“Kamu?”
Tristan tertegun saat melihat perempuan yang ada di hadapannya saat itu, ia adalah perempuan yang menghubunginya tempo hari. Dan kali ini perempuan itu menemuinya dengan penuh kekesalan ke tempat bekerja. Tristan hanya bisa berdiri mematung di sana saat kornea matanya bertemu dengan perempuan itu.
“Iya, ini aku Tristan. Apa ada yang salah?” tanya Yerianna dengan wajah berbinar.
“Yer... Yerianna,” gumam Tristan terbata.
“Kenapa Tristan? Kok sepertinya kamu sangat kaget saat melihatku?” tanya Yerianna lagi, senyum yang terulas sangat manis di wajahnya kian menyusut.
“Yerianna... aku ....”
“Kenapa? Jangan seperti orang linglung seperti ini Tristan, katakan kepadaku kenapa kamu tertegun seperti itu?” tuntut Yerianna sembari memegang lengan kanan Tristan.
Tristan menghela napas panjang sembari beristigfar dalam hati, kemudian berkata kepada beberapa satpam yang masih ada di sana, “Bapak, biarkan saya berbicara berdua dengannya... saya mengenalnya.”
“Baiklah, Den.” Tanpa menunggu lama ketiga satpam itu pergi dari hadapan Tristan.
Membiarkan Tristan dan Yerianna berdua di sana saling menatap tanpa adanya kesamaan lagi. Yerianna berulang kali menggoyangkan lengan Tristan berharap lelaki itu ingin menjawab pertanyaannya tadi.
“Yerianna ... aku pikir sudah saatnya kita berpisah, aku sudah menikah, aku punya istri dan calon anak,” ujar Tristan dengan nada yakin.
Yerianna terperangah, tak menyangka bahwa pujaan hatinya selama ini hanya mempermainkan perasaannya, Yerianna bersedekap menatap Tristan dari atas sampai bawah seolah jijik. “Bisa kamu berkata seperti itu Tristan? Kita sudah lama berpacaran, lantas dengan mudahnya kamu menikahi perempuan yang belum jelas hamil oleh siapa?”
Tristan menghela napas, kemudian memegang bahu Yerianna, menenangkan perempuan itu agar lebih lapang dada. “Ikhlaskan aku Yerianna, mungkin ini memang sudah digariskan oleh Allah. Mungkin saja kita memang enggak jodoh, percayalah masih banyak laki-laki di luar sana yang lebih baik dari pada aku.”
“Pembohong! Pengkhianat! Suka sekali membual dan menyakiti,” ledek Yerianna dengan seulas senyum tipis dan mata berkaca-kaca.
“Maaf Yerianna, aku benar-benar meminta maaf atas hal ini. Aku benar-benar tidak bisa bersamamu lagi, aku juga tidak bisa meninggalkan Irina di saat seperti ini. Mencintai tidak harus memiliki, ‘kan? Tolong ikhlaskan aku untuk Irina,” ucap Tristan.
“Kalau cinta memang tak harus memiliki, kenapa kamu bersikeras untuk menikahi Irina? Kata-kata itu lebih pantas itu dia, Tristan,” gerundel Yerianna dengan suara bergetar, tampak sebentar lagi buliran air mata itu akan jatuh.
“Istighfar Yerianna... semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah, kita sebagai hambanya harus bisa menerimanya dengan ikhlas, dengar aku ... di luar sana masih ada laki-laki yang lebih baik untuk kamu,” kata Tristan lagi.
Yerianna menampar Tristan cukup keras, membuat keduanya semakin tertegun oleh permasalahan rumit yang kini mereka hadapi, Yerianna merasa dikhianati dan tak ingin Tristan pergi bersama Irina sementara itu Tristan tak ingin meninggalkan Irina namun, tak ingin juga menyakiti hati Yerianna. Kisah percintaan mereka layaknya sebuah segitiga bermuda yang mempunyai banyak misteri yang sukar dipecahkan.
“Jadi, sekarang kamu tidak menyukaiku? Kamu menyukai Irina?” tanya Yerianna lagi.
“Irina ... aku ....”
“Aku Yerianna bukan Irina, kamu memang berubah. Aku pikir setelah lima tahun berpacaran hubungan kita akan berakhir bahagia namun, nyatanya semuanya Cuma sekedar angan-angan,” ungkap Yerianna.
Air mata itu sudah mengalir melewati wajah ranum Yerianna, membuat Tristan juga tak sanggup membiarkannya tetap menangis. Tristan memang laki-laki pengecut yang tidak bisa dengan tegas memilih apa yang akan dijalankannya.
“Yerianna dengarkan aku, aku enggak bermaksud seperti itu,” gumam Tristan, “ Aku juga enggak tahu kalau pada akhirnya ini semua terjadi, aku enggak tahu semuanya akan jadi begini. Irina seperti ini juga karena aku, enggak mungkin aku meninggalkannya. Jadi ....”
“Terserah kamu lah! Pilihlah apa yang kamu suka! Percuma saja mencintai orang bodoh seperti kamu!” cerca Yerianna memotong pembicaraan Tristan dan pergi dari sana masih dengan mata berair.
Tristan tak ingin mengejarnya, bukan tak ingin memberikan penjelasan lagi kepada perempuan itu namun, jikalau ia mengejar Yerianna, perasaannya akan semakin tidak karuan menatapnya menangis. Tristan benar-benar merasa tambah bersalah hari ini, ia sudah membuat Yerianna menangis di tempat umum seperti ini.
***
“Doamu khusyuk sekali,” gumam Doy sembari melipat sajadah yang ada di hadapannya.
“Benar, khusyuk sekali sampai menangis. Tapi, Insya Allah kalau kamu bersungguh-sungguh dalam berdoa pasti akan segera dijabah Allah,” kata Yudha, “ Oh ya ... tadi pagi itu, siapa?”
Tristan menghela napas, kemudian menatap sejawatnya itu dengan seulas senyum terukir di wajahnya. “Tadi pagi itu Yerianna datang mencariku.”
“Kalian bertengkar lagi ya? Apa Yerianna belum mengetahui kalau kamu dan Irina sudah menikah?” tanya Doy kemudian.
“Aku sudah memberitahunya tentang pernikahanku dengan Irina, dan selanjutnya pasti kalian tahu apa yang Yerianna rasakan,” ucap Tristan.
“Jodoh sudah ada yang mengatur Tris, mau berapa lama pun kalian berpacaran kalau Allah tidak merestui ya tidak akan pernah bersama juga,” urai Yudha.
“Benar, kata Yudha. Jodoh adalah salah satu rahasia Allah SWT yang menjadi pertanyaan besar bagi manusia. Jodoh merupakan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT dan tertulis dalam Lauhul mahfuz serta ditakdirkan oleh sebab-sebabnya,” Doy menimpali.
“Banyak sudah contoh yang bisa diambil hikmahnya, banyak yang sudah berpacaran bertahun-tahun tapi, ujungnya mereka tak di Ridhoi oleh Allah dan enggak langgeng sampai pelaminan,” ujar Yudha kemudian.
“Aku mengerti namun, menjelaskan ini semua kepada Yerianna sangatlah sulit,” ungkap Tristan.
“Benar, aku tahu kok apa yang sekarang kamu rasakan, Tris. Teruslah berusaha dan berdoa, jangan pernah menyerah.” Yudha menepuk pundak Tristan dengan penuh energi penyemangat.
Setelah beberapa menit mereka bercengkerama, Doy memutuskan untuk segera merapikan tempat ibadah tersebut yang terlihat sangat kacau. Sholat Ashar akan dimulai beberapa jam lagi namun, kondisi di tempat ibadah itu sangatlah tidak memungkinkan. Yudha pun ikut turun tangan karena merasa ikut andil juga dalam kebersihan tempat suci itu.
"Jangan menyerah saat doa-doamu belum dijawab. Jika kamu mampu bersabar, Allah mampu memberikan lebih dari apa yang kamu minta,” ucap Doy kemudian.
“Aamiin Allahumma Aamiin!” seru Yudha.
“Oh ya, Tris. Hari ini habis Sholat Ashar kamu mau langsung menemui dokter itu ‘kan? Kamu habis menyapu lantainya, tolong kamu pergi temui Pak Agung untuk mengkonfirmasi beberapa biaya yang harus disetor seksi keuangan untuk real estate widuri,” kata Doy memberi perintah, “Ini sebenarnya bukan tugas kita sebagai humas tapi, ini titipan dari Juno tadi. Dia masih menghitung biaya lainnya yang mungkin akan selesai ba’da maghrib nanti.”
“Baiklah, nanti aku akan menemuinya. Kamu tenang saja, kita bersihkan tempat ini dulu,” kata Tristan kemudian.
Terlepas dari permasalahan cintanya, Tristan sangat bersyukur bisa memiliki teman yang mampu mendukungnya walaupun tidak seintens yang ia mau. Setidaknya sejawatnya masih bisa memberikan saran dan kritikan ketika dia merasa sangat terpuruk dan keblinger.
Tristan berjalan sedikit terburu-buru memasuki sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 meter bernuansa putih gading vintage, tanpa lupa ia membawa beberapa buah tangan di tangan kanannya. “Assalamualaikum, Dok. Maaf saya agak terlambat dari jadwal yang ditentukan,” gumam Tristan saat baru saja menatap Dokter perempuan di ruangan itu. “Pak Tristan enggak terlambat, kok. Saya juga baru saja selesai melakukan tugas saya,” balas Dokter Oriche. “Oh iya, Dok. Ini saya bawakan beberapa buah tangan untuk Dokter.” Tristan menyodorkan tas karton yang ada di pegangannya kepada Dokter Oriche. “Kenapa Bapak membawa buah tangan seperti ini? Di mana Bu Irina?” tanya Dokter Ori
Pagi-pagi sekali Tristan sudah membangunkan Irina dengan sedikit usaha agar Irina mau diajak pergi ke rumah sakit siang itu walaupun beberapa kali malah membuat Irina histeris sendiri, Tristan tahu dengan jelas bahwa Irina masih sangat takut dengan lingkungan luar, hal itulah yang justru membuat Tristan merasa Irina harus pergi hari terapi hari ini. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha, Tristan segera mencari long cardigan untuk Irina agar ia tidak kedinginan saat di perjalanan karena dari tadi subuh rintik hujan sudah membasahi daerah ini hingga saat ini. Tanpa lupa Tristan juga mencari masker wajah dari dalam lemarinya untuk Irina agar tidak merasa begitu gugup menghadapi orang lain di rumah sakit nanti. Hal itu sudah Tristan persiapkan dengan matang dari kemarin, bahkan kemarin ia harus begadang hanya untuk m
“Irina ... bangun sayang ... sudah hampir Ashar.” Irina mengerjapkan mata beberapa kali saat mendengar suara dan sebuah usapan pelan di puncak kepalanya, ia sedikit terkejut karena menyadari bahwa dirinya sekarang sudah berada di kamar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga pinggang. “Kamu ketiduran saat psikoterapinya selesai, kata dokter Laurent hal itu wajar-wajar saja jikalau pasien yang menjalani hipnoterapi tertidur.” Tristan berkata seolah menyadari kelinglungan Irina saat itu. Irina menghela napas saat mendengar perkataan Tristan namun, masih enggan untuk bangun dari tempat tidur karena merasa sangat pusing. Irina kembali berbaring, memunggungi Tristan yang masih berusaha membangunkannya.
