Wanita itu sudah pasrah akan takdir. Jika hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya, ia akan terima begitu saja. Bahkan jika nyawanya pun ikut direnggut paksa, ia sudah tidak akan melakukan perlawanan, sebab Felicia merasa sudah tidak bisa melawan sama sekali. Apalagi ia pernah menjadi saksi bisu saat adanya pembunuhan dan pemerk*saan saat ia masih kecil dulu.
Hal itu membuat jiwanya begitu tergoncang. Ia tidak pernah mengira akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Ketakutan di masa kecil, kembali ia rasakan kini. Bayang-bayang kesadisan dan perilaku kebejatan itu terngiang-ngiang kembali di pikiran Felicia. Hal itu menyebabkan nyalinya menciut dan tidak ada kekuatan untuk melawan.
Senjata panjang miliki pria itu semakin mendekat ke barang intim milik Felicia. Hanya berjarak satu senti lagi agar mereka menyatu satu sama lain. Namun, entah dari mana asalnya, Gerald sudah berada di sana dan mengahajr pria itu tanpa ampun.
Melihat Felicia yang dilecehkan seperti itu, Gerald langsung naik pitam. Apalagi melihat ekspresi wajah wanita yang ia cinta begitu terpuruk dan terpukul. Bahkan Felicia tidak bisa berhenti menangis meskipun kini ia telah bebas.
Gerald dan kedua pria itu saling adu otot. Sementara Felicia bangkit berdiri untuk merapikan kembali pakaiannya yang sudah sangat berantakan.
Gerald sempat terhantam di bagian hidungnya, membuat darah segar mengucur deras dari dua lubang itu. Melihat darah yang nenetes dari hidungnya, kekuatan Gerald semakin membara. Ia layangkan tendangan kuat pada perut pria berjaket jeans. Pria itu melenguh kesakitan.
Meskipun terkesan tidak bisa berkelahi, ternyata Gerald cukup handal jika dalam keadaan terdesak dan tertekan. Akibat tendangannya, pria berjaket jeans meringis kesakitan dan tidak bisa bangkit berdiri untuk membalas tendangan Gerald.
Sementara pria yang satu lagi diam-diam menghantam Gerald dari arah belakang tepat di kepalanya. Kepala Gerald seketika sakit bukan main. Tatapannya perlahan mengabur, apalagi ia kembali dihantam dari arah depan. Wajahnya babak-belur dihantam pria yang sempat melecehkan Felicia.
Seperti mendapat kekuatan kembali, Felicia datang dengan membawa batu batako. Ia hantamkan dengan keras batu batako itu ke kepala si pria bejat. Seketika, darah mengucur dengan deras dari kepala si pria. Hal itu membuat ia hilang kesadaran akibat hantaman keras oleh Felicia.
Gerald benar-benar kesakitan. Namun, melihat Felicia, kekuatannya kembali datang. Cepat, ia bangkit berdiri dan mencengkeram pergelangan tangan Felicia untuk membawa wanita itu agar lekas pergi dari sana.
Di sepanjang perjalanan, Felicia hanya bisa menangis dalam diam. Apalagi Gerald tidak bisa berhenti memarahinya karena pergi begitu saja dari apartemen dan hampir diperk*sa oleh orang yang tidak dikenal andai Gerald tidak cepat-cepat datang menyusul dan menemukan.
Bahkan, ketika mereka tiba di mobil, Gerald masih belum selesai dalam memarahi Felicia. Ia benar-benar kehilangan kendali. Lelaki mana yang tidak akan sakit hati dan emosi ketika melihat wanita yang ia cintai hampir disetubuhi paksa?
Gerald mendadak diam saat sadar apa yang baru saja ia lakukan. Jiwa Felicia pasti tengah terguncang dengan kejadian barusan. Lalu, apa yang ia perbuat barusan? Bukannya menenangkan, ia malah memperburuk keadaan.
“Maafkan aku.” Gerald berucap bergetar sembari membawa Felicia ke dalam pelukan.
Untuk beberapa waktu, mereka hanya terdiam dalam posisi itu. Perlahan, Felicia mulai merasa tenang karena berada dalam pelukan Gerald. Mobil mereka masih tetap terparkir di pinggir jalan. Mereka hanya duduk terdiam di dalam.
Semua rasa sakit di tubuh Gerald akibat perkelahian, hilang begitu saja saat memeluk tubuh Felicia.
Felicia masih sesenggukan setelah beberapa saat mereka terdiam.
“Sekarang kau sudah aman.” Gerald mengusap lembut punggung Felicia yang tertutup rambut panjang.
Felicia membalas pelukan Gerald dengan sangat kuat. Seakan memberikan kode agar Gerald tidak pernah meninggalkannya barang sedetik pun. Sebab, ia merasa dunia sudah tidak aman bagi dirinya.
“Apa kau membenciku?” tanya Felicia di sela isak tangisnya. Ia masih belum berani untuk menatap Gerald. Pelukan masih belum ia lepaskan.
“Atas dasar apa?” tanya Gerald seraya melepas pelukan.
Ditatapnya mata sayu nan lelah milik Felicia. Saat pertama kali bertemu, ia melihat sepasang mata itu sangat indah dan menarik. Namun, kini mata itu terkesan begitu menyedihkan. Ada luka dalam yang tersirat dari sorot mata itu.
Felicia terdiam, ia tidak sanggup untuk membahas masalah barusan.
“Feli.” Gerald memanggil Felicia dengan begitu lembut ketika wanita itu menunduk.
Felicia kembali mendongak, ditatapnya sepasang mata tajam milik Gerald.
“Aku mencintaimu,” ucapnya dengan tatapan penuh keartian. “Sangat mencintaimu,” sambungnya kembali. Akhirnya ia bisa mengucapkan kalimat itu setelah sekian lama ia pendam sendirian.
Felicia sudah tidak kaget lagi, sebab semalam ia telah berulang kali mendengar kalimat itu keluar dari mulut Gerald. Seperti kata orang, ucapan orang mabuk tidak dapat diragukan, karena ia tengah berbicara sesuai isi hati.
“Kenapa kau hanya diam?” Gerald menuntut jawaban.
“Aku harus jawab apa?” tanya Felicia polos. Sebab, ucapan Gerald memang tidak membutuhkan jawaban. Ia hanya mengungkapkan, bukan meminta sebuah persetujuan.
“Apa kau tidak mencintaiku?” Gerald kembali bertanya. Kini kepalanya dipenuhi oleh ribuan kemungkinan jawaban yang akan ia terima.
Felicia terdiam untuk beberapa saat. Helaan napasnya terdengar begitu berat.
“Atas dasar apa aku tidak mencintaimu?” balas Felicia dengan pupil mata yang membesar.
Gerald yang mendengar kalimat itu, langsung menyunggingkan senyum seketika.
“Terima kasih karena kau sudah mencintaiku,” ucap Gerald sembari kembali memeluk Felicia.
“Aku yang seharusnya berterimakasih, karena kau sudah memberikan semua yang terbaik untukku.” Felicia membalas pelukan Gerald. Ia merasa begitu tenang ketika berada di dekat pria itu.
Mereka saling mengungkapkan isi hati yang selama ini hanya bisa mereka pendam sendirian. Tanpa adanya peresmian untuk memulai pacaran, mereka berhubungan. Sebab, cinta tidak perlu sebuah penyematan status.
Mereka saling mencintai dan saling membutuhkan. Lantas, untuk apa kata pacaran? Karena status pacar bisa saja berubah jadi mantan.
Sejak hari itu, mereka saling menunjukkan rasa cinta dengan perlakuan layaknya suami istri. Saling memuaskan nafsu satu dan yang lain. Felicia menikmati itu tanpa merasakan adanya bayang-bayang tentang ketakutan yang selama ini ia rasakan. Ia suka dan ia terima.
****
Hari ini harusnya Gerald ada acara meeting penting. Namun, karena Felicia meminta ia untuk ikut melakukan tes kesuburan akan program bayi tabung seperti yang Felicia minta, Gerald memutuskan semua acara penting. Baginya, Felicia adalah yang terpenting. Apalagi nanti sore mereka harus meng-interview beberapa pendaftar yang ingin menyewakan rahimnya.
Jam tangan mewah yang melilit pergelangan Gerald sudah menunjukkan pukul 10.00 Wib. Seperti perjanjian, Gerald pulang untuk menjemput Felicia ke apartemen. Mereka akan berangkat ke rumah sakit.
“Kalian sama-sama subur, kenapa harus melakukan program bayi tabung?” Dokter yang sedang menangani bertanya. Mungkin sekadar basa-basi baginya, tapi tidak bagi Gerald dan Felicia. Pertanyaan itu membuat mereka terdiam untuk beberapa waktu.
Mereka sudah mendaftar beberapa hari yang lalu. Dan hari ini mereka diminta kembali untuk datang, agar segera bisa menjalankan program.
Gerald menatap Felicia dengan dalam.
“Lakukan saja, saya sudah membayar mahal.” Gerald berucap penuh perintah.
“Baik, mari ikut saya ke labor.”
Felicia dan Gerald menurut. Mereka mengikuti sang dokter untuk memeriksa kesuburan. Wanita berjas putih itu meminta Gerald untuk mengeluarkan sp*rma ke dalam sebuah botol kecil yang ia berikan. Dokter akan memilih bibit mana yang paling berpeluang besar menjadi calon janin.
Begitu juga dengan Felicia. Dokter sendiri yang memilih sel teluarnya yang paling aktif.
“Kita lihat hasilnya beberapa minggu ke depan.” Dokter berucap setelah semuanya selesai. Mereka tinggal menunggu hasil beberapa minggu lagi.
Sebelum kembali ke apartemen, mereka sempatkan untuk menghabiskan waktu beberapa saat di sebuah kafe mewah. Jarang-jarang mereka bisa menghabiskan waktu bersama, karena jam kerja Gerald yang terlalu padat. Wajar saja, sebab ia seorang CEO. Ada banyak hal yang harus ia kerjakan.
Felicia terdiam dengan tangan yang mengaduk jus pukat. Pandangannya fokus pada gelas, tapi tatapannya begitu kosong. Seperti ada hal yang membuatnya berpikir keras.
“Ada apa?” tanya Gerald sembari meremas tangan kiri Felicia di atas meja.
Felicia hanya menggeleng seraya tersenyum tipis.
“Aku tidak suka jika kau merahasiakan sesuatu dariku.” Gerald mencoba untuk menguak masalah Felicia.
“Tidak ada. Bukan masalah penting,” jawabnya dengan masih tersenyum.
“Apa kau tidak nyaman berada di sini?” Gerald menatap sekitar, demi mencaritahu apa yang membuat Felicia tidak nyaman.
“Aku nyaman di mana pun kita berada, asalkan selalu bersamamu.” Felicia membalas meremas tangan Gerald dengan tangan kanannya.
“Lalu, apa yang membuatmu sejak tadi hanya diam?” Gerald masih penasaran.
“Kita pulang saja, yuk. Sebentar lagi wanita itu akan datang.” Bukannya menjawab, Felicia malah mengajak pulang.
Gerald tidak bisa menolak. Ia memanggil salah satu pelayan untuk membayar tagihan.
“Ambil saja kembaliannya,” ucap Gerald seraya menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah.
Gerald bangkit beridir mengikuti Felicia yang sudah beranjak sejak tadi. Ia sempat berlari kecil demi menyamai langkah dengan Felicia.
“Kau tidak seperti biasanya. Jujurlah padaku, ada apa?” Gerald memaksa agar Felicia jujur padanya.
“Tidak ada. Aku hanya ingin beristirahat.” Felicia menjawab tidak semangat.
Melihat ekspresi Felicia, Gerald tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Ia hanya ingin mengutamakan kenyamanan untuk kekasihnya.
Sepanjang perjalanan, Felicia hanya terdiam. Tidak seperti biasanya yang lebih aktif untuk berinteraksi dengan Gerald. Bahkan wajahnya tampak memucat.
“Kau sakit?” Gerald menempelkan punggung tangannya ke kening Felicia.
