Leon tercengang akan tindakan Eve yang begitu mendadak. Ia mengerjap beberapa kali saat wanita itu melepas pagutan kilatnya dan tersenyum padanya.
"Sekarang kau percaya aku benar-benar di sini?" tanya Eve mengembalikan kewarasan Leon yang sempat hilang beberapa detik lalu. "A-apa?" Leon tersadar dan tersenyum sambil mendekati wajah Eve untuk berbisik, "Sesungguhnya aku percaya tanpa kau harus melakukan itu," bisiknya mengedipkan sebelah matanya. Eve tersenyum dan membalas bisikan Leon. "Jadi kau tak ingin aku melakukannya?" tanyanya enggan menjauhkan wajahnya dari hadapan Leon. Keduanya tampak intens menatap dalam jarak yang amat dekat dengan tangan Leon yang masih melingkari pinggangnya. "Bukan begitu, tapi-" "Eherm! Mau sampai kapan kalian hanya berbisik?" sela Christian sarkas karena tak tahan melihat kedekatan keduanya sampai membuatnya berdiri dari duduknya dan menatap Eve dengan sorot tajam seolah berkata, How could you, Arabelle! Tentunya hanya di dalam hatinya. Christian tak ingin memperkeruh suasana. Pesan Arabelle barusan dianggap cukup untuknya menahan diri sampai setidaknya makan malam ini berakhir. Meski hatinya memanas melihat wanita itu mencium Leon lebih dulu dan tak dapat menahan api cemburu yang membara ingin segera menuntut tindakan Eve barusan. Leonard menoleh pada kakaknya dan terkekeh serta membalas perkataan Christian pagi tadi. "Jangan iri melihat kami, Chris," ejeknya terkekeh sambil membawa Eve dengan mengarahkan tubuh wanitanya duduk di sampingnya tepat di hadapan Christian. "So, Chris this is Eve and Eve this is Christian. He's my charming brother," guraunya memperkenalkan keduanya sambil mengedipkan sebelah mata pada Eve. Christian dan Eve saling menjabat tangan sejenak sambil menyebutkan nama masing-masing serta tersenyum sekedarnya lalu melepasnya. Tangan Chris terkepal di atas pangkuannya usai melepaskan jabat tangan sambil menyorot tajam matanya memanas menatap Arabelle dalam sosok Eve tampak begitu dekat bersama Leonard yang kini tengah berbincang kecil memperlihatkan menu makanan pada Eve sambil terkekeh tak ayal Leon memberikan sentuhan kecil pada tangan dan pipi wanita itu layaknya sepasang manusia tengah kasmaran. Hal tersebut semakin membuat Christian terbakar api cemburu seolah merasakan pembalasan karena sejak pagi dirinya telah membuat Leon merana melihat kedekatannya dengan Arabelle. Akan tetapi, Leon tak lebih panas dari dirinya saat ini. Tentu saja itu semua karena ia mengetahui bahwa Eve yang ada di hadapannya saat ini adalah Arabellenya. Setelah memutuskan menu yang ingin Eve santap. Leonard akhirnya kembali menoleh pada Christian. "Oh ya, ngomong-ngomong sudah berapa lama Arabelle ke toilet? Apa kau tak ingin mencarinya, Chris?" tegur Leonard mengingatkan. Christian tersadar pada ucapan Leonard dan menoleh dengan tatapan dingin. "Aku akan mengeceknya," ujar Christian beranjak dari duduknya sambil memberikan tatapan isyarat pada Eve agar ikut ke toilet. "Hei, aku bisa bantu mengeceknya ke dalam toilet untuk mengatakan kau di luar menunggunya. Sekalian aku juga ingin ke sana." Eve menoleh pada Leon yang mengangguk. Christian pun mengangguk dan memintanya berjalan lebih dulu. Sampai keduanya berbelok ke arah toilet yang tampak sepi. Christian mulai meraih pinggang Arabelle, meski wanita itu menyingkirkan tangannya. Eve tetap berjaga-jaga kalau tiba-tiba saja Leonard melihat mereka. Namun, Christian tetap mengarahkannya masuk ke salah satu bilik serta menguncinya. "Apa yang kau lakukan, Arabelle?!" desisnya mengunci Eve di antara kedua tangan yang menahan sisi kiri dan kanan Eve. "Apa yang sedang kulakukan adalah tengah bersikap adil pada Leon. Itu yang kau minta tadi, Chris." "Aku memintamu memilih, Arabelle. Bukan memperlakukan kami seperti ini." "Aku juga sudah mengatakannya padamu semalam bahwa aku tak bisa memilih di antara kalian saat ini. Aku tak ingin salah dan kalaupun aku memilih, apa salah satu dari kalian sanggup melihatku bersanding dengan salah satunya? Kau yakin bisa menerima jika aku memilih Leon? Dan, apa kau juga yakin bisa melihat Leon menderita meski aku di sisimu?" tuntut Eve menatap dengan mata berlapis air bening yang telah memerah di sekitarnya melingkari sisi selaput tipisnya. Begitu juga dengan Christian yang menatap mata Eve dengan bimbang terlihat dari gerakan iris birunya tampak gelisah ke kiri dan kanan seolah tengah mencari jawaban dari setiap pertanyaan Eve. "Damn!" umpat Christian menggebrak pintu di belakang Eve hingga wanita itu cukup terkejut. Christian menjauhkan diri dan mengusap wajahnya sambil terpejam menahan diri agar lebih tenang. "Aku tak bisa begini, Arabelle-" "Eve ...," sela Eve mengingatkan. "Please Christian jika kau tak ingin menyakiti Leon, maka berhenti bertindak seperti ini." "Lantas aku harus bagaimana, Arabelle?! Diam saja melihatmu bermesraan dengan adikku? Dan kenapa kau menciumnya lebih dulu tadi, kau sengaja melakukannya di depanku? Kau ingin aku menderita?" tuntut Christian. o0o• The Berkeley Carroll School, Brooklyn.Suara bel di siang hari menandakan pelajaran telah usai. Wanita manis di depan kelas tersebut tersenyum pada murid-muridnya yang mengeluhkan jam pelajaran terasa cepat usai. Akan tetapi, semuanya tetap tertib merapikan barang-barang dan berbaris keluar satu persatu lalu langsung disambut oleh para orang tua mereka di depan."Ah, Miss Stewart aku belum selesai membuat prakarya," keluh seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun sambil menunjukkan prakarya sebuah menara miniatur dari karton.Ara menoleh pada satu-satunya murid yang tersisa di kelasnya. Wajah beralaskan bedak tipis itu tersenyum dan mendekati anak laki-laki tersebut. "Hei, Christoph. Kau bisa membawanya pulang dan menyelesaikannya dengan orang tuamu, pasti lebih menyenangkan," ujar Arabelle sedikit membungkuk dan senyuman manis tercetak di wajah berbingkai kacamata.Namun, berbeda dengan anak yang dipanggil Christoph itu malah menunjukkan wajah murungnya dan dengan terpaksa merapika
"Apa kau bilang?!" pekik Ara.Jayden tak langsung menjawab melainkan memutar tubuh Ara dan memerhatikan wajah wanita itu lalu membuka kacamata berbingkai tebal miliknya."Hei, apa yang kau lakukan?!" sentak Ara mengambil kacamatanya dari Jayden lalu mengenakannya kembali."Baiklah kau hanya tinggal dirias dan mengenakan pakaian yang sesuai dengan bentuk tubuhmu. Aku yakin semua orang tak akan mengalihkan pandangannya darimu.""Apa yang kau bicarakan? siapa yang mengatakan aku bersedia?!" tanya Ara."Aku tak butuh persetujuanmu, Nona pemarah. Anggaplah kau menggantikan kontrak Kim. Jika kau tak melakukannya kau sebagai wali satu-satunya harus membayar penaltinya," ancam Jayden."Apa, kenapa harus aku?" tuntut Ara mengejar Jayden, "yang menandatangani kontrak adalah Kim. Jelas tak ada urusannya denganku!""Di dalam klausa sebelas poin lima di kontrak yang ditandatangani Kim berisi; Jika dia melakukan pelanggaran kontrak seperti melarikan diri atau menghilang dari pekerjaan, maka wali yan
Sebuah mobil sport hitam melaju membelah jalan di pusat kota yang tak terlalu lenggang, tetapi tampak gesit menyalip beberapa kendaraan lain hingga akhirnya mobil tersebut berbelok memasuki sebuah menara bertuliskan Hugo Hotel dan membawa si hitam gesitnya itu berhenti di lobby.Sang pengemudi keluar dan melemparkan kuncinya pada seorang petugas valley lalu pria dengan postur tubuh tinggi tegap dan berbentuk sempurna itu tampak memasuki gedung tersebut dan langsung menuju resepsionis untuk mengambil kartu suite room tempatnya bermalam saat ini.Leonard Hugo membuka kacamata hitam dan bicara pada seorang resepsionis untuk memberikannya kunci kamar."Hei, Zack kartu aksesku, please," pintanya dan dengan segera resepsionis yang dipanggil Zack itu bergegas mengambil hak putra kedua pemilik hotel yang kini sudah dikelola oleh sang kakak.Tak jauh dari sana tampak perkumpulan wanita keluar dari ballroom hotel yang terlihat seperti ada sebuah acara tertutup di dalam sana."Wah, apa dia putra
Ara berlari menuju pintu masuk di mana ia mengajar murid junior school yang berada di tengah antara rumah tinggalnya dengan pusat kota. Dirinya baru tidur selama satu jam seusai pulang dari pemotretan dan langsung kembali ke Brooklyn. Bingkai hitam tebal kacamata besarnya itu menutupi lelahnya mata yang kurang puas terpejam.Suara bell dari jam pelajaran yang dimulai terdengar tepat saat Ara baru tiba di depan gerbang. Langkahnya semakin tergesa sampai ketika dirinya tiba di pintu masuk, ia dikejutkan dengan cipratan air genangan yang muncrat ke celana juga kemeja birunya."Oh, My God!" pekik Ara. "Hei, apa kau tak melihatku!" teriak Ara.Mobil sedan yang melintas itu pun berhenti di depan pintu masuk gedung diiringi pemilik mobil—yang sepertinya tak menyadari ulahnya itu. Ara mempercepat langkahnya saat menatap pelaku yang keluar dengan tergesa menuju pintu penumpang di sampingnya."C'mon Christoph. Kau sudah terlambat, kenapa kau keras kepala dan malah menunggu Dad mengantarmu?" kel
Siang hari setelah jam mengajar Ara usai seperti biasanya seluruh murid sudah langsung mendapat jemputan dan menyisakan Christopher yang lagi-lagi jemputannya belum tiba."Christoph, apa ayahmu belum menjemput lagi?" tanya salah seorang temannya dengan rambut coklatnya yang klimis."Jelas saja terlambat ayahnya pasti sibuk mengurus bisnis keluarga. Ayahku pun begitu," jawab temannya yang lain.Ara yang masih sibuk menyusun kertas tugas murid-muridnya itu hanya bisa memerhatikan dari jauh, Christopher didatangi tiga temannya yang sedikit usil."Oh, ayolah kalian jangan begitu pada Christoph. Semua ayah kita memang sibuk, maka dari itu para ibu yang menjemput kita," sahut bocah lainnya yang lebih menonjol dibanding dua sebelumnya. "Namun, sayangnya Christoph sudah tidak memiliki ibu. Jadi wajar jika dia tak mendapat jemputan tepat waktu," ejeknya terkekeh."Oh, iya aku lupa Christoph tak memiliki ibu lagi," sahut teman pertama yang menyapanya.Disusul dengan ucapan si anak berambut cepa
Arabelle berjalan tergesa menuju ATM center di mana ia sudah berjanji akan mengirimkan uang bunga dari pinjaman mendiang ayahnya yang masih menumpuk. Namun, ia terkejut saat melihat saldo dari rekening peninggalan sang ayah telah kosong. Dirinya yakin semua itu ulah Kimber yang entah digunakan untuk apa karena bahkan sampai saat ini gadis itu masih belum bisa dihubungi.Ara keluar dari ATM dan berjalan dengan langkah gontai menuju arah rumah. Dia berharap para rentenir itu mau mengerti dan memberikan waktu untuknya menunda beberapa hari ke depan sampai ia mendapatkan solusi.Sialnya, belum juga ia sempat membicarakan baik-baik. Pria berjanggut tebal itu kini sudah berada di depan rumahnya. Bertepatan dengan itu Chloe membunyikan klakson sebagai tanda dirinya ada di belakang Ara."Ara!" seru Chloe dari dalam mobilnya."Chloe," sapanya sekilas sambil melirik pada si penagih hutang yang berjalan mendekatinya. Melihat pria kekar itu berjalan dengan tergesa lantas Ara pun turut bergegas mem
Saat Arabelle baru saja hendak memasuki toko yang menjual bahan-bahan kue, netranya melihat sosok anak laki-laki yang tampak tak asing tengah berjalan memasuki toko buku. Arabelle mengerutkan keningnya demi meyakinkan penglihatannya bahwa bocah itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Begitu dia yakin ia baru teringat jika Leonard berada di sana berarti benar Christoph juga berada di sana."Christoph?" panggil Ara, tetapi bocah itu tak mendengarnya sehingga membuat Arabelle membelokkan arah tujuannya. "Christoph!" seru Ara lagi sambil sedikit berlari dan mengejar bocah itu.Namun, Christopher malah berlari semakin masuk dan menuju tempat pernak pernik perlengkapan berkarya. Sialnya, Ara tak melihatnya masuk ke rak mana. Kedua netra abu itu mulai sibuk mencari di setiap lorong rak-rak buku hingga akhirnya menemukan bocah itu tengah melihat-lihat kertas warna warni."Christoph!" serunya memanggil lalu menghela napas lega ketika akhirnya menemukan bocah itu.Christopher menoleh kepadany
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?""Oh, sungguh jangan dengarkan Chloe. Jika menyuruhnya menilai dia akan memilih adikmu." Ara menjawab dengan sedikit kekehan."Pertanyaan itu untukmu, Arabelle." Christian menegaskan."Jangan memintaku. Percayalah penilaianku sangat buruk," jawab Ara lagi sambil meringis.Christian terkekeh dan mulai keluar dari area parkir. "Baiklah, aku percaya. Jadi, di mana rumahmu?" tanya Christian mengalihkan perbincangan menyenangkan itu."Brooklyn, tepatnya di kawasan Ridge Boulevard." Ara menjawab cepat hingga membuat Christian menaikkan sebelah alisnya. "Rumah peninggalan ayahku. Aku tak ingin menjualnya karena banyak kenangan di sana," imbuhnya tak ingin membuat orang salah berpikir dirinya memiliki banyak uang karena tinggal di lingkungan yang terbilang masih cukup bagus meski hanya kawasan Brooklyn.Christian mengangguk dengan senyum mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. "I'm so sorry," ujar Christian."Tak apa, beberapa pengajar di sekolah m