Bagi Gerald, permintaan Felicia adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan. Wanita itu adalah hal penting dari semua yang terpenting. Ia adalah ratu kerajaan yang dibangun oleh Gerald. Sang pemilik hati yang tidak akan pernah terganti.
Sepanjang perjalanan, Gerald berulang kali menoleh ke arah Felicia demi memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. Beberapa saat fokus ke jalan, lalu detik berikutnya kembali fokus ke arah Felicia. Selalu begitu hingga mereka tiba di parkiran apartemen.
Mobil melambat dan berhenti ketika mereka telah sampai. Gerald turun dengan cepat, lalu berlari ke arah sisi mobil lainnya untuk membukakan pintu bagi Felicia. Digendongnya tubuh langsing itu karena Felicia tampak sudah tidak berdaya untuk berjalan sendiri. Padahal ia selalu menjaga kesehatan, bahkan rutin untuk olah raga ke gym demi mendapatkan posri tubuh yang ideal.
Gerald juga selalu menunjang berbagai vitamin agar Felicia tetap fresh dan segar. Bertahun-tahun mereka bersama, ini untuk pertama kalinya Felicia jatuh sakit. Entah karena apa.
Felicia melingkarkan kedua tangannya ke leher Gerald dengan kepala yang menyender ke dada bidang milik lelaki berhidung mancung itu.
Kamar mereka berada di lantai atas, sehingga harus naik lift untuk segera tiba di sana. Gerald berulang kali menahan napas demi tetap bisa menggendong tubuh Felicia. Karena terlalu sibuk bekerja, ia jarang sekali bisa berolah raga, inilah akibatnya sekarang. Ia tidak begitu kuat untuk menggendong Felicia yang berharap lebih padanya.
Gerald mulai merasakan kebas di otot lengannya, tapi tetap berusaha setenang mungkin agar Felicia tetap nyaman di sana. Lift terbuka saat kotak besar itu telah tiba di lantai dasar. Gerald segera masuk ke sana dan menekan lantai di mana kamar mereka berada.
Hawa panas tubuh Felicia bahkan bisa dirasakan Gerald meski lelaki itu telah mengenakan pakaian tiga lapis. Kaus dalam, kemeja, juga jas. Mimik wajahnya terlihat begitu khawatir. Ia masih bertanya-tanya, apa yang terjadi ketika mereka di rumah sakit tadi?
Tubuh lemah Felicia dibaringkan di ranjang besar nan mewah oleh Gerald. Tanpa diminta, lelaki itu membuka sepatu juga mengganti pakaian milik Felicia. Ia merawat wanita itu layaknya istri sendiri. Lelaki berjas hitam itu beranjak untuk mengambil termometer dan menjepitkannya ke ketiak Felicia.
Di sana tertulis angka 42° pertanda bahwa demam Felicia sangat tinggi. Gerald panik seketika. Ia menghubungi dokter agar segera datang untuk mengecek kondisi kesayangannya. Di saat bersamaan, seorang wanita datang menekan bel.
Wanita itu tampaknya orang baik-baik. Ia mengenakan kemeja pink panjang dengan rok hitam panjang. Rambut hitam legam, lurus sepinggang. Rambut itu diikat rapi ke belakang. Terlihat sangat keibuan.
“Saya masih gadis,” jawab wanita itu saat Gerald bertanya tentang statusnya.
“Nama?”
“Dena.”
Berulang kali Gerald menoleh ke belakang, ke arah ranjang di mana Felicia berbaring lemah di sana. Gerald sudah menyelimuti tubuh itu dengan beberapa lapis selimut tebal, tapi ia tetap saja gemetar kedinginan.
“Istrinya kenapa?”
Dena bertanya dengan sorot mata mengikuti arah mata Gerald.
“Demam.” Gerald menjawab datar seraya kembali menoleh ke arah Dena.
Tanpa meminta izin, Dena bangkit dari sofa. Ia berjalan pelan menuju tempat di mana Felicia berada. Diletakkan punggung tangan ke arah dahi Felicia. Panas. Itu yang ia rasakan.
“Demamnya tinggi, kenapa tidak dikompres?” Dena bertanya dengan sorot mata lembut menatap Gerald.
Gerald duduk di tepian ranjang. Ia tidak menjawab pertanyaan Dena. Karena terlalu panik, lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa.
Gerald mengusap ubun-ubun Felicia berkali-kali. Dimasukkannya tangan ke selimut untuk menggenggam tangan Felicia yang gemetar sejak tadi.
Entah kapan perginya, Dena kembali lagi ke ranjang dengan tangan kanan memegang gayung berisi air.
“Saya sudah mencari baskom ke mana-mana, tapi tidak ada,” ucapnya tanpa diminta.
Wajar saja, di apartemen ini tidak ada perabotan makan sama sekali. Bahkan Felicia tidak pernah memasak setelah berhubungan dengan Gerald. Semuanya dipenuhi dengan sangat baik. Catering, laundry, salon, gym, semuanya ditanggung oleh Gerald.
Bahkan sapu tangan pun tidak ada. Dena mengompres kening Felicia dengan kaus pendek yang ia dapat di dalam lemari. Ia mengambil tanpa izin.
Gerald merasa sedikit tidak nyaman dengan keberadaan Dena. Sebab, wanita tampak tidak ada segannya sama sekali.
Setelah dikompres beberapa saat, suhu tubuh Felicia perlahan menurun meskipun persentasenya sangat tipis.
Tidak lama berselang, dokter yang diminta Gerald akhirnya datang juga. Ia mengecek kondisi Felicia yang sedari tadi hanya terpejam dengan mulut terus memanggil nama Gerald.
“Ini saya beri obat penurun panas.” Dokter berucap setelah mengecek kondisi Felicia.
“Apa ada penyakit yang serius?” Gerald bertanya dengan nada penuh khawatir.
“Tidak, tapi sepertinya ia punya banyak beban pikiran.”
Gerald meremas tangan Felicia dengan lembut. Beribu pertanyaan muncul dalam pikiran. Ingin sekali ia marah pada Felicia karena telah memendam masalah sendirian. Apa yang menjadi beban pikirannya? Mengapa ia tidak berbagi beban dengan Gerald?
“Feli.” Diciumnya kening Felicia lama. Tidak peduli dengan keberadaan Dena dan dokter di sana.
“Kurang-kurangi berpikir yang berat-berat. Imunitas tubuhnya juga menurun. Nanti saya beri vitamin penambah daya tahan tubuh, biar tidak mudah sakit.” Dokter kembali berucap.
Lelaki berjas putih itu beranjak menuju tas hitamnya untuk mengambil obat. Semua obat yang ada di dalam tas itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mahal sudah pasti, tapi itu bukan masalah apa-apa bagi Gerald. Uang bukan masalah besar baginya, yang terpenting Felicia cepat pulih dan sehat.
“Jika panasnya belum turun dalam beberapa hari, hubungi saya kembali.” Dokter kembali berucap sebelum pamit pulang.
Gerald mengangguk pelan seraya merogoh saku untuk mengambil dompet. Namun, di sana sudah tidak ada lembaran uang, hanya tersisa kartu-kartu penting.
“Nanti saya bayar, masukkan saja dulu ke list seperti biasa,” ucap Gerald. Sebab, dokter itu dokter keluarga. Selalu rutin mengecek kondisi ibunya juga dia.
Sang dokter hanya mengangguk paham tanpa bertanya lebih lanjut lagi. Lalu, pamit untuk pergi karena masih ada pasien yang harus ia urus.
Gerald kembali fokus pada Felicia. Ia terlihat begitu peduli dan sayang pada wanita yang terbaring di hadapannya. Hal itu membuat Dena merasa iri, ingin berada di posisi Felicia kini. Merasa bahwa Felicia sangat beruntung, sebab bisa memiliki suami seperti Gerald yang kaya dan juga sangat perhatian. Merasa dirinya lebih layak, sebab Felicia tidak bisa memberikannya keturunan, sementara Dena merasa dirinya subur dan lebih pantas untuk Gerald, bukan Felicia.
Dena bertekad untuk bisa mendapatkan Gerald dan memilikinya seuntuhnya. Bahkan, jika bisa semua harta milik Gerald harus berpindah ke tangannya, agar ia bisa mengekang lelaki itu untuk berpisah Dengan Felicia.
“Sebaiknya kamu pulang dulu, nanti datang lagi ketika istri saya sudah pulih total.” Gerald berucap ketika Dena ikut duduk di tepian ranjang yang bersebelahan dengan dirinya.Gerald semakin merasa tidak suka, sebab Dena bertindak semakin jauh. Seolah bahwa dia adalah bagian dari keluarga.Dena mendengkus kesal, padahal ia ingin sekali mengambil hati Gerald. Apalagi sekarang adalah waktu yang tepat. Memasang topeng baik di depan target.Dengan terpaksa, Dena bangkit dari ranjang dan pamit untuk pulang.Gerald hanya merespons dengan wajah datar dan deheman pelan ketika Dena pamit dan mulai menghilang dari balik pintu kamar.Begitulah Gerald. Dingin dan kaku terhadap wanita lain. Ia hanya bisa manja dan mencair jika tengah bersama pawangnya. Felicia.Di luar sana, Dena bertemu dengan beberapa gadis yang ingin mengikuti sesi interview, barang kali diterima oleh Gerald. Namun, dengan liciknya Dena menyeba
Felicia masih ingat semua kejadian pahit itu. Ketika ia berada dalam puncak ketakutan, sebab tidak ada orang dewasa di sana. Hanya dirinya, jasad sang ibu, dan juga si narapidana pembunuh.Setelah merasa puas menikmati tubuh jasad ibu Felicia, pria bejat itu beranjak mendekat ke arah sosok mungil Felicia. Gadis kecil itu semakin ketakutan, teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Ketika ibu dan bapaknya bertengkar hebat, sebab sang bapak sambung ingin menikmati tubuh Felicia. Sementara gadis itu belum genap 5 tahun usianya. Felicia semakin gemetar saat tubuh bugil penuh darah itu mendekat ke arahnya dengan tatapan ingin menerkam. Ia takut jika nasibnya akan sama seperti sang ibu. Tewas di tangan lelaki tidak bermoral.Tangan mungil itu sudah ditarik paksa, membuat tubuh mungil Felicia harus berdiri karenanya.Mata polos nan indah itu menatap sang pria dengan sorot penuh iba. Berharap diberikan kesempatan untuk melarikan diri. M
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Gerald keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Perutnya terlihat sixpack meskipun jarang olah raga. Karena sudah janjian dengan Felicia, ia bersiap-siap untuk menjemput wanita kesayangannya.Dengan celana jeans hitam dan juga kaus hitam lengan pendek, ia terlihat sedikit fresh. Tidak lupa topi hitam yang ia kenakan di kepala. Juga jaket kulit pemberian Felicia. Ia terlihat sangat tampan dan juga muda.Gerald selalu tampil rapi dan wangi setiap saat. Baginya penampilan adalah hal penting. Tidak masalah jika tidak tampan, yang penting menarik ketika dilirik.“Mau ke mana kamu?” Renata bertanya saat melihat anaknya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.“Mau makan di luar.” Gerald menjawab seadanya.“Mama loh udah suruh Bi Uti buat masak makanan kesukaan kamu, kamu malah makan di luar.” Renata protes.Mereka jarang bertemu, sekalinya bertem
Gerald menghentikan laju mobil. Lelaki bertubuh tinggi itu meminta agar Felicia tetap berdiam diri di dalam. Sementara ia keluar untuk mengecek apa yang tengah terjadi.Bola mata Gerald membelalak seketika. Sesosok wanita terlihat terbaring lemah di dekat moncong mobilnya. Ada darah segar yang menetes dari jidat dan juga siku tangan wanita itu.Gerald membungkuk, mencoba untuk membantu.“Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja.” Gerald mengulurkan tangan kanan.Wanita itu menerima uluran tangan dari Gerald. Garis wajahnya terlihat begitu familiar. Gerald lupa-lupa ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu.“Mari, kami antar ke rumah sakit.” Gerald membukakan pintu mobil bagian belakang.“Dena!” Sedikit terkejut Felicia menoleh ke belakang.Mendengar nama itu disebut, Gerald kembali mengingat memori tentang Dena. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wanita itu ket
“Sini saya tebus obatnya!” Gerald bangkit berdiri dan meminta Dena untuk menyerahkan kertas berisi resep obat itu kepadanya.‘Wah, belum apa-apa saja sudah diperhatikan seperti ini.’ Dena membatin. Ia salah dalam mengartikan tingkah Gerald kepadanya.Setelah kertas itu berpindah tangan, Gerald beranjak menuju apotek rumah sakit. Ia berdiam diri di sana, duduk di kursi tunggu bersama antrean lainnya. Bukannya langsung menyerahkan resep ke petugas, ia malah menahan kertas itu di tangan. Sengaja, sebab ingin berlama-lama di sana.Tujuannya ke apotek bukan benar-benar karena ingin menebus obat, tapi juga untuk menenangkan pikiran. Terutama untuk menjauh dari Dena. Di mana ada Dena, di situ tidak ada ketenangan.Felicia yang tengah asyik bercumbu bersama Dena, merasa kepergian Gerald terlalu lama. Ia ikut bangkit dan pamit pergi menyusul ke apotek. Meninggalkan Dena bersama imajinasinya yang kini telah terbang hingga mencapai mana
Saat terbangun di pagi hari, Gerald tidak lagi mendapati Felicia terbaring di sisinya. Hanya ada dia seorang diri yang terbaring di atas ranjang mewah itu. Namun, tidak ada pikiran buruk sama sekali. Gerald mengira wanita yang dicintainya tengah berada di kamar mandi.Hari ini ada rapat penting di kantor. Jadi, Gerald lekas bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi. Hanya sedikit waktu yang tersisa.“Sayang, aku masuk, ya!” Gerald memutar gagang pintu tanpa menunggu jawaban. Karena mereka sudah terbiasa mandi bersama. Bahkan mereka sering bercinta di sana.Ketika masuk ke ruang mandi itu, tidak ada siapa pun di sana. Gerald memeriksa bagian toilet, sama saja. Tidak ada tanda-tanda Felicia berada di sana.“Sayang!” Gerald memanggil sembari mencari keberadaan wanita itu.Tidak ada jawaban. Hanya ponsel miliknya yang terdengar berdering beberapa kali.Gerald melupakan Felicia sejenak, ia beranjak u
Gerald bolak-balik seorang diri di dekat parkiran. Ia masih belum bisa menerima keadaan. Hatinya kian gelisah dari waktu ke waktu. Ia tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini. Setidaknya ia harus baikan dengan Felicia. Sebab, wanita itu adalah separuh hidupnya.“Arght!” Gerald berteriak frustrasi. Ia menarik rambut hingga terlepas beberapa helai dari kulit kepala.Mengapa kisah cintanya tidak bisa semulus orang-orang?Lelaki dengan rahang kokoh itu menghela napas dalam-dalam. Ia berjalan cepat untuk mengejar Felicia. Namun, wanita yang ia kejar telah tiba di bilik apartemen miliknya. Felicia mulai berkemas. Pakaiannya ia masukkan satu per satu secara berantakan ke dalam koper besar yang selalu ia simpan di kolong ranjang.Tekadnya telah bulat. Ia ingin pergi jauh dari hidup Gerald. Hatinya masih terasa sakit hingga sekarang. Ia masih belum bisa percaya bahwa Gerald bisa mengatakan kalimat semenyakitkan itu kepada dirinya.