Felicia menggeleng lemah. “Aku ingin tidur. Bangunkan jika kita sudah sampai.” Ia memejamkan mata dengan bersandar pada bahu Gerald.
Gerald jadi tidak fokus untuk menyetir. Pikirannya tertuju pada Felicia. Sebelum ke rumah sakit, wanita itu tampak semangat dan ceria. Namun, setelah pulang dari sana, ia terlihat seperti sekarang. Entah apa penyebabnya.
“Kita balik ke rumah sakit, ya?” ucap Gerald seraya merangkul Felicia dengan tangan kirinya.
Felicia kembali menggeleng lemah, “Kita pulang saja,” kukuhnya.
Gerald tidak bisa memaksa, ia menuruti perintah Felicia agar segera pulang ke apartemen miliknya.
Pikiran Gerald masih dihantui dengan pertanyaan yang sama. Ada apa?
Bagi Gerald, permintaan Felicia adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan. Wanita itu adalah hal penting dari semua yang terpenting. Ia adalah ratu kerajaan yang dibangun oleh Gerald. Sang pemilik hati yang tidak akan pernah terganti.Sepanjang perjalanan, Gerald berulang kali menoleh ke arah Felicia demi memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. Beberapa saat fokus ke jalan, lalu detik berikutnya kembali fokus ke arah Felicia. Selalu begitu hingga mereka tiba di parkiran apartemen.Mobil melambat dan berhenti ketika mereka telah sampai. Gerald turun dengan cepat, lalu berlari ke arah sisi mobil lainnya untuk membukakan pintu bagi Felicia. Digendongnya tubuh langsing itu karena Felicia tampak sudah tidak berdaya untuk berjalan sendiri. Padahal ia selalu menjaga kesehatan, bahkan rutin untuk olah raga ke gym demi mendapatkan posri tubuh yang ideal.Gerald juga selalu menunjang berbagai vitamin agar Felicia tetap fresh dan segar. Bertahun-tahun mereka bersama
“Sebaiknya kamu pulang dulu, nanti datang lagi ketika istri saya sudah pulih total.” Gerald berucap ketika Dena ikut duduk di tepian ranjang yang bersebelahan dengan dirinya.Gerald semakin merasa tidak suka, sebab Dena bertindak semakin jauh. Seolah bahwa dia adalah bagian dari keluarga.Dena mendengkus kesal, padahal ia ingin sekali mengambil hati Gerald. Apalagi sekarang adalah waktu yang tepat. Memasang topeng baik di depan target.Dengan terpaksa, Dena bangkit dari ranjang dan pamit untuk pulang.Gerald hanya merespons dengan wajah datar dan deheman pelan ketika Dena pamit dan mulai menghilang dari balik pintu kamar.Begitulah Gerald. Dingin dan kaku terhadap wanita lain. Ia hanya bisa manja dan mencair jika tengah bersama pawangnya. Felicia.Di luar sana, Dena bertemu dengan beberapa gadis yang ingin mengikuti sesi interview, barang kali diterima oleh Gerald. Namun, dengan liciknya Dena menyeba
Felicia masih ingat semua kejadian pahit itu. Ketika ia berada dalam puncak ketakutan, sebab tidak ada orang dewasa di sana. Hanya dirinya, jasad sang ibu, dan juga si narapidana pembunuh.Setelah merasa puas menikmati tubuh jasad ibu Felicia, pria bejat itu beranjak mendekat ke arah sosok mungil Felicia. Gadis kecil itu semakin ketakutan, teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Ketika ibu dan bapaknya bertengkar hebat, sebab sang bapak sambung ingin menikmati tubuh Felicia. Sementara gadis itu belum genap 5 tahun usianya. Felicia semakin gemetar saat tubuh bugil penuh darah itu mendekat ke arahnya dengan tatapan ingin menerkam. Ia takut jika nasibnya akan sama seperti sang ibu. Tewas di tangan lelaki tidak bermoral.Tangan mungil itu sudah ditarik paksa, membuat tubuh mungil Felicia harus berdiri karenanya.Mata polos nan indah itu menatap sang pria dengan sorot penuh iba. Berharap diberikan kesempatan untuk melarikan diri. M
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Gerald keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Perutnya terlihat sixpack meskipun jarang olah raga. Karena sudah janjian dengan Felicia, ia bersiap-siap untuk menjemput wanita kesayangannya.Dengan celana jeans hitam dan juga kaus hitam lengan pendek, ia terlihat sedikit fresh. Tidak lupa topi hitam yang ia kenakan di kepala. Juga jaket kulit pemberian Felicia. Ia terlihat sangat tampan dan juga muda.Gerald selalu tampil rapi dan wangi setiap saat. Baginya penampilan adalah hal penting. Tidak masalah jika tidak tampan, yang penting menarik ketika dilirik.“Mau ke mana kamu?” Renata bertanya saat melihat anaknya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.“Mau makan di luar.” Gerald menjawab seadanya.“Mama loh udah suruh Bi Uti buat masak makanan kesukaan kamu, kamu malah makan di luar.” Renata protes.Mereka jarang bertemu, sekalinya bertem
Gerald menghentikan laju mobil. Lelaki bertubuh tinggi itu meminta agar Felicia tetap berdiam diri di dalam. Sementara ia keluar untuk mengecek apa yang tengah terjadi.Bola mata Gerald membelalak seketika. Sesosok wanita terlihat terbaring lemah di dekat moncong mobilnya. Ada darah segar yang menetes dari jidat dan juga siku tangan wanita itu.Gerald membungkuk, mencoba untuk membantu.“Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja.” Gerald mengulurkan tangan kanan.Wanita itu menerima uluran tangan dari Gerald. Garis wajahnya terlihat begitu familiar. Gerald lupa-lupa ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu.“Mari, kami antar ke rumah sakit.” Gerald membukakan pintu mobil bagian belakang.“Dena!” Sedikit terkejut Felicia menoleh ke belakang.Mendengar nama itu disebut, Gerald kembali mengingat memori tentang Dena. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wanita itu ket
Saat terbangun di pagi hari, Gerald tidak lagi mendapati Felicia terbaring di sisinya. Hanya ada dia seorang diri yang terbaring di atas ranjang mewah itu. Namun, tidak ada pikiran buruk sama sekali. Gerald mengira wanita yang dicintainya tengah berada di kamar mandi.Hari ini ada rapat penting di kantor. Jadi, Gerald lekas bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi. Hanya sedikit waktu yang tersisa.“Sayang, aku masuk, ya!” Gerald memutar gagang pintu tanpa menunggu jawaban. Karena mereka sudah terbiasa mandi bersama. Bahkan mereka sering bercinta di sana.Ketika masuk ke ruang mandi itu, tidak ada siapa pun di sana. Gerald memeriksa bagian toilet, sama saja. Tidak ada tanda-tanda Felicia berada di sana.“Sayang!” Gerald memanggil sembari mencari keberadaan wanita itu.Tidak ada jawaban. Hanya ponsel miliknya yang terdengar berdering beberapa kali.Gerald melupakan Felicia sejenak, ia beranjak u
Gerald bolak-balik seorang diri di dekat parkiran. Ia masih belum bisa menerima keadaan. Hatinya kian gelisah dari waktu ke waktu. Ia tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini. Setidaknya ia harus baikan dengan Felicia. Sebab, wanita itu adalah separuh hidupnya.“Arght!” Gerald berteriak frustrasi. Ia menarik rambut hingga terlepas beberapa helai dari kulit kepala.Mengapa kisah cintanya tidak bisa semulus orang-orang?Lelaki dengan rahang kokoh itu menghela napas dalam-dalam. Ia berjalan cepat untuk mengejar Felicia. Namun, wanita yang ia kejar telah tiba di bilik apartemen miliknya. Felicia mulai berkemas. Pakaiannya ia masukkan satu per satu secara berantakan ke dalam koper besar yang selalu ia simpan di kolong ranjang.Tekadnya telah bulat. Ia ingin pergi jauh dari hidup Gerald. Hatinya masih terasa sakit hingga sekarang. Ia masih belum bisa percaya bahwa Gerald bisa mengatakan kalimat semenyakitkan itu kepada dirinya.
