannya bisa lebih sensitif bahkan hanya dengan hal-hal kecil.”
“Tristan harus apa, Ma. Biar Irina enggak salah paham lagi sama Tristan, Tristan bingung banget ... Tristan minta maaf tapi, Irina tetap ngajak berdebat,” lirih Tristan.
Marrey mengedarkan pandangannya dan mendapati laptop dan beberapa map file milik Tristan di meja ruang tengah, sebentar kemudian Marrey melipat tangannya di depan dada dengan wajah penuh kekesalan. “Kamu ini bagaimana, kalau kamu ingin menjadi suami yang pengertian ya jangan kabur-kaburan begini dong. Kembali sana ke kamar, jangan kabur-kaburan ... shalat witir atau tahajjud sana.”
Tristan terdiam saat mendengar perkataan Marrey saat itu, sebenarnya ia juga tak ingin kabur seperti ini dari pertanyaan Irina beberapa saat yang lalu. Namun, ia sendiri juga tak paham bagaimana cara menjawab pertanyaan Irina yang terkesan memojokkannya.
Marrey menautkan alisnya seolah sedang bertanya-tanya mengapa Tristan kembali diam bukannya mengemasi isi map file miliknya dan kembali ke kamar.
“Kok malah melamun di sini?” tanya Marrey.
“Tristan enggak apa-apa, kok. Tristan kembali dulu ke kamar,” ucap Tristan kemudian segera beralih menghampiri laptop dan map file miliknya.
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.
“Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya. Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda. “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi. Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri. “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tan
Prolog "Irina, tolong makan sedikit saja. Calon anak kita perlu makan, jangan menyiksa dia seperti ini." Entah sudah berapa kali Tristan meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di atas meja ruang tamu. Irina, wanita itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu menahan pilu, matanya sendu menyimpan air mata yang tak sanggup lagi ia turunkan, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak kunjung juga mereda. "Bagaimana kalau aku dulang?" tanya Tristan. Irina diam, pandangan matanya nanar menatap lurus ke depan. Tristan menghela napas pelan, lantas duduk di samping Irina. Tristan tahu bahwa perempuan yang sekarang sudah sah menjadi istrinya itu masih belum bisa menerima kenyataan dengan sepenuh hati ta
Tristan mengusap pelan wajahnya dengan tangan kanan setelah memberikan salam di tasyahud akhir. Ia melipat kedua kakinya menjadi satu dan menyatukan tangan di depan dada untuk berdoa, mengadukan segala masalah yang saat ini melilit hidunya kepada sang Ilahi. Dengan sangat khusyuk ia menceritakan segalanya, tentang kegundahannya, tentang kebodohannya, tentang kejahatannya selama ini hingga tanpa terasa butiran bening itu menetes dari matanya. Kondisi ruangan ibadah sudah nyaris sepi karena jam sudah hampir setengah satu siang hanya tinggal beberapa rekan kerja Tristan yang merapikan karpet. “Ya Allah, sungguh, aku memohon kepada-Mu maaf dan kekuatan pada agama, dunia, dan akhirat. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku