Lowongan pekerjaan sebagai pengasuh anak disebar luas oleh Felicia dan Gerald. Di internet maupun di tempat umum, banner itu terpajang dengan sangat rapi. Gaji yang ditawarkan juga bukan main-main. Wajar saja jika banyak wanita yang mengincar.
Bukan tanpa alasan jika pekerjaan yang ditawarkan di banner bukan pekerjaan yang sesungguhnya. Mustahil jika mereka membuat pengumuman dengan membuka lapangan pekerjaan untuk rahim wanita sehat yang akan disewa. Sangat tidak logis.
Ketika melakukan review di salah satu apartemen milik Gerald yang kini dihuni oleh Felicia, banyak wanita yang menolak ketika Felicia menerangkan hal sebenarnya. Menurut mereka, nama baik dipertaruhkan untuk pekerjaan ini, apalagi bagi seorang wanita perawan. Masa depan mereka bisa saja terancam, meskipun uang yang ditawarkan sangat menggugah iman.
“Saya tidak ingin menyerahkan kesucian untuk pria selain suami saya,” ucap salah satu wanita yang tengah diwawancara.
“Siapa juga yang menginginkan keperawananmu?” jawab Gerald dengan penuh keangkuhan.
Apalagi sosok wanita itu jauh di bawah standar. Ke mana-mana, tetap Felicia sebagai pemenangnya.
“Panggil pelamar yang lain!” ucap Gerald penuh perintah.
Wanita itu dibawa Felicia untuk keluar ruangan. Masih banyak wanita yang mengantre di depan pintu kamar. Mulai dari gadis, wanita dewasa, hingga beberapa ibu muda yang mungkin tengah kesulitan dalam ekonomi.
“Akan sedikit merepotkan, anaknya terlalu banyak,” protes Gerald ketika seorang ibu muda menerima tawaran untuk menyewakan rahimnya.
“Tapi, dia terlihat sehat. Anaknya juga cantik-cantik,” ucap Felicia meyakinkan dengan menunjukkan foto-foto yang diperlihatkan oleh ibu muda itu di ponselnya.
Lima puluh juta dalam sebulan, mungkin lebih dari cukup untuk melanjutkan hidup beberapa tahun ke depan. Apalagi ia akan disewa hampir setahun. Berapa ratus juta uang yang akan ia kantungkan?
Masalah izin dari suami, itu bisa diperbincangkan.
“Jadi, kapan saya bisa mengandung anakmu, Tuan?” tanya ibu muda itu dengan penuh percaya diri.
Kemeja putih yang tadi tertutup rapi, sudah terbuka hingga tiga kancing. Tangan lentiknya ia mainkan di atas dada dan membuka kemeja lebih lebar lagi agar bisa mempertontonkan buah dadanya yang bulat dan indah. Wanita itu mulai mendesah dan meremas gundukan empuk yang ia miliki, berusaha untuk menggoda Gerald.
Sebagai lelaki, Gerald sudah pasti tergoda akan hal itu. Apalagi buah dada milik ibu muda itu lebih indah dari punya Felicia. Mungkin karena kini ia tengah menyusui, sehingga auranya lebih terpancar tinggi.
“Enggak, enggak, gagal!” ucap Felicia setelah memerhatikan Gerald beberapa saat. Lelaki itu tampak menelan ludah berkali-kali.
“Ini bukan ajang jual diri,” ucap Felicia sembari membawa wanita itu keluar apartemen.
Tampak kekecewaan terpancar dari wajah ibu muda itu.
“Aneh. Kalian sendiri yang minta rahim buat disewa, tapi kok malah nuduh saya jual diri!” protes ibu muda itu.
Felicia mendadak bisu. Ibu muda itu ada benarnya juga, harusnya mereka lebih bisa mencari ungkapan yang pas untuk mencari wanita yang tepat.
Hari pertama interview, tidak ada satu pun wanita yang berhasil memikat hati Felicia maupun Gerald. Mereka belum menemukan wanita yang pas dan cocok untuk mengandung anak mereka.
“Gerald, apa aku boleh mengusulkan sesuatu?” tanya Felicia di tengah keputusasaan mereka mencari calon ibu dari anak Gerald.
“Tentu saja.” Gerald menjawab seraya membawa Felicia untuk duduk di pangkuannya.
“Bagaimana jika kita melakukan bayi tabung, lalu menitipkan benih kita di rahim wanita lain? Aku ingin kau mempunyai anak dariku.”
