“Kau membuatku penasaran, Leon. Sebenarnya apa yang tengah kau lakukan?”“Menunggu posisi yang tepat beberapa detik lagi.” Leonard mengangkat sebuah benda melingkar ke hadapan Arabelle memposisikannya tepat dengan matahari yang mengisi kekosongan dari lingkaran silver tersebut. “Now, open your eyes.” Leonard melepaskan tangannya sebagai penutup mata untuk Arabelle. Seketika netra abu Arabelle menatap takjub sesuatu yang ada di depannya. Sebuah cincin bermata satu tampak bercahaya memenuhi lingkaran matahari yang membuat tampilan cincin tersebut begitu bersinar terang. Arabelle bergeming dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. “Leon, w-what this is?” tanyanya tak yakin pemikirannya salah, tetapi ia tetap ingin menanyakan kebenarannya. “A ring for you, Sweetheart.” Leonard mengubah posisi menjadi berhadapan. Setelah itu Leonard terkekeh mengingat niatnya sebelum hari ini. “Sesungguhnya sudah kusiapkan ini saat kita bermalam di pantai ketika syuting terakhir kita, tetapi huja
Hamparan ladang perkebunan berumput luas di Woodstock kini tampak indah dengan lampu hias bergantung dari pohon ke pohon yang lain. Tenda-tenda berwarna putih membuat suasana kian teduh. Konsep Outdoor wedding venue menjadi pilihan bagi Leonard dan Arabelle. Beberapa meja panjang tertata lengkap dengan deretan kursi yang dilapisi kain putih lalu diikat menggunakan kain tile berwarna gading membentuk pinta disetiap sandarannya.Gaun indah yang dikenakan Arabelle begitu pas melekat di tubuh ramping dengan perut yang sedikit membuncit, membuatnya tampil menggemaskan di mata Leonard. Pria itu tak sedetik pun melepaskan rengkuhan tangannya pada pinggang Arabelle dan sesekali mengusap perut wanitanya dengan lembut. Leonard tak kalah menawan saat mengenakan kemeja putih yang dilapisi rompi dan jas hitam serta dasi kupu-kupu. Meskipun terlihat seperti setelan klasik, tetapi Leonard tetap memukau mengingat ketampanannya sudah tercipta sejak lahir. Semua gaun dan setelan jas adalah desain terb
Leon tercengang akan tindakan Eve yang begitu mendadak. Ia mengerjap beberapa kali saat wanita itu melepas pagutan kilatnya dan tersenyum padanya. "Sekarang kau percaya aku benar-benar di sini?" tanya Eve mengembalikan kewarasan Leon yang sempat hilang beberapa detik lalu. "A-apa?" Leon tersadar dan tersenyum sambil mendekati wajah Eve untuk berbisik, "Sesungguhnya aku percaya tanpa kau harus melakukan itu," bisiknya mengedipkan sebelah matanya. Eve tersenyum dan membalas bisikan Leon. "Jadi kau tak ingin aku melakukannya?" tanyanya enggan menjauhkan wajahnya dari hadapan Leon. Keduanya tampak intens menatap dalam jarak yang amat dekat dengan tangan Leon yang masih melingkari pinggangnya. "Bukan begitu, tapi-" "Eherm! Mau sampai kapan kalian hanya berbisik?" sela Christian sarkas karena tak tahan melihat kedekatan keduanya sampai membuatnya berdiri dari duduknya dan menatap Eve dengan sorot tajam seolah berkata, How could you, Arabelle! Tentunya hanya di dalam hatinya. Chri
• The Berkeley Carroll School, Brooklyn.Suara bel di siang hari menandakan pelajaran telah usai. Wanita manis di depan kelas tersebut tersenyum pada murid-muridnya yang mengeluhkan jam pelajaran terasa cepat usai. Akan tetapi, semuanya tetap tertib merapikan barang-barang dan berbaris keluar satu persatu lalu langsung disambut oleh para orang tua mereka di depan."Ah, Miss Stewart aku belum selesai membuat prakarya," keluh seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun sambil menunjukkan prakarya sebuah menara miniatur dari karton.Ara menoleh pada satu-satunya murid yang tersisa di kelasnya. Wajah beralaskan bedak tipis itu tersenyum dan mendekati anak laki-laki tersebut. "Hei, Christoph. Kau bisa membawanya pulang dan menyelesaikannya dengan orang tuamu, pasti lebih menyenangkan," ujar Arabelle sedikit membungkuk dan senyuman manis tercetak di wajah berbingkai kacamata.Namun, berbeda dengan anak yang dipanggil Christoph itu malah menunjukkan wajah murungnya dan dengan terpaksa merapika
"Apa kau bilang?!" pekik Ara.Jayden tak langsung menjawab melainkan memutar tubuh Ara dan memerhatikan wajah wanita itu lalu membuka kacamata berbingkai tebal miliknya."Hei, apa yang kau lakukan?!" sentak Ara mengambil kacamatanya dari Jayden lalu mengenakannya kembali."Baiklah kau hanya tinggal dirias dan mengenakan pakaian yang sesuai dengan bentuk tubuhmu. Aku yakin semua orang tak akan mengalihkan pandangannya darimu.""Apa yang kau bicarakan? siapa yang mengatakan aku bersedia?!" tanya Ara."Aku tak butuh persetujuanmu, Nona pemarah. Anggaplah kau menggantikan kontrak Kim. Jika kau tak melakukannya kau sebagai wali satu-satunya harus membayar penaltinya," ancam Jayden."Apa, kenapa harus aku?" tuntut Ara mengejar Jayden, "yang menandatangani kontrak adalah Kim. Jelas tak ada urusannya denganku!""Di dalam klausa sebelas poin lima di kontrak yang ditandatangani Kim berisi; Jika dia melakukan pelanggaran kontrak seperti melarikan diri atau menghilang dari pekerjaan, maka wali yan
Sebuah mobil sport hitam melaju membelah jalan di pusat kota yang tak terlalu lenggang, tetapi tampak gesit menyalip beberapa kendaraan lain hingga akhirnya mobil tersebut berbelok memasuki sebuah menara bertuliskan Hugo Hotel dan membawa si hitam gesitnya itu berhenti di lobby.Sang pengemudi keluar dan melemparkan kuncinya pada seorang petugas valley lalu pria dengan postur tubuh tinggi tegap dan berbentuk sempurna itu tampak memasuki gedung tersebut dan langsung menuju resepsionis untuk mengambil kartu suite room tempatnya bermalam saat ini.Leonard Hugo membuka kacamata hitam dan bicara pada seorang resepsionis untuk memberikannya kunci kamar."Hei, Zack kartu aksesku, please," pintanya dan dengan segera resepsionis yang dipanggil Zack itu bergegas mengambil hak putra kedua pemilik hotel yang kini sudah dikelola oleh sang kakak.Tak jauh dari sana tampak perkumpulan wanita keluar dari ballroom hotel yang terlihat seperti ada sebuah acara tertutup di dalam sana."Wah, apa dia putra
Ara berlari menuju pintu masuk di mana ia mengajar murid junior school yang berada di tengah antara rumah tinggalnya dengan pusat kota. Dirinya baru tidur selama satu jam seusai pulang dari pemotretan dan langsung kembali ke Brooklyn. Bingkai hitam tebal kacamata besarnya itu menutupi lelahnya mata yang kurang puas terpejam.Suara bell dari jam pelajaran yang dimulai terdengar tepat saat Ara baru tiba di depan gerbang. Langkahnya semakin tergesa sampai ketika dirinya tiba di pintu masuk, ia dikejutkan dengan cipratan air genangan yang muncrat ke celana juga kemeja birunya."Oh, My God!" pekik Ara. "Hei, apa kau tak melihatku!" teriak Ara.Mobil sedan yang melintas itu pun berhenti di depan pintu masuk gedung diiringi pemilik mobil—yang sepertinya tak menyadari ulahnya itu. Ara mempercepat langkahnya saat menatap pelaku yang keluar dengan tergesa menuju pintu penumpang di sampingnya."C'mon Christoph. Kau sudah terlambat, kenapa kau keras kepala dan malah menunggu Dad mengantarmu?" kel
Siang hari setelah jam mengajar Ara usai seperti biasanya seluruh murid sudah langsung mendapat jemputan dan menyisakan Christopher yang lagi-lagi jemputannya belum tiba."Christoph, apa ayahmu belum menjemput lagi?" tanya salah seorang temannya dengan rambut coklatnya yang klimis."Jelas saja terlambat ayahnya pasti sibuk mengurus bisnis keluarga. Ayahku pun begitu," jawab temannya yang lain.Ara yang masih sibuk menyusun kertas tugas murid-muridnya itu hanya bisa memerhatikan dari jauh, Christopher didatangi tiga temannya yang sedikit usil."Oh, ayolah kalian jangan begitu pada Christoph. Semua ayah kita memang sibuk, maka dari itu para ibu yang menjemput kita," sahut bocah lainnya yang lebih menonjol dibanding dua sebelumnya. "Namun, sayangnya Christoph sudah tidak memiliki ibu. Jadi wajar jika dia tak mendapat jemputan tepat waktu," ejeknya terkekeh."Oh, iya aku lupa Christoph tak memiliki ibu lagi," sahut teman pertama yang menyapanya.Disusul dengan ucapan si anak berambut cepa