“Yakin. Kenapa, kumuh banget, ya?” Dena memasang wajah memelas.Felicia hanya bisa menghela napas dalam. Merasa sangat prihatin dengan kondisi Dena yang jauh lebih tragis daripada masa lalunya.“Jadi, kapan aku bisa mulai kerja?” Dena mengungkit kembali masalah kerjaan.Felicia menoleh pada Gerald, berharap mendapatkan jawaban dari lelaki itu. Namun, ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali.“Kita diskusi dulu, ya. Nanti kalau udah dapat jawaban, bakalan kita hubungin. Minta nomornya dong!” Felicia merogoh tas dan menyerahkan ponsel pada Dena.“Seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, aku gak punya ponsel.” Dena menjawab tanpa menerima uluran itu.“Ya sudah, tiga hari lagi kita ketemu di sini.” Felicia membuat keputusan.Dena mengangguk setuju, kemudian keluar dari mobil mewah itu. Meninggalkan Felicia dan Gerald berduaan di sana.
“Sini saya tebus obatnya!” Gerald bangkit berdiri dan meminta Dena untuk menyerahkan kertas berisi resep obat itu kepadanya.‘Wah, belum apa-apa saja sudah diperhatikan seperti ini.’ Dena membatin. Ia salah dalam mengartikan tingkah Gerald kepadanya.Setelah kertas itu berpindah tangan, Gerald beranjak menuju apotek rumah sakit. Ia berdiam diri di sana, duduk di kursi tunggu bersama antrean lainnya. Bukannya langsung menyerahkan resep ke petugas, ia malah menahan kertas itu di tangan. Sengaja, sebab ingin berlama-lama di sana.Tujuannya ke apotek bukan benar-benar karena ingin menebus obat, tapi juga untuk menenangkan pikiran. Terutama untuk menjauh dari Dena. Di mana ada Dena, di situ tidak ada ketenangan.Felicia yang tengah asyik bercumbu bersama Dena, merasa kepergian Gerald terlalu lama. Ia ikut bangkit dan pamit pergi menyusul ke apotek. Meninggalkan Dena bersama imajinasinya yang kini telah terbang hingga mencapai mana
Gerald menghentikan laju mobil. Lelaki bertubuh tinggi itu meminta agar Felicia tetap berdiam diri di dalam. Sementara ia keluar untuk mengecek apa yang tengah terjadi.Bola mata Gerald membelalak seketika. Sesosok wanita terlihat terbaring lemah di dekat moncong mobilnya. Ada darah segar yang menetes dari jidat dan juga siku tangan wanita itu.Gerald membungkuk, mencoba untuk membantu.“Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja.” Gerald mengulurkan tangan kanan.Wanita itu menerima uluran tangan dari Gerald. Garis wajahnya terlihat begitu familiar. Gerald lupa-lupa ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu.“Mari, kami antar ke rumah sakit.” Gerald membukakan pintu mobil bagian belakang.“Dena!” Sedikit terkejut Felicia menoleh ke belakang.Mendengar nama itu disebut, Gerald kembali mengingat memori tentang Dena. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wanita itu ket
Gerald keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Perutnya terlihat sixpack meskipun jarang olah raga. Karena sudah janjian dengan Felicia, ia bersiap-siap untuk menjemput wanita kesayangannya.Dengan celana jeans hitam dan juga kaus hitam lengan pendek, ia terlihat sedikit fresh. Tidak lupa topi hitam yang ia kenakan di kepala. Juga jaket kulit pemberian Felicia. Ia terlihat sangat tampan dan juga muda.Gerald selalu tampil rapi dan wangi setiap saat. Baginya penampilan adalah hal penting. Tidak masalah jika tidak tampan, yang penting menarik ketika dilirik.“Mau ke mana kamu?” Renata bertanya saat melihat anaknya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.“Mau makan di luar.” Gerald menjawab seadanya.“Mama loh udah suruh Bi Uti buat masak makanan kesukaan kamu, kamu malah makan di luar.” Renata protes.Mereka jarang bertemu, sekalinya bertem
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&