Kekhawatiran Felicia akan kehilangan Gerald, membuka mata hati wanita untuk menghilangkan ego akan permintaan anak. Jika Gerald memiliki anak dari wanita lain, bisa saja wanita itu merebut Gerald darinya suatu hari nanti dengan alasan anak. Namun, jika anak itu adalah darah daging Felicia dan Gerald, tidak ada alasan wanita itu untuk merebut Gerald darinya.
“Kenapa kita tidak menitipkan benih kita di sini saja?” tanya Gerald seraya mengusap lembut perut berotot milik Felicia.
“Kau tau kan? Aku tidak ingin perutku buncit, apalagi harus merelakan perutku disayat untuk operasi melahirkan nanti.” Felicia berbohong menjawab.
Sebenarnya ada hal yang lebih menakutkan dari sekadar perubahan fisik. Namun, wanita seksi nan anggun itu lebih memilih untuk merahasiakan dari Gerald.
“Lakukanlah apapun yang bisa membuatmu senang.” Gerald membalik posisi. Kini Felicia tengah berbaring di sofa dengan Gerald yang berlutut di atasnya.
“Apa kau akan tetap mencintaiku?” Felicia bertanya seraya menangkup wajah Gerald yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
Gerald tidak menjawab dengan kata-kata. Pertanyaan itu ia respons dengan sentuhan-sentuhan lembut yang pada akhirnya berujung dengan pergulatan penuh cinta.
****Felicia sebenarnya bukan siapa-siapa jika tanpa Gerald. Ia hanya gadis biasa yang bermasalah dalam kehidupan keluarga. Mereka bertemu di sebuah club malam. Gerald yang dipaksa temannya untuk menghadiri pesta di bar, tanpa sengaja bertemu dengan Felicia yang bekerja sebagai salah satu penghibur di sana.
Felicia berbeda dengan gadis penghibur lainnya. Ia akan marah dan memaki ketika disentuh ataupun digoda oleh pengunjung bar.
Gerald sempat tertawa menyaksikan hal itu, sehingga berniat untuk mengerjai Felicia dengan berusaha untuk menyewanya. Namun, bukan kata manis yang Gerald terima setelah menawarkan sejumlah uang, ia malah dimaki dan dihina.
“Kau pikir uangmu bisa membeli harga diriku?”
Kalimat itu memukul telak kepercayaan diri milik Gerald. Lantas, mengapa ia bekerja di bar jika ingin menjaga harga dirinya?
Semenjak kejadian itu, setiap ada waktu Gerald berusaha mendatangi bar hanya untuk sekadar bertemu Felicia. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan ia ke sana hanya untuk mencaritahu informasi lebih banyak mengenai Felicia.
Ternyata, ia telah dijual oleh ayahnya kepada pemilik bar. Hal itu membuat hati Gerald luluh. Apalagi melihat ketangguhan Felicia selama ini dalam menjaga diri dari tangan-tangan nakal para pengunjung.
“Ikutlah denganku!” ajak Gerald waktu itu.
“Lepaskan tanganmu, karena aku harus bekerja!” Felicia memberontak dari cengkeraman tangan Gerald.
“Kau sekarang menjadi milikku. Kau sudah kubeli pada tuanmu,” ucap Gerald yang membuat Felicia kebingungan. “Kau sudah kubayar 2 miliar,” tambahnya.
Felicia semakin dibuat terheran-heran. Ayahnya menukar ia kepada pemilik bar hanya dengan uang sepuluh juta. Lantas, sekarang ada seorang lelaki yang menghargainya 2 miliar.
Mengapa dulu ayahnya tidak menjual dirinya kepada Gerald? Agar masalah keuangan ayahnya bisa teratasi.
“Lalu, apa maumu?” tanya Felicia seraya melipat tangan di dada.
Merasa dirinya berharga, ia mulai bersikap angkuh. Namun, keangkuhan itu semakin membuat Gerald tergila-gila padanya.
“Ternyata kau manis juga, Nona,” goda Gerald seraya menyentuh dagu runcing milik Felicia.
“Singkirkan tangan kotormu itu dariku. Jadi, sudah berapa banyak wanita yang kau tiduri?” Felicia bertanya dengan penuh keangkuhan.
“Sepertinya kau akan menjadi yang pertama.” Gerald menatap penuh arti.
“Urungkan saja niatmu itu. Wanita bayaran saja tidak mau tidur denganmu, apa lagi aku.” Felicia berucap seraya meninggalkan Gerald.
“Hei, Nona! Tunggu aku!” Gerald berlari mengejar.
Mereka mulai berbincang-bincang di sepanjang perjalanan keluar dari bar. Gerald membawanya untuk pergi ke salah satu apartemen yang ia punya. Malam itu, mereka bermalam bersama tanpa melakukan apa-apa.
Merasa dihargai sebagai seorang wanita, Felicia mulai membuka diri pada Gerald. Apalagi selama tinggal di apartemen, Gerald memenuhi semua keperluan yang ia butuhkan tanpa meminta bayaran apa-apa. Bahkan ia tidak pernah berniat sekali pun untuk menyentuh mahkota berharga milik Felicia.
Semakin hari, mereka semakin dekat. Felicia mulai hidup mewah dengan semua tunjangan yang diberikan oleh Gerald. Hingga suatu hari, Gerald datang ke apartemen dalam keadaan mabuk berat. Ia sedang stress dengan pekerjaan kantor, karena omzet menurun drastis.
Dalam keadaan setengah sadar, Gerald menyatakan perasaannya pada Felicia. Sontak, Felicia terkejut akan hal itu. Apalagi Gerald mulai mendekat dan melepas satu per satu pakaian yang ia kenakan.
Ternyata Felicia juga memiliki perasaan yang sama. Ia jatuh cinta pada Gerald, karena belum pernah ia diperlakukan sebaik itu sebelumnya.
Gerald melempar tubuh ramping Felicia ke atas ranjang. Felicia sempat memberontak, karena tahu Gerald tengah mabuk berat. Ia hanya tidak ingin jika nanti Gerald sadar dan menyesali semuanya. Lantas, ke mana ia akan pergi jika Gerald mengusirnya dari tempat yang penuh kemewahan ini?
“Aku sangat mencintaimu, Felicia.” Gerald berucap dengan nada berat dan serak. Nafsu telah berada di puncak. Ia ingin segera menikmati tubuh wanita yang begitu ia cintai.
Malam itu, semuanya terjadi begitu saja. Felicia tidak memberontak lagi, tapi juga tidak membalas perlakuan lembut Gerald yang tengah memuaskan nafsu. Ia biarkan saja tubuhnya dinikmati oleh Gerald, hingga lelaki itu merasa puas.
Saat terbangun di pagi hari, Gerald kaget bukan main. Ia terkejut ketika mendapati Felicia tengah tertidur dalam dekapannya dan tanpa pakaian sehelai benang pun.
Cepat, ia bangkit dari ranjang dan segera mengenakan pakaian. Buru-buru ia pergi dari apartemen sebelum Felicia terbangun.
Namun, sebelum ia pergi, Felicia sedang terjaga saat itu. Bahkan ia tidak tertidur sepanjang malam. Ia masih memikirkan tentang hal yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Gerald.
Felicia dibuat tertekan. Rasa bersalah muncul dalam dirinya. Sebab, ia gagal untuk menahan Gerald berbuat hal semacam itu pada dirinya. Ia merasa telah menjadi orang rendahan. Sebab, menyerahkan kesucian atas nama cinta.Apalagi kepergian Gerald tanpa pamit membuat Felicia berpikir yang macam-macam.Felicia bangkit berdiri dari ranjang. Ia beranjak menuju kamar mandi. Bukan untuk mandi, ia berlama-lama berdiam diri di sana. Di bawah guyuran air shower sambil menangis frustrasi.Setelah berpikir sekian lama, Felicia memutuskan untuk pergi dari apartemen. Ia tidak ingin bertemu Gerald untuk sementara waktu.Dengan langkah perlahan, Felicia membawa tas hitam yang berisi beberapa potong pakaian. Tanpa tujuan, ia terus melangkah dengan pikiran yang mengembara entah ke mana.Ia mencintai Gerald, tapi saat ini suasana hatinya tengah tidak baik-baik saja. Ia takut sesuatu akan terjadi, seperti bayangan masa lalu yang kerap kali menghantui
Wanita itu sudah pasrah akan takdir. Jika hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya, ia akan terima begitu saja. Bahkan jika nyawanya pun ikut direnggut paksa, ia sudah tidak akan melakukan perlawanan, sebab Felicia merasa sudah tidak bisa melawan sama sekali. Apalagi ia pernah menjadi saksi bisu saat adanya pembunuhan dan pemerk*saan saat ia masih kecil dulu.Hal itu membuat jiwanya begitu tergoncang. Ia tidak pernah mengira akan mendapatkan perlakuan yang sama.Ketakutan di masa kecil, kembali ia rasakan kini. Bayang-bayang kesadisan dan perilaku kebejatan itu terngiang-ngiang kembali di pikiran Felicia. Hal itu menyebabkan nyalinya menciut dan tidak ada kekuatan untuk melawan.Senjata panjang miliki pria itu semakin mendekat ke barang intim milik Felicia. Hanya berjarak satu senti lagi agar mereka menyatu satu sama lain. Namun, entah dari mana asalnya, Gerald sudah berada di sana dan mengahajr pria itu tanpa ampun.Melihat Felicia yang dilecehkan se
