Berawal dari usul sang pacar, Gerald menyewa rahim seorang wanita yang dipilih langsung oleh Felicia. Mereka menitipkan benih di rahim wanita itu, dan akan membayarnya hingga melahirkan. Wanita itu membuat syarat, bahwa ia harus tinggal di rumah Gerald demi menjaga kerahasiaan kandungan. Karena ia tidak ingin nama baiknya hancur dengan embel-embel hamil di luar nikah. Keputusan itu ternyata memberikan efek buruk terhadap hubungan Gerald dan Felicia. Sebab, ibu Gerald sangat menyukai wanita itu dan memaksa Gerald untuk menikah dengannya.
View MoreAlexis Gerald Ferdian, lelaki tampan berusia 32 tahun yang kini tengah menjabat sebagai CEO di Ferdian Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan kaleng.
Jika dilihat dari segi usia, lelaki itu memang sudah sepantasnya mulai membangun rumah tangga. Namun, Felicia sang kekasih belum mau jika diajak untuk terikat dalam sebuah pernikahan.
Bagi Felicia, menikah hanya akan menyusahkan, apalagi ketika punya anak nanti. Gerak-geriknya menjadi terbatas, ia juga akan direpotkan dalam segala hal keperluan anak dan suami. Apalagi sampai melahirkan, akan ada bekas sayatan di perutnya atau mungkin berat badannya akan naik sehabis melahirkan. Ia sangat tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Yang terpenting, menurutnya hubungan sepasang kekasih akan berubah setelah mereka mengucapkan kata sah.
Lebih baik seperti sekarang. Felicia butuh uang, Gerald langsung mencairkan. Felicia butuh kehangatan, Gerald langsung menyelimuti dalam pergulatan.
Mereka saling membutuhkan, tapi tidak ingin saling terikat.
Bahkan mereka sering melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh pasangan suami-istri. Yang penting, jangan sampai kebobolan, karena Felicia tidak ingin hamil. Itu sangat berisiko.
âKamu kapan nikah, sih, Nak?â Renata kembali menanyakan hal yang sama.
Setiap kali mereka makan malam bersama, hal yang menjadi bahan pembicaraan sudah pasti tentang pernikahan Gerald. Bukan karena tanpa ada alasan, tapi usia Renata kian menua. Sementara anak semata wayangnya belum ada tanda-tanda akan menikah.
âNanti aja deh, Ma. Gerald belum siap, Felicia juga belum mau diajak nikah.â Gerald menjawab seraya terus mengunyah makanan.
âMama tuh pengen punya cucu. Liat, Mama kesepian di rumah. Gak ada yang nemenin Mama di sini, cuma para asisten rumah yang nemenin Mama. Apa kamu gaak kasian?â Renata tetap membujuk putranya yang sudah tidak muda lagi.
âKalau cucunya duluan mau, Ma?â Gerald menjawab asal, sebab sudah lelah selalu ditanya perihal nikah.
Renata yang mendengar hal itu sontak kaget dan tersedak makanan. Cepat, ia raih gelas berisi air mineral untuk menghilangkan rasa sakit di kerongkongan.
âKamu hamilin anak orang?â tanya Renata penuh curiga.
âYa enggak sih, Mama kan bilang mau punya cucu, sementara Gerald sama Felicia belum mau nikah. Nanti kita cari anak di panti buat nemenin Mama di sini.â Gerald mencoba untuk menjelaskan.
Untuk apa uang yang berlimpah jika tidak bisa memenuhi keinginan ibunya sendiri.
âMama gak mau. Mama pengennya punya cucu dari darah daging kamu.â Renata tetap bersikeras.
Gerald menghela napas dalam. Tidak tahu harus melakukan apa untuk memenuhi keinginan ibunya.
âGak papa kalau kamu gak mau nikah, asal kamu punya anak dari seorang wanita.â Akhirnya Renata memutuskan setelah merasa frustrasi dengan semua permintaannya yang ditolak oleh Gerald.
âMa ... Felicia belum siap hamil.â Gerald mencoba menjelaskan kembali.
