Tristan mengusap pelan wajahnya dengan tangan kanan setelah memberikan salam di tasyahud akhir. Ia melipat kedua kakinya menjadi satu dan menyatukan tangan di depan dada untuk berdoa, mengadukan segala masalah yang saat ini melilit hidunya kepada sang Ilahi.
Dengan sangat khusyuk ia menceritakan segalanya, tentang kegundahannya, tentang kebodohannya, tentang kejahatannya selama ini hingga tanpa terasa butiran bening itu menetes dari matanya. Kondisi ruangan ibadah sudah nyaris sepi karena jam sudah hampir setengah satu siang hanya tinggal beberapa rekan kerja Tristan yang merapikan karpet.
“Ya Allah, sungguh, aku memohon kepada-Mu maaf dan kekuatan pada agama, dunia, dan akhirat. Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupun sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kulakukan. Ya Allah, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”
“Aamiin Allahumma Aamiin,” lirih beberapa teman Tristan yang masih menunggunya selesai berdoa.
“Bimbinglah aku agar bisa menjadi imam yang berhati lapang, bertanggung jawab, dan amanah. Aamiin Allahumma Aamiin.” Setelah itu Tristan kembali menyapu wajahnya dengan kedua tangan yang masih merapat.
“Sudah selesai?” tanya Doy kemudian.
Tristan menghela napas panjang, menahannya sejenak sebelum menjawab pertanyaan Doy. “Aku sudah selesai, kok. Maaf, membuat kalian menunggu lama.”
“Sebenarnya kami enggak mempermasalahkan hal itu, kami Cuma mau memastikan kalau kamu benar-benar beribadah dengan baik walaupun menggunakan buku tuntunan sholat itu. Ini adalah sebuah progres yang baik untuk kehidupan kamu, Tris. Sudah saatnya kamu bertaubat, Allah akan senantiasa mendengar curhatmu jikalau kamu berniat dengan sungguh-sungguh untuk bertaubat,” kata Yudha.
Tristan terdiam, masih dengan posisi duduk bersila, ia memandangi buku tuntunan sholat yang diambilkan Doy dari lemari buku. Baru kali ini ia merasakan sebuah perasaan tenang yang luar biasa dalam hidupnya, serasa setiap masalah yang melilitnya perlahan terbuka satu per satu hingga ia bisa bernapas dengan lega.
“Sekarang kamu menjadi lebih tenang, bukan? Itulah salah satu keutamaan sholat yakni menjadi penolong. Dalam surat Al Baqarah ayat 153 Allah SWT menjelaskan perihal sabar dan hikmah yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing. Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya.”
“Bagaimana caranya agar taubatku diterima oleh-Nya?” tanya Tristan kemudian.
“Dengan mengakui segala dosa yang telah menumpuk selama ini. Sampaikan pada Allah SWT melalui doa, sampaikan segala penyesalan Anda dengan penuh permohonan maaf,” jawab Yudha kemudian.
“Terima kasih, kalian selalu menuntunku untuk kembali ke jalan yang benar. Kalian benar-benar teman yang baik, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian selama ini,” ucap Tristan.
“Bukankah sudah seharusnya seperti itu? Kita harus saling mengingatkan sebagai saudara,” balas Doy.
Percakapan mereka akhirnya harus berhenti karena dentingan bel yang menandakan bahwa jam kerja akan segera dimulai kembali. Tristan, Doy, dan Yudha segera bergegas merapikan tempat beribadah itu sebelum akhirnya pergi untuk kembali bekerja.
***
Malam itu Tristan pulang tepat saat azan magrib berkumandang, memanggil setiap umat Allah untuk segera menegakkan tiang agama. Tristan pulang bersama dengan Marrey, ibu kandung Tristan. Tristan memang sengaja untuk mengundang Ibunya untuk menginap beberapa lama di rumahnya untuk mengawasi Irina mengingat kondisi psikologis Irina yang masih belum pulih seutuhnya.
Tristan tak tahu harus meminta bantuan ke siapa lagi kalau bukan pada Ibu kandungnya sendiri karena setelah kejadian hari itu Irina benar-benar dikucilkan oleh keluarganya. Tentu saja hal itu semakin membuat Tristan ikut merasa bersalah, bahkan amat merasa frustrasi akibat hal itu.
“Assalamualaikum....” Marrey mengucapkan salam saat baru saja memasuki ruang tamu, berharap mendapatkan jawaban dari menantunya.
Namun, hanya kesunyian yang didapatkan mereka berdua, lampu di ruang tengah hingga dapur belum menyala satu pun kecuali sebuah lampu dinding yang menempel di sekat dapur dan ruang tengah. Tristan menghela napas panjang, sebelum akhirnya menyalakan senter dari ponsel untuk membantu mencari saklar dan menyalakan lampu.
“Maaf, Ma. Mungkin Irina ketiduran jadi enggak sempat menyalakan lampu,” kata Tristan sedikit canggung.
Marrey mengangguk perlahan seolah paham situasinya. “Enggak apa-apa, kok. Sekarang kamu mandi saja dulu, terus bangunkan Irina untuk makan malam. Mama mau membuatkan sup ayam untuk Irina.”
