“Irina,” panggil Tristan sembari membuka sebuah pintu kayu jati yang masih tertutup rapat, Ia masuk ke dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter itu sedikit gugup.
Tristan melihat Irina terduduk di lantai dengan tangan yang berdarah, dengan segera Tristan menghampiri Irina membawa sebuah kemoceng yang tergantung di dekat pintu masuk. Dengan sangat panik Tristan mengumpulkan pecahan beling tersebut, keringat dingin sudah mengucur dengan deras saat melihat luka Irina yang terus mengeluarkan darah.
“Tunggu sebentar aku akan mengambil air untuk membersihkan lukanya, tahan dulu dengan ini,” kata Tristan sembari memberikan sebuah sapu tangan seperti handuk kepada Irina.
Irina diam tak bergeming, membuat Tristan menghela napas panjang diambang emosinya. “Astagfirullah ... Irina kamu dengar aku, ‘kan?”
Irina tetap diam, tatapannya benar-benar kosong saat menatap wajah Tristan, keringat dingin juga membasahi dahi Irina saat itu membuat Tristan dengan refleks menyapunya menggunakan sapu tangan di genggamannya, membuat Irina tersentak dan mundur perlahan menjauhi Tristan.
“Irina ... kamu baik-baik saja?” tanya Tristan, “Kamu bermimpi buruk lagi?”
Irina tetap diam tak menjawab pertanyaan Tristan, ia memeluk lututnya sendiri dan meringkuk. Hal ini membuat Tristan sungguh bingung tak mengerti harus berbuat apa selain mengucap istigfar dan berusaha membujuk Irina untuk mengobati lukanya. Irina masih tak mengindahkan perkataan Tristan sampai pada akhirnya Irina bertingkah aneh, Irina tampak begitu ketakutan ketika mendengar langkah kaki milik Marrey yang menghampiri kamar mereka, Irina tergagap sembari menutup kedua telinganya.
“Irina kamu kenapa?” tanya Tristan, “Itu Mama, aku sengaja mengajak Mama ke sini untuk menemani kamu kalau aku kerja.”
“Enggak! Pergi! Pergi !” jerit Irina.
“Irina ini aku,” ucap Tristan berusaha menenangkan Irina.
“Enggak! Jangan sentuh aku!” Irina tetap menjerit histeris, menampik uluran tangan Tristan berulang kali.
“Irina ... Irina ... istighfar Irina ... ini aku sama Mama,” gumam Tristan lagi.
“Jangan sentuh aku! Pergi!” Lagi dan lagi Irina tampak begitu ketakutan dan berusaha menjauhi Tristan sekuat tenaga.
Marrey yang baru saja masuk ke kamar itu juga sangat terkejut saat menyadari Irina mulai bertingkah aneh, Marrey mencoba mendekati dan membantu menenangkan Irina. Marrey menarik tubuh Irina perlahan ke dalam rengkuhannya dan berusaha memeluknya erat sembari membisikkan beberapa sugesti agar Irina bisa tenang. Hal itu cukup lama berlangsung karena Irina masih sangat ketakutan, menangis tak karuan.
“Irina tenang, Nak. Ini Mama sama Tristan, jangan khawatir ... bocah-bocah nakal itu sudah menjadi buronan. Pasti akan cepat tertangkap oleh polisi,” ujar Marrey mengelus puncak kepala Irina yang masih sesenggukan.
“Enggak ....”
“Istigfar, Nak. Kamu minum obat dulu ya.” Marrey melepaskan rengkuhannya kemudian mengambil botol obat yang memang disiapkan di atas nakas oleh Tristan.
Marrey mengeluarkan beberapa butir obat lantas meminta Tristan untuk mengambilkan air yang baru sembari membuat limbah kaca yang sudah ia kumpulkan dengan kemoceng.
***
Suasana di meja makan malam itu teramat hening, tak ada pembicaraan yang penting di antara mereka melainkan hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring sesekali juga dispenser di ujung ruangan menyapa dengan suara getarannya. Marrey mengambil beberapa potong udang dan meletakkannya di piring Irina juga Tristan.
“Makan yang banyak, Mama memasakkan ini khusus untuk kalian berdua,” ujar Marrey mencoba mencairkan suasana.
“Terima kasih, Ma,” balas Tristan lantas melirik Irina yang duduk di sampingnya dalam diam.
Wajahnya masih terlihat sangat sayu menyimpan beribu kepedihan hidupnya, tak mengucapkan sepatah kata pun setelah meneguk obat penenang hingga duduk di samping Tristan saat ini, di piringnya masih penuh nasi dan lauk pauk yang hanya dimainkan asal hingga bercampur jadi satu.
“Irina ... habiskan makanannya, kamu perlu makanan bergizi sekarang, apalagi sekarang kamu ‘kan sedang berbadan dua,” ucap Tristan kemudian.
Marrey tersenyum lantas mengangguk perlahan. “Iya, kamu ‘kan sedang berbadan dua... mulai sekarang kamu harus makan-makanan bergizi dan minum obat biar cepat sembuh.”
Irina menyerana tak merespons mereka berdua, hanya memainkan makanan yang ada dipiringnya dengan mulut komat-kamit seperti sedang menggerutu namun tak terdengar oleh Tristan ataupun Marrey.
“Atau kamu ingin makan sesuatu?” tanya Tristan kemudian sembari mengulas senyum terbaiknya, berharap Irina akan merespons.
“Aku ingin nanas muda,” ucap Irina kemudian.
“Nanas muda?” ulang Marrey sedikit terkejut. “Nak, kamu ‘kan sedang hamil muda jadi, Mama pikir untuk mengonsumsi buah nanas kamu perlu konsultasi dulu ke dokter kandungan.”
“Benar kata Mama, Irina. Kalau kamu ingin makan nanas ada baiknya kita konsultasi ke dokter dulu, aku takut kalau memberikannya secara langsung dan membuatmu juga bayi kita kenapa-kenapa,” ucap Tristan, “Bagaimana kalau makanan yang lain? Misalnya bakso beranak pedas, samyang hot chicken, atau seblak sosis? Aku belikan sekarang juga.”
“Kalau begitu aku ingin cytotec,” balas Irina dingin.
“Astagfirullah Irina ... kok tiba-tiba kamu menginginkan cytotec? Kamu ‘kan sedang hamil, jangan melakukan hal jahat kepada dia, Nak. Janin yang ada di dalam perut kamu enggak salah apa-apa, jangan melakukan hal yang akan menyakiti dirimu sendiri,” tegur Marrey.
Irina terdiam seketika, tangannya meremas ujung genggaman garpu amat erat, matanya kembali berkaca-kaca ingin menangis. Tristan hanya bisa mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Irina, tangannya bergetar karena itu adalah kali pertama Tristan mengusap puncak kepala Irina setelah sekian lama berkenalan.
“Irina ... kita mulai semuanya dari awal lagi, ya? Kita mulai semuanya dari nol lagi... mulai sekarang aku janji sama kamu, aku akan belajar untuk mencintai kamu setulus hati aku, aku akan menanggung semuanya,” ungkap Tristan, “Semuanya memang terlambat tapi, selalu ada kesempatan kedua, mungkin dimasa lalu kita pernah melakukan kesalahan, namun tak akan ada kata terlambat untuk memperbaiki segalanya. Izinkan aku untuk memulai kembali dan memberikan yang terbaik.”
Marrey mengangguk setuju kepada Tristan, kemudian ia merapatkan kedua tangannya menjadi satu sembari menatap Tristan dan Irina yang masih saling tak sepaham. Marrey paham akan kondisi Irina yang sangat terpuruk saat ini lantaran tak diterima baik oleh lingkungan keluarga juga masyarakat di sekitarnyanakibat pelabelan ‘wanita pramunikmat’ yang nyatanya Irina tidaklah seperti itu, Irina adalah korban dari nafsu-nafsu liar anak jalanan yang kurang ajar itu. Irina tertekan hingga mengalami depresi mayor, terlebih lagi sekarang ini Irina mengandung jabang bayi dari anak-anak nakal itu yang tentu saja membuatnya semakin berkeinginan untuk bunuh diri.
Di sisi lain, Marrey juga paham kondisi anak bungsunya, Tristan. Ia memanglah anak yang tergolong sebagai anak nakal di pandangan beberapa orang, Tristan memanglah suka bercanda secara berlebihan kepada setiap orang namun, Tristan juga bukanlah malaikat yang tak bisa merasakan anxienty disorder. Sehari setelah Tristan mendapatkan kabar mengejutkan mengenai kejadian buruk yang menimpa Irina setelah Tristan memintanya bertemu di terminal, Tristan menjadi sangat cemas dan merasa bersalah bahkan Marrey tak bisa menenangkannya seorang diri.
Kini mereka berdua terjebak dalam kedua kondisi yang sama, terperangkap dalam biduk rumah tangga tanpa adanya cinta yang melatarbelakangi.
“Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian, Nak. Mama tahu ini semua sangatlah sulit untuk dilalui tapi, percayalah Allah tidak pernah tertidur. Allah akan membantu umatnya sesulit apa pun masalah yang di hadapi, kita hanya perlu terus berdoa dan meminta pertolongan-Nya,” ucap Marrey kemudian.
Irina menjatuhkan garpunya secara tiba-tiba. “ Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.”
Di revisi dulu beberapa part. Selamat membaca 💚
“Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.” Perkataan menohok dari Irina tadi sore amatlah membekas dalam ingatan Tristan, bahkan dalam keadaan sholat pun ia masih terpikirkan perkataan Irina, membuat sholatnya sedikit tak khusyuk. Tristan tahu dengan jelas apa maksud Irina tadi, hal itulah yang membuatnya merasa tertohok. Tristan mengecewakan Irina bukan hanya sekali saja namun, berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya. Irina masih saja berusaha meyakinkan Tristan bahwa ia menyukainya, dan sangat berusaha membuat hati Tristan terbuka untuknya. Berkali-kali terjatuh namun, tetap berpura-pura tak terluka itulah Irina, berulang kali Tristan mengerjainya berulang kali juga Irina terlihat baik-baik saja, bahkan Irina tak p
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi namun, Irina belum juga bangun. Ia masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi setengah badannya. Tristan sudah sedari tadi membawakan sarapan untuk Irina, yang mungkin saja saat ini makanan itu sudah mulai menjadi dingin. “Kok belum di makan sih sarapannya? Apa kamu mau sesuatu yang lain?” tanya Tristan entah sudah ke berapa kalinya. Irina diam seribu bahasa, tak ingin menjawab ataupun berinteraksi dengan Tristan sebagaimana mestinya sepasang suami istri. Mereka lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sepasang suami istri. Tak seberapa lama Tristan menghampiri Irina dan mengambil piring berisi makanan itu berniat untuk menyuapi Irina. “Pengen aku dulang?” tanya Tristan sembari menyodorkan ses
“Apa kata dokter tadi?” tanya Marrey tampak bingung dengan wajah Tristan yang terlihat bimbang setelah menelepon dokter itu. Tristan duduk di hadapan Marrey, melipat kedua tangannya dengan rapi. “Dokter Oriche mengatakan bahwa Irina bisa sembuh dengan terapi.” “Kalau begitu langsung kita ambil saja,” ujar Marrey cepat. “Mama setuju dengan terapi yang akan dilakukan oleh mereka? Kalau Mama setuju besok setelah pulang kerja aku akan menemui Dokter Oriche untuk membicarakan ini,” kata Tristan kemudian. “Kalau tujuannya baik, pastinya Mama setuju,” balas Marrey. “Baiklah, Ma. Aku akan menengok Iri
“Kamu?” Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu. “Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar. “Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata. “Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut. “Yerianna... aku ....”
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Karina, tolong makan sedikit saja. Bayi kita perlu makanan yang bergizi ... kamu jangan seperti ini, kamu bisa menyakitinya.” Entah sudah berapa kali Marshal meminta istrinya itu menyentuh makanan yang sudah mendingin di hadapannya. Karina, wanita yang sudah sah menjadi istri Marshal itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya kuyu, matanya sendu menyimpan kepiluan hidupnya, sesekali matanya bergetar ingin menumpahkan emosi yang tak juga kunjung mereda. “Aku suapin, ya?” tawar Marshal lagi. Karina diam, pandangan matanya kosong ke depan. Marshal menghela napas pelan, lantas duduk di samping Karina. Marshal tahu bahwa istrinya itu masih belum bisa menerima dirinya dengan sepenuh hati tapi, Marshal harus tetap menepati janji sakral yang sudah ia ucapkan sendiri. “Karina, tolong dengar aku ... bayi kita perlu makanan agar dia bisa tumbuh sehat di dalam perut kamu, kalau kamu enggak makan dia pasti juga ikut kelaparan,” ucap Marshal seraya mengambil tan
Irina meletakkan secangkir americano yang masih mengepulkan asap tipis di hadapan Tristan, setelah makan malam Tristan memang menonton televisi di kamar namun, Irina merasa bahwa Tristan tak sedang menyimak acara yang ditayangkan malam itu. “Kamu benaran enggak mempunyai masalah?” tanya Irina lagi. Tristan menghela napas panjang. “Kenapa kamu repot-repot membuat kopi dan membawanya naik? Kalau tumpah bisa jadi bahaya buat kamu sama calon anak kita.” Irina mengernyitkan dahinya merasa aneh, kemudian ikut menjatuhkan tubuhnya di sebelas kiri Tristan namun, masih memberikan sedikit celah di antara mereka. “Enggak mau mepet-mepet ke dekatku?” tanya Tristan ketika menyadari adanya celah tersebut.
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m