âYa kalau Felicia gak mau, kamu cari aja wanita lain. Bakalan banyak wanita di luar sana yang siap kamu hamili.â
Gerald terdiam. Segitu besarnya harapan sang ibu untuk memiliki cucu, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan itu. Bagaimana mungkin Gerald bisa meniduri wanita lain, sementara ia begitu mencintai Felicia. Bahkan sedikit pun tidak ada keinginan untuk berpaling darinya. Felicia benar-benar telah membuat Gerald gila.
âKamu mau âkan?â Renata kembali berharap. Digenggamnya kedua tangan Gerald sebagai bentuk permohonan.
âNanti Gerald diskusikan dulu sama Felicia.â Akhirnya lelaki berhidung bangir itu mengalah juga.
***
âKamu turuti aja permintaan mama kamu.â Felicia menjawab setelah diberitahu oleh Gerald tentang keinginan ibunya untuk memiliki cucu.
Senyum lelaki berkemeja hitam itu mengembang seketika. Tidak percaya bahwa kekasihnya akan dengan mudah menyetujui permintaan ibunya. Ia mengira bahwa Felicia akan menolak, setidaknya marah-marah seperti hari yang sudah-sudah.
âJadi, kamu setuju kalau kita bakalan nikah?â Gerald begitu semangat berucap.
Ia salah arti akan apa yang dimaksud oleh Felicia.
âBukan. Kamu cari aja wanita yang mau kamu hamili.â Felicia meluruskan.
Wanita berjari lentik itu menggenggam erat kedua tangan Gerald yang penuh dengan urat.
âAku sayang banget sama kamu, tapi kalau buat nikah ataupun hamil anak kamu, aku belum siap.â Felicia kembali menyatakan hal itu.
Ia tahu bahwa Gerald begitu tergila-gila padanya, itulah sebabnya ia bisa berbuat apa saja. Tidak peduli dengan perasaan Gerald yang tersakiti ketika mendengar ucapannya untuk menghamili wanita lain.
âBagaimana mungkin aku bisa melakukan itu dengan wanita lain, sementara yang ada di hatiku cuma kamu, Felicia.â Gerald tampak kecewa dengan jawaban Felicia.
âPercayalah, aku tidak apa-apa. Asal mamamu senang, aku ikut senang.â Felicia mencoba untuk membujuknya.
âDengan kata lain, kau memintaku untuk menikah dengan orang lain?â
Gerald menatap tajam manik mata hazel milik Felicia. Lelaki yang garis wajahnya mirip dengan Zain Malik itu mencoba untuk mencari kejujuran di sana. Menatap lebih dalam lagi pada kedua bola mata cantik itu.
Felicia menghela napas dalam. âKau tidak harus menikahinya. Kau hanya perlu menyewanya.â
Felicia mencoba menjelaskan agar Gerald lebih mengerti. Wanita itu juga tidak akan rela jika Gerald memilih untuk menikah dengan orang lain. Posisinya di hati sang kekasih bisa saja terancam.
Felicia ingin selalu berhubungan dengan Gerald tanpa adanya ikatan pernikahan. Entah apa yang mendasari hal itu, Gerald sendiri tidak tahu. Namun, ia lebih memilih untuk mengikuti saja apa permintaan Felicia, sebab ia sangat mencintainya dan tidak siap jika harus kehilangan.
âMenyewa wanita lain untuk kuhamili, sama saja dengan aku harus menyentuhnya.â Gerald tetap tidak ingin.
Sedikitpun ia tidak ingin menyentuh orang lain, karena ia begitu menjunjung tinggi rasa kesetiaan terhadap pasangan. Pun ia tidak ingin bermain dengan orang sembarangan.
âBagaimana dengan donor spe*ma? Kau tidak perlu bermain dengannya, kau hanya perlu menitipkan benihmu di sana dengan bantuan dokter.â Felicia tidak habis akal untuk tetap membujuk Gerald. Agar ia merasa tenang, sebab tidak akan dituntut lagi untuk segera menikah dan punya anak dengan sang pacar.
âAku tetap tidak mau. Aku maunya punya anak dari kamu.â Gerald semakin kesal.
Bagaimana mungkin seorang wanita meminta kekasihnya untuk mempunyai anak dari wanita lain?