“Yakin. Kenapa, kumuh banget, ya?” Dena memasang wajah memelas.Felicia hanya bisa menghela napas dalam. Merasa sangat prihatin dengan kondisi Dena yang jauh lebih tragis daripada masa lalunya.“Jadi, kapan aku bisa mulai kerja?” Dena mengungkit kembali masalah kerjaan.Felicia menoleh pada Gerald, berharap mendapatkan jawaban dari lelaki itu. Namun, ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali.“Kita diskusi dulu, ya. Nanti kalau udah dapat jawaban, bakalan kita hubungin. Minta nomornya dong!” Felicia merogoh tas dan menyerahkan ponsel pada Dena.“Seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, aku gak punya ponsel.” Dena menjawab tanpa menerima uluran itu.“Ya sudah, tiga hari lagi kita ketemu di sini.” Felicia membuat keputusan.Dena mengangguk setuju, kemudian keluar dari mobil mewah itu. Meninggalkan Felicia dan Gerald berduaan di sana.
“Sini saya tebus obatnya!” Gerald bangkit berdiri dan meminta Dena untuk menyerahkan kertas berisi resep obat itu kepadanya.‘Wah, belum apa-apa saja sudah diperhatikan seperti ini.’ Dena membatin. Ia salah dalam mengartikan tingkah Gerald kepadanya.Setelah kertas itu berpindah tangan, Gerald beranjak menuju apotek rumah sakit. Ia berdiam diri di sana, duduk di kursi tunggu bersama antrean lainnya. Bukannya langsung menyerahkan resep ke petugas, ia malah menahan kertas itu di tangan. Sengaja, sebab ingin berlama-lama di sana.Tujuannya ke apotek bukan benar-benar karena ingin menebus obat, tapi juga untuk menenangkan pikiran. Terutama untuk menjauh dari Dena. Di mana ada Dena, di situ tidak ada ketenangan.Felicia yang tengah asyik bercumbu bersama Dena, merasa kepergian Gerald terlalu lama. Ia ikut bangkit dan pamit pergi menyusul ke apotek. Meninggalkan Dena bersama imajinasinya yang kini telah terbang hingga mencapai mana
Gerald menghentikan laju mobil. Lelaki bertubuh tinggi itu meminta agar Felicia tetap berdiam diri di dalam. Sementara ia keluar untuk mengecek apa yang tengah terjadi.Bola mata Gerald membelalak seketika. Sesosok wanita terlihat terbaring lemah di dekat moncong mobilnya. Ada darah segar yang menetes dari jidat dan juga siku tangan wanita itu.Gerald membungkuk, mencoba untuk membantu.“Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja.” Gerald mengulurkan tangan kanan.Wanita itu menerima uluran tangan dari Gerald. Garis wajahnya terlihat begitu familiar. Gerald lupa-lupa ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu.“Mari, kami antar ke rumah sakit.” Gerald membukakan pintu mobil bagian belakang.“Dena!” Sedikit terkejut Felicia menoleh ke belakang.Mendengar nama itu disebut, Gerald kembali mengingat memori tentang Dena. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wanita itu ket
Gerald keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Perutnya terlihat sixpack meskipun jarang olah raga. Karena sudah janjian dengan Felicia, ia bersiap-siap untuk menjemput wanita kesayangannya.Dengan celana jeans hitam dan juga kaus hitam lengan pendek, ia terlihat sedikit fresh. Tidak lupa topi hitam yang ia kenakan di kepala. Juga jaket kulit pemberian Felicia. Ia terlihat sangat tampan dan juga muda.Gerald selalu tampil rapi dan wangi setiap saat. Baginya penampilan adalah hal penting. Tidak masalah jika tidak tampan, yang penting menarik ketika dilirik.“Mau ke mana kamu?” Renata bertanya saat melihat anaknya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.“Mau makan di luar.” Gerald menjawab seadanya.“Mama loh udah suruh Bi Uti buat masak makanan kesukaan kamu, kamu malah makan di luar.” Renata protes.Mereka jarang bertemu, sekalinya bertem
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&