Saat Arabelle baru saja hendak memasuki toko yang menjual bahan-bahan kue, netranya melihat sosok anak laki-laki yang tampak tak asing tengah berjalan memasuki toko buku. Arabelle mengerutkan keningnya demi meyakinkan penglihatannya bahwa bocah itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Begitu dia yakin ia baru teringat jika Leonard berada di sana berarti benar Christoph juga berada di sana.
"Christoph?" panggil Ara, tetapi bocah itu tak mendengarnya sehingga membuat Arabelle membelokkan arah tujuannya. "Christoph!" seru Ara lagi sambil sedikit berlari dan mengejar bocah itu.
Namun, Christopher malah berlari semakin masuk dan menuju tempat pernak pernik perlengkapan berkarya. Sialnya, Ara tak melihatnya masuk ke rak mana. Kedua netra abu itu mulai sibuk mencari di setiap lorong rak-rak buku hingga akhirnya menemukan bocah itu tengah melihat-lihat kertas warna warni.
"Christoph!" serunya memanggil lalu menghela napas lega ketika akhirnya menemukan bocah itu.
Christopher menoleh kepadanya dan mengerutkan keningnya. "Miss, Stewart. Kau di sini juga?" tanyanya.
Ara mengangguk dan memeluknya sejenak lalu melerai pelukkannya sembari berlutut menatap panik Christoph. "Hah, ya ampun. Christoph kenapa kau berjalan ke sini sendiri?"
"Aku bosan menunggu paman meladeni para penggemarnya, sudah kukatakan ide buruk mengajakku ke sini tanpa penyamaran," ujar Christopher.
"Ya, kau benar. Pamanmu terlalu berani. Baiklah, mumpung aku sudah di sini. Aku akan menemanimu sampai dia selesai. Kebetulan sahabatku salah satu pengemar pamanmu, aku akan mengirim pesan padanya agar kita bisa berjanji temu supaya pamanmu tak mencarimu," usul Ara mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Chloe.
Namun, panggilannya sia-sia. Nyatanya Chloe tak menghiraukan panggilan Ara karena mungkin tengah sibuk menatap Leonard yang berpose menerima foto bersama penggemarnya.
Akhirnya Ara kembali pada niatan awal yang hanya mengirimkan pesan kepada Chloe dan berharap gadis itu membacanya sebelum melewatkan sesi foto bersama Leonard.
Namun, setengah jam berlalu dan kini panggilan teleponnya tak tersambung pada Chloe. Kemungkinan baterai ponsel wanita itu habis karena hanya operator yang menjawab panggilannya. Saat Arabelle menatap ke luar kaca dari toko buku tak lagi terlihat kerumunan di depan sana. Ara yakin berarti acaranya sudah selesai dan Chloe mungkin sudah menunggunya di starbucks.
Sementara itu Christoph terlihat bosan menunggu dan dirinya sudah selesai memilih apa saja yang ingin dibelinya. Pun Ara juga harus membeli kebutuhan jualannya sebelum tokonya tutup.
Ara menatap mata biru Christoph yang memelas mengingatkannya pada tatapan ayah dari bocah itu. Sehingga sekelebat ingatannya berputar akan kartu nama sang ayah dari anak laki-laki di hadapannya. Lantas Ara bergegas membongkar isi tasnya dan menemukan kartu nama Christian. Tanpa berpikir panjang, Ara akhirnya menghubungi Christian dan pada dering terakhir panggilannya pun tak terjawab.
"Ayahmu pasti tak ingin menjawab panggilan dari nomor asing. Aku akan mengirimkan pesan teks padanya," ujar Ara dijawab anggukan oleh Christoph yang setuju dengan pemikiran Ara.
Lalu jemari lentik Ara mulai mengetikan sesuatu di layar ponselnya. "Aku sudah mengirim pesan pada ayahmu untuk memberitahu pamanmu bahwa kau bersamaku. Kita bisa menunggu sebentar lagi, Christoph," ujarnya tersenyum sambil mengusap lembut kepala anak laki-laki itu. "Nah sekarang karena hari hampir sore aku akan membayar belanjaanmu ini. Setelah itu maukah kau menemaniku sebentar ke toko yang menjual bahan-bahan kue?"
"Bolehkah?" tanya Christoph tampak sumringah akhirnya bisa pergi dari sana setelah dirinya bosan.
Ara mengangguk antusias dan membawa Christoph bergegas menuju kasir lalu disusul menuju ke toko bahan-bahan kue.
"Kau akan membuat kue, bolehkah aku melihatmu membuatnya dan mecicipinya dari loyang-loyang panas saat baru keluar dari oven?" tanya Christoph bertubi-tubi.
"Ya, boleh. Namun, jika nanti pamanmu mau mengajakmu ke rumahku, Okay?"
"Dia harus mau dan aku akan memaksanya," ujar Christopher tersenyum lebar menunjukkan gigi ratanya.
Ara hanya membalasnya dengan senyuman ragu. Oh, kuharap pamanmu tak mau meski kau memaksanya. Harapan Ara dalam hati.
Tak butuh waktu lama bagi Ara membeli bahan yang ingin dia belanjakan karena dia sudah biasa memesan di toko tersebut. Sampai lima belas menit berlalu dia telah menyelesaikan belanjaannya, tetapi balasan pesannya pada Christian belum juga terjawab. Sehingga Christoph mengeluh lapar dan membuat Ara tak tega lantas mengajak bocah itu mencari camilan yang bisa dimakan Christoph untuk mengisi perut kecilnya yang lapar.
Ara menikmati kebersamaannya dengan bocah itu yang tampak lucu saat melahap kentang dan ice cream secara bergantian. Tak berapa lama panggilan pada teleponnya terdengar. Ara bergegas menjawab panggilan yang tertera nama Christian di sana.
"Halo, Tuan Hugo syukurlah akhirnya kau melihat ponselmu," jawabnya langsung.
"Ya, Nona Stewart maaf aku tak melihat ponselku ketika Leonard mengabari dirinya kehilangan Christoph di pusat perbelanjaan aku sangat panik. Jadi di mana kalian, Christoph sungguh bersamamu?" Terdengar nada cemas dari panggilan pria tersebut.
"Ya, kami ada di Mc donalds," jawab Ara sambil menatap Christoph.
"Baiklah, tunggu di sana."
"Okay," jawab Ara dan mematikan sambungan teleponnya. "Ayahmu sebentar lagi akan datang," ujarnya pada Christoph yang mengangguk dengan mulut penuh dengan kentang.
Sampai dalam hitungan menit suara pintu masuk terdengar ramai dan terlihat sosok Christian menatap ke sekeliling resto cepat saji, hingga bertemu dengan tatapan abu milik Ara. Wanita itu tengah melambai padanya. Lalu dengan langkah lebarnya Christian bergegas mendatangi mereka dan begitu tiba ia langsung memeluk Christopher dengan napas lega ia menatap lekat putranya juga menciumi Christoph yang dikira hilang dan tak dapat bertemu lagi dengannya.
"Christoph kau membuatku sangat khawatir. Bagaimana bisa kau pergi meninggalkan pamanmu?"
"Aku bosan, Dad. Terlalu banyak orang yang berkerumun," jawab Christoph.
"Tetap saja, seharusnya kau tak pergi jauh darinya. Bagaimana jika kau tersesat dan tak dapat ditemukan?"
"Beruntungnya saat aku tersesat, Miss Stewart bisa menemukanku," jawab Christoph ringan mengingatkan Christian akan keberadaan Ara di belakangnya.
Pria itu berbalik dan menatap Ara dengan senyum penuh syukur ada wanita itu yang menemani putranya.
"Terima kasih, Nona Stewart aku tak tahu harus bagaimana lagi jika tak ada dirimu yang menemukan putraku," ujar Christian.
"Bukan masalah, Tuan Hugo. Semua hanya kebetulan. Jikalau tak ada aku, mungkin orang lain yang akan menemukannya," jawab Ara menyematkan senyumnya hingga membuat wajah sederhana itu tampak manis di balik kacamatanya.
"Tidak-tidak, aku tak percaya akan sebuah kebetulan. Kau seperti sudah diutus untuk menemukannya. Dan, tolong jangan panggil aku sekaku itu kau bisa memanggilku Christian." Sekali lagi Christian menunjukkan tatapan penuh syukur dari netra biru terang miliknya yang membuat Ara tak mampu mengalihkan tatapan indah itu.
Ara tersenyum dan mengangguk. "Kalau begitu panggil aku Ara saja, Tu- maksudku Christian."
"Baiklah, Non- maksudku Ara, Arabelle," ujar Christian mengulangi nama Ara lebih lengkap sambil memberikan tatapan khasnya yang sangat memesona.
Keduanya tertawa kecil mencoba membiasakan panggilan akrab memang cukup sulit jika baru saja berkenalan. Keduanya saling menatap dalam seolah tengah menyatukan chemistry yang tercipta dalam beberapa detik sebelum akhirnya Christian tersadar.
"Aku sungguh bersyukur kau bisa menjaganya selama menungguku menjawab pesanmu."
"Ya, tak masalah. Tadinya aku sudah mengirimkan pesan pada temanku. Dia mengantri untuk mendapatkan foto bersama adikmu, tapi sepertinya baterai ponselnya habis jadi aku tak bisa apa-apa terlebih saat melihat dari dalam toko buku, kerumuman adikmu sudah hilang."
"Ya, managernya datang dan membereskan kekacauan yang ada dengan mengangkut paksa Leon yang suka tebar pesona." Christian terkekeh.
Begitu juga Ara. "Ucapanmu mirip seperti Christopher," ujar Ara dan begitu dia menoleh pada anak laki-laki itu ternyata Christopher tertidur pantas saja tak ada suara dari bocah itu.
"Oh, ya ampun. Dia pasti kelelahan," ujar Christian yang juga melihat putranya tertidur. "Baiklah sepertinya ini waktunya aku menggendongnya pulang," imbuhnya menghela napas.
"Aku akan membantumu membawa tas dan barang belanjaannya," tekad Ara.
"Dia berbelanja?" tanya Christian saat hendak mengangkat putranya.
"Ya, ceritanya panjang," jawab Ara mengangkat tas jinjing.
Christian hanya menggeleng dan menggendong Christopher dibantu Ara untuk menaikkan bocah itu ke pundak ayahnya. Setelah itu mereka keluar dari resto cepat saji tersebut.
Hari sudah hampir senja saat mereka keluar, tetapi keduanya seakan lupa sampai mereka tiba di parkiran mobil Christian. Pria itu langsung memasukan putranya ke kursi kemudi di belakang.
"Kau yakin tak ingin diantar?" tanya Christian lagi sejak keluar dari Mc Donalds dan di sepanjang jalan menuju mobil Christian sudah bertanya tiga kali.
Namun, Ara kembali menggeleng. "Tidak terima kasih, Christian. Aku masih harus menghubungi sahabatku yang entah-" Ucapan Ara terhenti saat nada dering dari ponselnya terdengar.
Ara menunjukkan ponselnya dan menjawab panggilan tersebut.
"Ara, OMG! Maafkan aku, ponselku mati dan aku langsung kembali ke mobil berniat mengisi daya. Namun, kau tahu? Aki mobilku mati. Alhasil aku meminjam ponsel orang yang lewat untuk menghubungi ayahku sampai dia datang dengan montir. Sialnya, ketika mobilku diganti aki, aku diminta menjemput ibuku di butik menggunakan mobil ayahku," ungkap Chloe menghela napas setelah menjelaskan panjang lebar dengan suara keras sampai terdengar jelas ke telinga Christian karena sangking besarnya suara itu.
Ara bahkan harus menjauhkan ponselnya dari telinga. Lalu belum sempat Ara menjawab Chloe sudah kembali menyahut. "Maaf baru mengabarimu, Dear. Apa kau masih di sana? Aku bisa menjemput setelah-"
"Its okay, Chloe." Ara akhirnya menyela sebelum gadis itu kembali berucap panjang lebar lagi. "Aku bisa pulang sendiri," ujarnya menyambung.
"Sungguh?" Ara mengangguk walau tahu Chloe tak melihatnya.
"Ya, kau pikir aku masih anak kecil yang harus-"
"Oh, ya! Anak itu, aku sudah membaca pesanmu sebelum ponsel ini mati. Bagaimana muridmu? Apa kau yakin salah satu muridmu adalah keponakan Leonard?"
"Ya, idolamu yang menjemputnya tadi," kekeh Ara melirik Christian yang juga terkekeh. "Tapi sekarang ayahnya sudah menjemput. Jadi kau tenang saja, okay?"
"Baik, syukurlah jika kau pulang dengan seseorang," jawab Chloe lagi.
"Tidak, Chloe. Aku pulang sendiri, Christian sangat sibuk dan-"
"Aku bisa mengantarmu, Arabelle," sahut Christian menegaskan jika tidak untuk apa dia menunggu dan mendengarkan suara Chloe yang tak bisa pelan sedikit pun.
"Oh My God! Ara, apa itu suaranya?"
Walau bingung dengan pertanyaan aneh Chloe Ara tetap menjawab sambil mengerutkan keningnya merasa heran. "Ya, memangnya kau tak pernah mendengar suara pria?"
"Tidak, bukan begitu Ara. Akan tetapi, suaranya terdengar berat dengan nada lembut secara bersamaan terlebih saat menyebut namamu," ujar Chloe kontan membuat Ara meringis malu sambil melirik Christian yang tersenyum. "Bagaimana rupanya? Apa setampan Leo—"
"Chloe sudah dulu, aku tak ingin membuat orang yang ingin mengantarku menunggu terlalu lama. Kita bertemu di rumahku, Okay?" sela Ara sebelum Chloe membuatnya semakin malu dan tanpa menunggu Chloe menjawab, Ara langsung mematikan sambungan teleponnya.
Setelah itu dia meringis tersenyum kikuk pada Christian.
"Well, berat dan lembut saat menyebut nama Arabelle. Temanmu cukup menarik saat memberi penilaian," komentar Christian lalu membukakan pintu di kursi samping pengemudi di mana dirinya sendiri yang akan duduk di sana.
Ara hanya mampu tersenyum pasrah sambil memasuki mobil Christian. "Thank you," jawab Ara pelan hampir seperti berbisik. Jika bisa menolak ia akan memilih untuk pulang sendiri dibandingkan harus menahan malu di sepanjang perjalanan pulangnya.
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?" tanya Christian begitu usil menggoda Ara yang hanya bisa menahan malu.
Semua karena Chloe yang suka bicara seenaknya hingga membuat Ara harus menanggung malu.
Chloe ... lihat apa akibat dari ucapanmu, batin Ara meringis.
o0o
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?""Oh, sungguh jangan dengarkan Chloe. Jika menyuruhnya menilai dia akan memilih adikmu." Ara menjawab dengan sedikit kekehan."Pertanyaan itu untukmu, Arabelle." Christian menegaskan."Jangan memintaku. Percayalah penilaianku sangat buruk," jawab Ara lagi sambil meringis.Christian terkekeh dan mulai keluar dari area parkir. "Baiklah, aku percaya. Jadi, di mana rumahmu?" tanya Christian mengalihkan perbincangan menyenangkan itu."Brooklyn, tepatnya di kawasan Ridge Boulevard." Ara menjawab cepat hingga membuat Christian menaikkan sebelah alisnya. "Rumah peninggalan ayahku. Aku tak ingin menjualnya karena banyak kenangan di sana," imbuhnya tak ingin membuat orang salah berpikir dirinya memiliki banyak uang karena tinggal di lingkungan yang terbilang masih cukup bagus meski hanya kawasan Brooklyn.Christian mengangguk dengan senyum mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. "I'm so sorry," ujar Christian."Tak apa, beberapa pengajar di sekolah m
"Oh, Shit! Tertinggal di mobil Christian." Ara terduduk lemas di sofa.Chloe mengambil minum di kulkas seolah dialah pemilik rumah. "Minum dan tarik napas lalu hubungi si tampan bersuara seksi itu untuk kembali membawakan barang belanjaanmu," ujar Chloe terdengar mudah.Namun, bagi Ara yang tak ingin merepotkan orang lain malah merasa itu ide buruk. Sekalipun percakapannya hari ini sudah cukup santai, tetapi Ara masih merasa segan jika harus meminta Christian memutar balik."Aku akan mengirim pesan saja agar besok baru dikembalikan saat mengantar Christopher." Ara mencari nomor Christian dan setelah selesai mengetikkan pesan pada pria itu tiba-tiba panggilan dari nomor asing muncul, belum sempat Ara menekan pilihan kirim dirinya malah menjawab panggilannya."Halo, Arabelle?""Ya, dengan siapa di sana?""Oh, syukurlah Arabelle ini aku Jayden. Di mana kau?""Aku di rumah. Ada apa, kau sudah menemukan Kim?" tanyanya sejenak Ara sempat lupa untuk mencari Kim.Namun, mengingat gadis itu men
Makan malam bersama ayah dan muridnya adalah hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh Arabelle. Meskipun bersama dengan muridnya itu sendiri, tetap saja rasanya sangat canggung. Entah topik apa yang akan dibicarakan, sedangkan seharian itu mereka sudah banyak berbincang mengenai Christopher dan rasanya semua topik antara orang tua murid dengan gurunya telah habis tak tersisa.Di sepanjang perjalanan Ara sibuk memikirkan hendak membicarakan apa dengan Christian dan ketika mereka sampai di restoran yang terbilang mewah menurut Ara. Tampak jelas seluruh orang mengira mereka adalah keluarga bahagia ditambah Christoph yang terus menempel padanya seakan menegaskan pandangan umum bahwa dia adalah ibu dari bocah itu dan istri dari pria di sampingnya yang tak henti mendapat tatapan dari tiap orang yang berpapasan.Oh, seharusnya aku menolak ajakan Christopher, tapi jika Chloe tak melarikan diri setidaknya aku memiliki teman bicara, gerutu Ara dalam hati."Reservasi atas nama Christian
"Sebenarnya Dad juga tak menyukai Miss Swinton dan sepertinya makan malam kita kali ini akan menyenangkan," ujar Christian sontak membuat Christoph semakin antusias."Kau dengar itu, Miss Stewart. Berarti pemikiranku tak salah, bukan?"Ara mengangguk dengan senyum lebar.Christian mengerutkan keningnya "Well, sepertinya ada percakapan terjadi jika kau bicara begitu." Christian melirik Ara yang baru saja menerima air mineral dan meminumnya sedikit."Oh, maafkan aku Christian. Namun, tadi Christoph merasa sedih dan mengatakan apa yang dirasakannya jadi aku memberikannya perbandingan dari sisi orang dewasa. Karena aku pernah berada di posisinya walau saat itu aku sudah cukup mengerti untuk memahami kondisi ayahku. Jadi—""Hei, Arabelle. It's okay," sela Christian sambil menggenggam tangan Ara di atas meja memberikan tatapan serius tanpa ada sorot tajam dari mata indahnya itu. "Aku senang kau memberikan banyak perngertian pada Christoph. Aku mendengar dari Christoph di perjalanan menuju r
"Kau tak bisa menahan apa, Dad?""Hah, kenapa?" tanya Christian terkejut sampai menoleh ke belakang. "Christoph kau terbangun?""Ya, saat kau mengumpat," jawab bocah itu sambil mengucek matanya. "Miss Stewart sudah diantarkan?"Christian mengangguk. "Tidurlah lagi. Dad akan menggendongmu saat tiba nanti," ujarnya."Tapi Dad di rumah nanti aku masih harus membuat tulisan untuk ucapan maafku pada temanku. Paman Leon sudah berjanji ingin membantuku," ujarnya serak khas suara bangun tidur."Mungkin paman Leon lupa. Bagaimana jika Dad yang membantu?" tawar Christian.Namun, dengan cepat Christopher menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Terakhir membantu, Dad malah menumpahkan sisa cat ke karya indahku," keluhnya merasa trauma.Christian hanya bisa meringis karena ternyata kepintarannya tak cukup untuk menciptakan mahakarya seorang anak junior school. "Kau masih mengingat itu rupanya. Baiklah, kita hubungi pamanmu untuk datang, semoga dia tidak sedang membuat masalah." Christian melirik putr
Leonard melesat membelah jalanan berniat menghabiskan malam dengan mencari hiburan untuknya sendiri. Tak peduli berita apa yang akan terpampang besok yang ia tahu ia menyelamatkan kakaknya dari rencana ibu mereka yang begitu gencar ingin menguasai seluruh peninggalan ayahnya untuk Christian—setidaknya begitulah pemikiran Leon.Leonard masih mengingat bagaimana perpisahan terjadi antara ayah dan ibunya. Sang ayah yang sering bersikap kasar dan membawa wanita lain untuk bercinta dibalas oleh ibunya yang berselingkuh pada pria lain. Lalu dikala keadaaan sang ayah baru saja mengalami kegagalan lalu Christian yang secara kebetulan juga baru lulus kuliah dengan otak pintarnya mencetuskan sebuah ide hingga membuat ayah mereka bangkit.Sejak saat itu Christian menjadi kesayangan ayahnya, sedangkan dia terpaksa ikut dengan ibu mereka atas permintaan sang ayah agar tetap bisa menjaga ibu mereka. Namun, nyatanya ia malah melihat bagaimana sang ibu tak segan berganti pasangan dan membawa pulang s
Ara melebarkan senyumnya menatap mobil Christian hingga menghilang di ujung tikungan. Ia bergegas masuk ke rumahnya berniat ingin tidur lebih cepat. Akan tetapi, baru saja menutup pintu dirinya dikejutkan dengan dering ponselnya dari nomor tak dikenal lagi. Arabelle mengingat tawaran Jayden tadi sore membuatnya mengabaikan panggilan asing lainnya, tak peduli jika itu penting pastinya orang tersebut akan mengirim pesan padanya. Namun, nyatanya tidak.Sampai keesokkan harinya Ara kembali melakukan kegiatan seperti biasa. Akan tetapi, Kali ini dia bangun lebih awal karena berniat menitipkan kue kering buatannya kemarin juga donat yang pagi-pagi sekali sempat dibuatnya, untuk di bawa ke kedai kopi di persimpangan jalan yang akan dilewatinya ketika turun dari bus dekat sekolah tempatnya mengajar."Baiklah, Arabelle. Semoga hari ini titipanmu habis terjual," ujar wanita paruh baya masih menggunakan celemek khas kedai kopinya."Terima kasih, Nyonya Beatrice. Aku akan mengambil berapa pun has
"Arabelle," panggil pria yang semalam membuatnya merona tak karuan."Ya, Chris— maksudku Tuan Hugo," ujar Ara meralat mengingat masih di lingkungan sekolah.Cristian terkekeh melihat Ara meringis dengan panggilan tersebut. "Aku lebih suka mendengarmu memanggilku Christian. Sungguh jangan membuat dirimu canggung, Arabelle," ujarnya tersenyum ramah.Ara membalas senyumannya. "Ya, aku juga. Namun, kepala yayasan sangat ketat dengan tata tertib. Jadi aku harus mematuhinya," jawab Ara."Daddy!" seru Christopher dari ujung koridor."Hei, Jagoan! Bagaimana sekolahmu? Kertas permintaan maafmu sudah diterima?""Kertas permintaan maafnya sangat bagus, Tuan. Aku tak menyangka adikmu sungguh membuktikannya," ujar Ara."Yeay, Paman Leon memang terbaik di bidang kreatifitas!" seru Christopher memasuki mobil ayahnya. "Dad, aku sangat lapar, bisa kita mampir makan siang sebelum kau mengantarku pulang?" pinta bocah itu dijawab anggukan oleh sang ayah."Ya, Leon memang ahli melakukan sesuatu yang tak b