Irina masih berdiri menyerana di balkon kamarnya, Yerianna sudah pergi sedari tadi dari rumah itu namun, perasaannya masih sangat kacau. Irina bisa melihat kalau Yerianna pergi dari rumah itu sambil menangis walaupun perempuan itu pergi memunggunginya, entah apa yang dilakukan Tristan hingga perempuan cantik itu menangis. Irina benar-benar seperti orang jahat yang menari di atas penderitaan Yerianna. Tak seharusnya Irina berada di posisi ini sekarang, tak seharusnya pula Irina menyandang embel-embel Nyonya Tristan Hadiwira saat ini. Ini adalah sebuah kebetulan yang menyakitkan, sebuah kesialan yang berujung kehampaan. Irina tertegun ketika mendengar pertengkaran mereka tadi, hal itu sungguh membuatnya juga merasa bersalah karena Irina sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka berdua. “Kamu kok malah duduk di luar, sih? Udara malam enggak baik untuk ibu hamil,” kata Trista
“Kenapa kembali ke sini? Katanya enggak mau ketemu sama aku lagi,” sambut Irina saat Tristan baru saja masuk ke kamar mereka. Tristan mengulas senyum tipis sebisa mungkin menyembunyikan emosinya, ia berjalan ke meja kerja yang ada di sudut ruangan dan meletakkan laptop miliknya bersama map file. Kemudian ia menoleh kepada Irina yang memandangnya bingung. “Kamu sudah mengambil wudhu? Kalau sudah kamu siap-siap terlebih dahulu, kita shalat witir bersama,” kata Tristan dengan seulas senyum. “Aku mau tidur, sudah mengantuk,” pungkas Irina tanpa basa-basi langsung beranjak menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Ya, sudah kalau kamu mengantuk. Tidur saja duluan, nanti aku menyusul, aku shalat dulu.” Tristan mempersiapkan sajadah
Hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai sejak tadi, matahari sudah hampir meninggi menyinari bumi pertiwi yang sudah mulai usang oleh perkembangan zaman, beberapa orang sudah mulai berangkat kerja dan bersiap dengan kegiatan masing-masing pagi itu. Ada beberapa orang yang bersepeda sembari menikmati suasana cluster yang belum ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian. Sebuah keberuntungan seorang Irina yang menjadi istri dari Tristan Putra Hadiwira dan menantu Randi Triyoga Hadiwira. Tapi, ini bukanlah perumahan cluster mewah yang dibayangkan oleh orang lain karena tinggal di sini adalah sebuah bantuan dari Marrey mengingat bahwa Tristan dan Randi masih memiliki kesalahpahaman. Lingkungan di cluster itu sungguhlah nyaman dan aman namun, beberapa tetangga di sana juga memiliki mulut yang luar biasa tajam kepada penghuni baru. Apalagi untuk ukura
Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Tristan masih bersiap di meja kerjanya sembari bertanya kepada dokter Oriche mengenai makanan laut yang aman untuk ibu hamil via pesan chat. Entah mengapa setelah menyadari kesalahannya yang begitu besar kepada Irina, Tristan menjadi sangat over protective dan ingin menjadi suami yang baik juga siap siaga. Entah cukup atau tidak untuk membayar rasa bersalahnya kepada Irina selama ini. Beberapa menit kemudian setelah selesai mengobrol dengan dokter Oriche, Tristan mengulurkan tangannya untuk mengambil telepon seluler yang ada di sudut kanan atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa digit nomor telepon dari sebuah restoran seafood terbaik langganan keluarganya. Memesan menu kerang saus pedas terbaik yang ada di restoran tersebut dan meminta agar segera dikirim ke rumahnya tepat jam sembilan nanti.&nb
Tristan kembali ke ruangannya dengan wajah lesu, ia benar-benar merasa tidak becus dalam segala hal setelah dimarahi oleh Randi beberapa waktu yang lalu. Hatinya benar-benar sakit mendengar cibiran Randi yang tak ada habisnya bahkan sangat menohok, walaupun ini bukan pertama kalinya Tristan dimarahi seperti itu tetap saja kali ini Tristan benar-benar merasa sudah terlalu berlebihan. Ia mengambil sebuah wine kaleng yang ia simpan di laci meja kerjanya, membukanya hanya dengan satu kali sentuhan. Ia merasa sangat frustrasi karena hal itu dan ingin melupakannya sejenak. “Astaghfirullah! Tris! Haram!” jerit Doy yang baru saja masuk ke ruangan tersebut dan langsung menyahut kaleng itu. Tristan terkejut bukan main, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah sembari beruc