“Mama ‘kan baru sampai di sini, kenapa repot-repot ingin memasak? Biar Tristan saja yang masak, Ma. Mama istirahat dulu di kamar,” ucap Tristan merasa tak enak.
Marrey tertawa renyah, “Kamu ini seperti baru mengenal Mama saja, Mama ini suka sekali memasak jadi, enggak ada salahnya ‘kan kalau Mama mau memasakkan menantu Mama.”
“Tapi, Ma ....”
“Sudah kamu mandi saja dulu, setelah itu kamu sholat, dan makan malam. Kamu ajak Irina sholat juga biar dia sedikit tenang,” ujar Marrey.
“Baik, Ma.” Tristan hanya bisa pasrah mendengar kata Marrey yang memang susah ditentang.
Tristan mengetahui bahwa hati Ibunya itu memang selembut kapas dan tidak akan tega membenci Irina dengan lama karena Marrey juga melihat dengan jelas bagaimana perlakuan keluarga besar Irina saat di hari pernikahan. Marrey memang marah di hari itu karena sangat kecewa kepada Tristan yang tiba-tiba mengatakan ingin menikahi seseorang yang menjadi korban pelecehan seksual, Marrey tak paham kala itu bahwa Tristan hanya ingin menyelamatkan nama baik keluarga besarnya juga keluarga besar Irina.
“Kok masih di sini?” tanya Marrey saat menyadari bahwa Tristan masih berdiri di sebelahnya.
“Eum iya, Ma. Tristan mau tanya, pa kita perlu membawa Irina ke psikolog esok hari?”
Marrey yang sedang mempersiapkan bahan makanan berpaling, menatap Tristan. “Memangnya kenapa? Bukankah sudah dijadwalkan oleh dokter yang merawat Irina kemarin?”
“Pagi tadi ... Irina hampir saja menyayat nadinya dengan pisau ini.” Tristan menunjukkan sebuah pisau roti bergerigi yang masih ada di atas tempat piring kotor.
“Kamu tetap meminumkan antidepresan kepada Irina, ‘kan?” tanya Marrey kemudian.
“Benar, Ma. Walaupun terkadang ditolak mentah-mentah olehnya,” jawab Tristan.
“Kalau begitu....”
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara pecahan kaca dari lantai atas, hal ini tentu saja membuat Tristan semakin panik dan tanpa pikir panjang langsung meninggalkan Marrey di lantai bawah. Ia sangat takut apabila Irina kembali melakukan hal yang sama seperti pagi tadi dengan pecahan kaca itu, ia juga tak lupa untuk merutuki dirinya sendiri yang sangat ceroboh meninggalkan gelas air minum berbahan kaca di nakas.
“Irina,” panggil Tristan sembari membuka sebuah pintu kayu jati yang masih tertutup rapat, Ia masuk ke dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter itu sedikit gugup. Tristan melihat Irina terduduk di lantai dengan tangan yang berdarah, dengan segera Tristan menghampiri Irina membawa sebuah kemoceng yang tergantung di dekat pintu masuk. Dengan sangat panik Tristan mengumpulkan pecahan beling tersebut, keringat dingin sudah mengucur dengan deras saat melihat luka Irina yang terus mengeluarkan darah. “Tunggu sebentar aku akan mengambil air untuk membersihkan lukanya, tahan dulu dengan ini,” kata Tristan sembari memberikan sebuah sapu tangan seperti handuk kepada Irina. Irina diam tak bergeming, membuat Tristan menghela napas panjang diambang emo
“Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.” Perkataan menohok dari Irina tadi sore amatlah membekas dalam ingatan Tristan, bahkan dalam keadaan sholat pun ia masih terpikirkan perkataan Irina, membuat sholatnya sedikit tak khusyuk. Tristan tahu dengan jelas apa maksud Irina tadi, hal itulah yang membuatnya merasa tertohok. Tristan mengecewakan Irina bukan hanya sekali saja namun, berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya. Irina masih saja berusaha meyakinkan Tristan bahwa ia menyukainya, dan sangat berusaha membuat hati Tristan terbuka untuknya. Berkali-kali terjatuh namun, tetap berpura-pura tak terluka itulah Irina, berulang kali Tristan mengerjainya berulang kali juga Irina terlihat baik-baik saja, bahkan Irina tak p
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi namun, Irina belum juga bangun. Ia masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badannya. Tristan sudah sedari tadi membawakan sarapan untuk Irina, yang mungkin saja saat ini makanan itu sudah mulai menjadi dingin. “Kok belum di makan sih sarapannya? Apa kamu mau sesuatu yang lain?” tanya Tristan entah sudah ke berapa kalinya. Irina diam seribu bahasa, tak ingin menjawab ataupun berinteraksi dengan Tristan sebagaimana mestinya sepasang suami istri. Mereka lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sepasang suami istri. Tak seberapa lama Tristan menghampiri Irina dan mengambil piring berisi makanan itu berniat untuk menyuapi Irina. “Pengen aku dulang?” tanya Tristan sembari menyodorkan ses
“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu. Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.” “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat. “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian. “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey. “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Iri
“Kamu?” Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu. “Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar. “Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata. “Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut. “Yerianna... aku ....”
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.