Bagi Gerald, permintaan Felicia adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan. Wanita itu adalah hal penting dari semua yang terpenting. Ia adalah ratu kerajaan yang dibangun oleh Gerald. Sang pemilik hati yang tidak akan pernah terganti.Sepanjang perjalanan, Gerald berulang kali menoleh ke arah Felicia demi memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. Beberapa saat fokus ke jalan, lalu detik berikutnya kembali fokus ke arah Felicia. Selalu begitu hingga mereka tiba di parkiran apartemen.Mobil melambat dan berhenti ketika mereka telah sampai. Gerald turun dengan cepat, lalu berlari ke arah sisi mobil lainnya untuk membukakan pintu bagi Felicia. Digendongnya tubuh langsing itu karena Felicia tampak sudah tidak berdaya untuk berjalan sendiri. Padahal ia selalu menjaga kesehatan, bahkan rutin untuk olah raga ke gym demi mendapatkan posri tubuh yang ideal.Gerald juga selalu menunjang berbagai vitamin agar Felicia tetap fresh dan segar. Bertahun-tahun mereka bersama
“Sebaiknya kamu pulang dulu, nanti datang lagi ketika istri saya sudah pulih total.” Gerald berucap ketika Dena ikut duduk di tepian ranjang yang bersebelahan dengan dirinya.Gerald semakin merasa tidak suka, sebab Dena bertindak semakin jauh. Seolah bahwa dia adalah bagian dari keluarga.Dena mendengkus kesal, padahal ia ingin sekali mengambil hati Gerald. Apalagi sekarang adalah waktu yang tepat. Memasang topeng baik di depan target.Dengan terpaksa, Dena bangkit dari ranjang dan pamit untuk pulang.Gerald hanya merespons dengan wajah datar dan deheman pelan ketika Dena pamit dan mulai menghilang dari balik pintu kamar.Begitulah Gerald. Dingin dan kaku terhadap wanita lain. Ia hanya bisa manja dan mencair jika tengah bersama pawangnya. Felicia.Di luar sana, Dena bertemu dengan beberapa gadis yang ingin mengikuti sesi interview, barang kali diterima oleh Gerald. Namun, dengan liciknya Dena menyeba
Felicia masih ingat semua kejadian pahit itu. Ketika ia berada dalam puncak ketakutan, sebab tidak ada orang dewasa di sana. Hanya dirinya, jasad sang ibu, dan juga si narapidana pembunuh.Setelah merasa puas menikmati tubuh jasad ibu Felicia, pria bejat itu beranjak mendekat ke arah sosok mungil Felicia. Gadis kecil itu semakin ketakutan, teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Ketika ibu dan bapaknya bertengkar hebat, sebab sang bapak sambung ingin menikmati tubuh Felicia. Sementara gadis itu belum genap 5 tahun usianya. Felicia semakin gemetar saat tubuh bugil penuh darah itu mendekat ke arahnya dengan tatapan ingin menerkam. Ia takut jika nasibnya akan sama seperti sang ibu. Tewas di tangan lelaki tidak bermoral.Tangan mungil itu sudah ditarik paksa, membuat tubuh mungil Felicia harus berdiri karenanya.Mata polos nan indah itu menatap sang pria dengan sorot penuh iba. Berharap diberikan kesempatan untuk melarikan diri. M
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Saat terbangun di pagi hari, Gerald tidak lagi mendapati Felicia terbaring di sisinya. Hanya ada dia seorang diri yang terbaring di atas ranjang mewah itu. Namun, tidak ada pikiran buruk sama sekali. Gerald mengira wanita yang dicintainya tengah berada di kamar mandi.Hari ini ada rapat penting di kantor. Jadi, Gerald lekas bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi. Hanya sedikit waktu yang tersisa.“Sayang, aku masuk, ya!” Gerald memutar gagang pintu tanpa menunggu jawaban. Karena mereka sudah terbiasa mandi bersama. Bahkan mereka sering bercinta di sana.Ketika masuk ke ruang mandi itu, tidak ada siapa pun di sana. Gerald memeriksa bagian toilet, sama saja. Tidak ada tanda-tanda Felicia berada di sana.“Sayang!” Gerald memanggil sembari mencari keberadaan wanita itu.Tidak ada jawaban. Hanya ponsel miliknya yang terdengar berdering beberapa kali.Gerald melupakan Felicia sejenak, ia beranjak u
Gerald bolak-balik seorang diri di dekat parkiran. Ia masih belum bisa menerima keadaan. Hatinya kian gelisah dari waktu ke waktu. Ia tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini. Setidaknya ia harus baikan dengan Felicia. Sebab, wanita itu adalah separuh hidupnya.“Arght!” Gerald berteriak frustrasi. Ia menarik rambut hingga terlepas beberapa helai dari kulit kepala.Mengapa kisah cintanya tidak bisa semulus orang-orang?Lelaki dengan rahang kokoh itu menghela napas dalam-dalam. Ia berjalan cepat untuk mengejar Felicia. Namun, wanita yang ia kejar telah tiba di bilik apartemen miliknya. Felicia mulai berkemas. Pakaiannya ia masukkan satu per satu secara berantakan ke dalam koper besar yang selalu ia simpan di kolong ranjang.Tekadnya telah bulat. Ia ingin pergi jauh dari hidup Gerald. Hatinya masih terasa sakit hingga sekarang. Ia masih belum bisa percaya bahwa Gerald bisa mengatakan kalimat semenyakitkan itu kepada dirinya.
“Yakin. Kenapa, kumuh banget, ya?” Dena memasang wajah memelas.Felicia hanya bisa menghela napas dalam. Merasa sangat prihatin dengan kondisi Dena yang jauh lebih tragis daripada masa lalunya.“Jadi, kapan aku bisa mulai kerja?” Dena mengungkit kembali masalah kerjaan.Felicia menoleh pada Gerald, berharap mendapatkan jawaban dari lelaki itu. Namun, ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali.“Kita diskusi dulu, ya. Nanti kalau udah dapat jawaban, bakalan kita hubungin. Minta nomornya dong!” Felicia merogoh tas dan menyerahkan ponsel pada Dena.“Seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, aku gak punya ponsel.” Dena menjawab tanpa menerima uluran itu.“Ya sudah, tiga hari lagi kita ketemu di sini.” Felicia membuat keputusan.Dena mengangguk setuju, kemudian keluar dari mobil mewah itu. Meninggalkan Felicia dan Gerald berduaan di sana.
“Sini saya tebus obatnya!” Gerald bangkit berdiri dan meminta Dena untuk menyerahkan kertas berisi resep obat itu kepadanya.‘Wah, belum apa-apa saja sudah diperhatikan seperti ini.’ Dena membatin. Ia salah dalam mengartikan tingkah Gerald kepadanya.Setelah kertas itu berpindah tangan, Gerald beranjak menuju apotek rumah sakit. Ia berdiam diri di sana, duduk di kursi tunggu bersama antrean lainnya. Bukannya langsung menyerahkan resep ke petugas, ia malah menahan kertas itu di tangan. Sengaja, sebab ingin berlama-lama di sana.Tujuannya ke apotek bukan benar-benar karena ingin menebus obat, tapi juga untuk menenangkan pikiran. Terutama untuk menjauh dari Dena. Di mana ada Dena, di situ tidak ada ketenangan.Felicia yang tengah asyik bercumbu bersama Dena, merasa kepergian Gerald terlalu lama. Ia ikut bangkit dan pamit pergi menyusul ke apotek. Meninggalkan Dena bersama imajinasinya yang kini telah terbang hingga mencapai mana
Gerald menghentikan laju mobil. Lelaki bertubuh tinggi itu meminta agar Felicia tetap berdiam diri di dalam. Sementara ia keluar untuk mengecek apa yang tengah terjadi.Bola mata Gerald membelalak seketika. Sesosok wanita terlihat terbaring lemah di dekat moncong mobilnya. Ada darah segar yang menetes dari jidat dan juga siku tangan wanita itu.Gerald membungkuk, mencoba untuk membantu.“Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja.” Gerald mengulurkan tangan kanan.Wanita itu menerima uluran tangan dari Gerald. Garis wajahnya terlihat begitu familiar. Gerald lupa-lupa ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu.“Mari, kami antar ke rumah sakit.” Gerald membukakan pintu mobil bagian belakang.“Dena!” Sedikit terkejut Felicia menoleh ke belakang.Mendengar nama itu disebut, Gerald kembali mengingat memori tentang Dena. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wanita itu ket
Gerald keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggang. Perutnya terlihat sixpack meskipun jarang olah raga. Karena sudah janjian dengan Felicia, ia bersiap-siap untuk menjemput wanita kesayangannya.Dengan celana jeans hitam dan juga kaus hitam lengan pendek, ia terlihat sedikit fresh. Tidak lupa topi hitam yang ia kenakan di kepala. Juga jaket kulit pemberian Felicia. Ia terlihat sangat tampan dan juga muda.Gerald selalu tampil rapi dan wangi setiap saat. Baginya penampilan adalah hal penting. Tidak masalah jika tidak tampan, yang penting menarik ketika dilirik.“Mau ke mana kamu?” Renata bertanya saat melihat anaknya menyambar kunci mobil di atas meja ruang keluarga.“Mau makan di luar.” Gerald menjawab seadanya.“Mama loh udah suruh Bi Uti buat masak makanan kesukaan kamu, kamu malah makan di luar.” Renata protes.Mereka jarang bertemu, sekalinya bertem
Dena berjalan menyisiri sisi pagar, mencari celah yang tepat untuk memasuki pekarangan rumah Gerald. Pagar beton dengan besi-besi tajam itu cukup tinggi, bahkan tinggi Dena tidak bisa menyamai. Wanita bercelana jeans itu bersusah payah agar bisa melewati sela-sela besi tajam. Pelan-pelan ia turun agar tidak menimbulkan bunyi pijakan. Karena sudah terbiasa melompat pagar sekolah masa SMA dulu, melewati pagar rumah Gerald bukanlah hal yang cukup sulit. Ia melihat ke sekitar, mencari posisi satpam penjaga. Tidak ada orang sama sekali. Dengan mudah Dena berjalan ke arah jendela. Karena semua jendela dipasangi terali, Dena cukup sulit untuk masuk. Ia berjalan mengendap-endap, mencari pintu yang barangkali lupa dikunci. Benar saja, ketika berjalan ke arah belakang, ada pintu yang tengah terbuka. Namun, di sana ada pekerja yang sedang sibuk dengan peralatan masak. Ternyata itu ruang dapur. Dena mengurungkan niat untuk masuk. Ia kembali meny
Dena berusaha mengingat apa nama kantor tempat di mana Gerald bekerja. Kata itu ia simpan lekat-lekat dalam otak. Ia sempat bertanya pada Felicia, yang dianggap wanita itu sekadar basa-basi saja.Hari ini ia akan menjadi penguntit, ingin mencari lebih dalam lagi hal yang bersangkutan dengan Gerald. Mencari titik lemah lelaki itu agar ia bisa menjadikannya alat untuk mempermudah menggapai impian.Dena pulang ke kontrakan terlebih dahulu. Mengubah penampilan agar tidak diketahui keberadaannya oleh Gerald. Ia mengenakan kaus hitam dengan jaket kulit. Celana jeans panjang dan juga topi hitam. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang dan dimasukkan ke lubang bagian belakang topi. Terlihat keren sekali. Seperti gadis tomboy. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih terlihat seperti gadis anggun nan ayu.“Alexis First Family.” Dena mengulang kalimat itu demi mengingat nama kantor tempat Gerald kini tengah berada.Ia mencari tahu di google te
“Sudah, lupakan saja. Ayok lanjut makan.” Gerald memecah keheningan di antara mereka.Felicia semakin merasa tidak enak. Ia begitu sering merepotkan dan menyusahkan Gerald, tapi untuk mengikuti keinginan lelaki itu, ia tidak sanggup sama sekali.“Maafkan aku.” Akhirnya Felicia mengucap kalimat itu. Sudah lama ia ingin melontarkan kata maaf, tapi tidak pernah kesampaian.Gerald hanya tersenyum tipis menjawab. Diusapnya lembut puncak kepala Felicia.“Lupakan saja. Aku lebih suka Felicia yang biasanya.”Felicia membalas senyum manis Gerald. Ia mengangguk dan lanjut menghabiskan bubur bersama Gerald.“Kamu sudah mendingan?” Gerald bertanya setelah memberikan obat pada Felicia.“Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa kau tidak merasa gerah mengenakan jas di dalam rumah?” Felicia memerhatikan penampilan Gerald yang teramat formal. Peluh menetes di jidat lelaki itu.&