âApa kau sudah tidak mencintaiku?â Gerald bangkit berdiri. Ia muak dengan keinginan ibu dan pacarnya yang mendesak agar ia segera punya anak, tapi dari wanita lain.
Felicia tersenyum manis. Ia ikut bangkit berdiri. Dielusnya pundak sang pacar dengan begitu lembut.
âApa kau meragukan rasa cintaku? Lalu, buat apa aku mencarikan solusi terbaik untukmu?â Felicia bersikap manja agar Gerald bisa luluh terhadapnya.
âMenikahlah denganku, lalu semuanya akan beres.â
Air wajah Felicia berubah seketika. Ia tidak menyukai pernikahan. Bahkan hanya dengan mendengar kata itu, mood-nya bisa berubah seketika. Seperti ada trauma yang ia simpan di masa lalu.
âLebih baik kita pisah saja jika kau tetap memaksaku untuk menikah denganmu.â Felicia meraih tasnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian melangkah pergi begitu saja, tanpa pamit pada kekasihnya.
âMaafkan aku. Aku mengaku salah karena sudah memaksamu. Tapi kumohon, jangan tinggalkan aku.â Gerald menahan lengan Felicia agar wanita itu mengurungkan niatnya untuk pergi.
âAku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Mungkin banyak wanita lain di luar sana, tapi yang bisa mengerti aku cuma kamu.â
Gerald terlihat seperti lelaki lemah jika sudah berurusan dengan Felicia. Ia terlihat begitu kekanak-kanakan. Mungkin jika di luar, ia terlihat seperti pria dewasa yang berwibawa. Namun, tidak di mata Felicia. Ia melihat Gerald sebagai pria bucin yang rela melakukan apa saja.
âHamililah wanita lain,â pinta Felicia kembali. Ia tengah didekap erat oleh Gerald.
âBaik. Tapi aku butuh bantuanmu.â Gerald melepas pelukan.
âApa?â
âKau yang harus memilihkan wanita itu untukku.â Gerald menatap Felicia dengan serius.
Senyum Felicia kembali terukir indah. Ia balas menatap manik mata milik Gerald. âTentu,â jawabnya dengan senang.
Saat terbangun di pagi hari, Gerald tidak lagi mendapati Felicia terbaring di sisinya. Hanya ada dia seorang diri yang terbaring di atas ranjang mewah itu. Namun, tidak ada pikiran buruk sama sekali. Gerald mengira wanita yang dicintainya tengah berada di kamar mandi.Hari ini ada rapat penting di kantor. Jadi, Gerald lekas bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi. Hanya sedikit waktu yang tersisa.“Sayang, aku masuk, ya!” Gerald memutar gagang pintu tanpa menunggu jawaban. Karena mereka sudah terbiasa mandi bersama. Bahkan mereka sering bercinta di sana.Ketika masuk ke ruang mandi itu, tidak ada siapa pun di sana. Gerald memeriksa bagian toilet, sama saja. Tidak ada tanda-tanda Felicia berada di sana.“Sayang!” Gerald memanggil sembari mencari keberadaan wanita itu.Tidak ada jawaban. Hanya ponsel miliknya yang terdengar berdering beberapa kali.Gerald melupakan Felicia sejenak, ia beranjak u
Gerald bolak-balik seorang diri di dekat parkiran. Ia masih belum bisa menerima keadaan. Hatinya kian gelisah dari waktu ke waktu. Ia tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini. Setidaknya ia harus baikan dengan Felicia. Sebab, wanita itu adalah separuh hidupnya.“Arght!” Gerald berteriak frustrasi. Ia menarik rambut hingga terlepas beberapa helai dari kulit kepala.Mengapa kisah cintanya tidak bisa semulus orang-orang?Lelaki dengan rahang kokoh itu menghela napas dalam-dalam. Ia berjalan cepat untuk mengejar Felicia. Namun, wanita yang ia kejar telah tiba di bilik apartemen miliknya. Felicia mulai berkemas. Pakaiannya ia masukkan satu per satu secara berantakan ke dalam koper besar yang selalu ia simpan di kolong ranjang.Tekadnya telah bulat. Ia ingin pergi jauh dari hidup Gerald. Hatinya masih terasa sakit hingga sekarang. Ia masih belum bisa percaya bahwa Gerald bisa mengatakan kalimat semenyakitkan itu kepada dirinya.
“Yakin. Kenapa, kumuh banget, ya?” Dena memasang wajah memelas.Felicia hanya bisa menghela napas dalam. Merasa sangat prihatin dengan kondisi Dena yang jauh lebih tragis daripada masa lalunya.“Jadi, kapan aku bisa mulai kerja?” Dena mengungkit kembali masalah kerjaan.Felicia menoleh pada Gerald, berharap mendapatkan jawaban dari lelaki itu. Namun, ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali.“Kita diskusi dulu, ya. Nanti kalau udah dapat jawaban, bakalan kita hubungin. Minta nomornya dong!” Felicia merogoh tas dan menyerahkan ponsel pada Dena.“Seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, aku gak punya ponsel.” Dena menjawab tanpa menerima uluran itu.“Ya sudah, tiga hari lagi kita ketemu di sini.” Felicia membuat keputusan.Dena mengangguk setuju, kemudian keluar dari mobil mewah itu. Meninggalkan Felicia dan Gerald berduaan di sana.
“Sini saya tebus obatnya!” Gerald bangkit berdiri dan meminta Dena untuk menyerahkan kertas berisi resep obat itu kepadanya.‘Wah, belum apa-apa saja sudah diperhatikan seperti ini.’ Dena membatin. Ia salah dalam mengartikan tingkah Gerald kepadanya.Setelah kertas itu berpindah tangan, Gerald beranjak menuju apotek rumah sakit. Ia berdiam diri di sana, duduk di kursi tunggu bersama antrean lainnya. Bukannya langsung menyerahkan resep ke petugas, ia malah menahan kertas itu di tangan. Sengaja, sebab ingin berlama-lama di sana.Tujuannya ke apotek bukan benar-benar karena ingin menebus obat, tapi juga untuk menenangkan pikiran. Terutama untuk menjauh dari Dena. Di mana ada Dena, di situ tidak ada ketenangan.Felicia yang tengah asyik bercumbu bersama Dena, merasa kepergian Gerald terlalu lama. Ia ikut bangkit dan pamit pergi menyusul ke apotek. Meninggalkan Dena bersama imajinasinya yang kini telah terbang hingga mencapai mana
Gerald menghentikan laju mobil. Lelaki bertubuh tinggi itu meminta agar Felicia tetap berdiam diri di dalam. Sementara ia keluar untuk mengecek apa yang tengah terjadi.Bola mata Gerald membelalak seketika. Sesosok wanita terlihat terbaring lemah di dekat moncong mobilnya. Ada darah segar yang menetes dari jidat dan juga siku tangan wanita itu.Gerald membungkuk, mencoba untuk membantu.“Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja.” Gerald mengulurkan tangan kanan.Wanita itu menerima uluran tangan dari Gerald. Garis wajahnya terlihat begitu familiar. Gerald lupa-lupa ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu.“Mari, kami antar ke rumah sakit.” Gerald membukakan pintu mobil bagian belakang.“Dena!” Sedikit terkejut Felicia menoleh ke belakang.Mendengar nama itu disebut, Gerald kembali mengingat memori tentang Dena. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wanita itu ket
Gerald keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Perutnya terlihat sixpack meskipun jarang olah raga. Karena sudah janjian dengan Felicia, ia bersiap-siap untuk menjemput wanita kesayangannya.Dengan celana jeans hitam dan juga kaus hitam lengan pendek, ia terlihat sedikit fresh. Tidak lupa topi hitam yang ia kenakan di kepala. Juga jaket kulit pemberian Felicia. Ia terlihat sangat tampan dan juga muda.Gerald selalu tampil rapi dan wangi setiap saat. Baginya penampilan adalah hal penting. Tidak masalah jika tidak tampan, yang penting menarik ketika dilirik.“Mau ke mana kamu?” Renata bertanya saat melihat anaknya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.“Mau makan di luar.” Gerald menjawab seadanya.“Mama loh udah suruh Bi Uti buat masak makanan kesukaan kamu, kamu malah makan di luar.” Renata protes.Mereka jarang bertemu, sekalinya bertem
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments