Beranda / Romansa / Turn Back Time / 03. Barak Senja

Share

03. Barak Senja


       “Irina,” panggil Tristan sembari membuka sebuah pintu kayu jati yang masih tertutup rapat, Ia masuk ke dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter itu sedikit gugup.

       Tristan melihat Irina terduduk di lantai dengan tangan yang berdarah, dengan segera Tristan menghampiri Irina membawa sebuah kemoceng yang tergantung di dekat pintu masuk. Dengan sangat panik Tristan mengumpulkan pecahan beling tersebut, keringat dingin sudah mengucur dengan deras saat melihat luka Irina yang terus mengeluarkan darah.

       “Tunggu sebentar aku akan mengambil air untuk membersihkan lukanya, tahan dulu dengan ini,” kata Tristan sembari memberikan sebuah sapu tangan seperti handuk kepada Irina.

       Irina diam tak bergeming, membuat Tristan menghela napas panjang diambang emosinya. “Astagfirullah ... Irina kamu dengar aku, ‘kan?”

       Irina tetap diam, tatapannya benar-benar kosong saat menatap wajah Tristan, keringat dingin juga membasahi dahi Irina saat itu membuat Tristan dengan refleks menyapunya menggunakan sapu tangan di genggamannya, membuat Irina tersentak dan mundur  perlahan menjauhi Tristan.

        “Irina ... kamu baik-baik saja?” tanya Tristan, “Kamu bermimpi buruk lagi?”

        Irina tetap diam tak menjawab pertanyaan Tristan, ia memeluk lututnya sendiri dan meringkuk. Hal ini membuat Tristan sungguh bingung tak mengerti harus berbuat apa selain mengucap istigfar dan berusaha membujuk Irina untuk mengobati lukanya. Irina masih tak mengindahkan perkataan Tristan sampai pada akhirnya Irina bertingkah aneh, Irina tampak begitu ketakutan ketika mendengar langkah kaki milik Marrey yang menghampiri kamar mereka, Irina tergagap sembari menutup kedua telinganya.

       “Irina kamu kenapa?” tanya Tristan, “Itu Mama, aku sengaja mengajak Mama ke sini untuk menemani kamu kalau aku kerja.”

       “Enggak! Pergi! Pergi !” jerit Irina.

       “Irina ini aku,” ucap Tristan berusaha menenangkan Irina.

        “Enggak! Jangan sentuh aku!” Irina tetap menjerit histeris, menampik uluran tangan Tristan berulang kali.

       “Irina ... Irina ... istighfar Irina ... ini aku sama Mama,” gumam Tristan lagi.

       “Jangan sentuh aku! Pergi!” Lagi dan lagi Irina tampak begitu ketakutan dan berusaha menjauhi Tristan sekuat tenaga.

      Marrey yang baru saja masuk ke kamar itu juga sangat terkejut saat menyadari Irina mulai bertingkah aneh, Marrey mencoba mendekati dan membantu menenangkan Irina. Marrey menarik tubuh Irina perlahan ke dalam rengkuhannya dan berusaha memeluknya erat sembari membisikkan beberapa sugesti agar Irina bisa tenang. Hal itu cukup lama berlangsung karena Irina masih sangat ketakutan, menangis tak karuan.

       “Irina tenang, Nak. Ini Mama sama Tristan, jangan khawatir ... bocah-bocah nakal itu sudah menjadi buronan. Pasti akan cepat tertangkap oleh polisi,” ujar Marrey mengelus puncak kepala Irina yang masih sesenggukan.

       “Enggak ....”

        “Istigfar, Nak. Kamu minum obat dulu ya.” Marrey melepaskan rengkuhannya kemudian mengambil botol obat yang memang disiapkan di atas nakas oleh Tristan.

       Marrey mengeluarkan beberapa butir obat lantas meminta Tristan untuk mengambilkan air yang baru sembari membuat limbah kaca yang sudah ia kumpulkan dengan kemoceng.

***

      Suasana di meja makan malam itu teramat hening, tak ada pembicaraan yang penting di antara mereka melainkan hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring sesekali juga dispenser di ujung ruangan menyapa dengan suara getarannya. Marrey mengambil beberapa potong udang dan meletakkannya di piring Irina juga Tristan.

       “Makan yang banyak, Mama memasakkan ini khusus untuk kalian berdua,” ujar Marrey mencoba mencairkan suasana.

        “Terima kasih, Ma,” balas Tristan lantas melirik Irina yang duduk di sampingnya dalam diam.

       Wajahnya masih terlihat sangat sayu menyimpan beribu kepedihan hidupnya, tak mengucapkan sepatah kata pun setelah meneguk obat penenang hingga duduk di samping Tristan saat ini, di piringnya masih penuh nasi dan lauk pauk yang hanya dimainkan asal hingga bercampur jadi satu.

       “Irina ... habiskan makanannya, kamu perlu makanan bergizi sekarang, apalagi sekarang kamu ‘kan sedang berbadan dua,” ucap Tristan kemudian.

        Marrey tersenyum lantas mengangguk perlahan. “Iya, kamu ‘kan sedang berbadan dua... mulai sekarang kamu harus makan-makanan bergizi dan minum obat biar cepat sembuh.”

       Irina menyerana tak merespons mereka berdua, hanya memainkan makanan yang ada dipiringnya dengan mulut komat-kamit seperti sedang menggerutu namun tak terdengar oleh Tristan ataupun Marrey.

       “Atau kamu ingin makan sesuatu?” tanya Tristan kemudian sembari mengulas senyum terbaiknya, berharap Irina akan merespons.

      “Aku ingin nanas muda,” ucap Irina kemudian.

      “Nanas muda?” ulang Marrey sedikit terkejut. “Nak, kamu ‘kan sedang hamil muda jadi, Mama pikir untuk mengonsumsi buah nanas kamu perlu konsultasi dulu ke dokter kandungan.”

      “Benar kata Mama, Irina. Kalau kamu ingin makan nanas ada baiknya kita konsultasi ke dokter dulu, aku takut kalau memberikannya secara langsung dan membuatmu juga bayi kita kenapa-kenapa,” ucap Tristan, “Bagaimana kalau makanan yang lain? Misalnya bakso beranak pedas, samyang hot chicken, atau seblak sosis? Aku belikan sekarang juga.”

         “Kalau begitu aku ingin cytotec,” balas Irina dingin.

       “Astagfirullah Irina ... kok tiba-tiba kamu menginginkan cytotec? Kamu ‘kan sedang hamil, jangan melakukan hal jahat kepada dia, Nak. Janin yang ada di dalam perut kamu enggak salah apa-apa, jangan melakukan hal yang akan menyakiti dirimu sendiri,” tegur Marrey.

       Irina terdiam seketika, tangannya meremas ujung genggaman garpu amat erat, matanya kembali berkaca-kaca ingin menangis. Tristan hanya bisa mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Irina, tangannya bergetar karena itu adalah kali pertama Tristan mengusap puncak kepala Irina setelah sekian lama berkenalan.

       “Irina ... kita mulai semuanya dari awal lagi, ya? Kita mulai semuanya dari nol lagi... mulai sekarang aku janji sama kamu, aku akan belajar untuk mencintai kamu setulus hati aku, aku akan menanggung semuanya,” ungkap Tristan, “Semuanya memang terlambat tapi, selalu ada kesempatan kedua, mungkin dimasa lalu kita pernah melakukan kesalahan, namun tak akan ada kata terlambat untuk memperbaiki segalanya. Izinkan aku untuk memulai kembali dan memberikan yang terbaik.”

     Marrey mengangguk setuju kepada Tristan, kemudian ia merapatkan kedua tangannya menjadi satu sembari menatap Tristan dan Irina yang masih saling tak sepaham. Marrey paham akan kondisi Irina yang sangat terpuruk saat ini lantaran tak diterima baik oleh lingkungan keluarga juga masyarakat di sekitarnyanakibat pelabelan ‘wanita pramunikmat’ yang nyatanya Irina tidaklah seperti itu, Irina adalah korban dari nafsu-nafsu liar anak jalanan yang kurang ajar itu. Irina tertekan hingga mengalami depresi mayor, terlebih lagi sekarang ini Irina mengandung jabang bayi dari anak-anak nakal itu yang tentu saja membuatnya semakin berkeinginan untuk bunuh diri.

       Di sisi lain, Marrey juga paham kondisi anak bungsunya, Tristan. Ia memanglah anak yang tergolong sebagai anak nakal di pandangan beberapa orang, Tristan memanglah suka bercanda secara berlebihan kepada setiap orang namun, Tristan juga bukanlah malaikat yang tak bisa merasakan anxienty disorder. Sehari setelah Tristan mendapatkan kabar mengejutkan mengenai kejadian buruk yang menimpa Irina setelah Tristan memintanya bertemu di terminal, Tristan menjadi sangat cemas dan merasa bersalah bahkan Marrey tak bisa menenangkannya seorang diri.

       Kini mereka berdua terjebak dalam kedua kondisi yang sama, terperangkap dalam biduk rumah tangga tanpa adanya cinta yang melatarbelakangi.

        “Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian, Nak. Mama tahu ini semua sangatlah sulit untuk dilalui tapi, percayalah Allah tidak pernah tertidur. Allah akan membantu umatnya sesulit apa pun masalah yang di hadapi, kita hanya perlu terus berdoa dan meminta pertolongan-Nya,” ucap Marrey kemudian.

       Irina menjatuhkan garpunya secara tiba-tiba. “ Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.”


Unichias

Di revisi dulu beberapa part. Selamat membaca 💚

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status