Leonard kembali dengan perasaan kesal dan dongkol. Berpikir dengan menemui Christian ia akan mendapatkan titik terang, tetapi malah membuatnya semakin merasa bersalah pada sang kakak. Dia tahu dirinya sudah sangat keterlaluan dengan menuduh Christian menyembunyikan Arabelle. Namun, kepalanya sudah hampir pecah untuk mencari celah demi menemukan wanitanya. Malam yang sunyi dan terasa sepi itu membuat Leonard memutuskan untuk kembali ke apartemen. Berusaha menghindari masalah baru adalah pilihan terbaik. Diakuinya selama tiga bulan terakhir, emosinya begitu mudah meluap. Kembali ke apartemennya bukan berarti dirinya menyerah. Ia hanya berusaha untuk tenang agar bisa memikirkan cara lain untuk menemukan Arabelle. Setibanya Leonard di apartemennya, dia langsung melemparkan tubuhnya ke atas sofa seraya mengusap wajah penatnya dan memijat pelan pelipis kepala yang terasa pusing. Hal yang ingin dilakukannya adalah mengguyur tubuh dengan air dingin, berharap bisa menjernihkan seluruh pikira
Leonard dan Nick tiba di rumah sakit yang dikirimkan oleh Kimber. Mereka segera memasuki IGD dan langsung menemukan Chloe juga Kim sedang menunggu di depan tirai yang tertutup. “Hai, Baby,” sapa Nick pada Kim. Wanita hamil itu langsung melerai pelukannya pada Chloe dan berhambur memeluk Nick usai saling mengecup. Leonard menghampiri Chloe dan menanyakan keadaan Jayden. “Chloe, bagaimana dengan Jay? Apa parah?” “Dia masih ditangani dan belum sadarkan diri. Kepalanya mengeluarkan banyak darah saat aku tiba. Dokter spesialis bilang dia butuh darah B negatif dalam jumlah banyak. Persediaan di rumah sakit ini dirasa tak cukup. Aku tak tahu harus mencari kemana, darahku dan Kim A.” Chloe menjawab dengan nada bergetar menahan tangis. Tampak jelas kecemasan tersirat di wajahnya. Leonard mengusap bahu Chloe agar wanita itu sedikit tenang. “Hei, it’s okay. Jay tak selemah yang kau pikirkan. Dan, sangat kebetulan darahku B negatif. Aku bersedia membantunya, “Sungguh?” tanya Chloe tak percay
“Mom, apa kau bercanda?” tanya Christian begitu melihat kertas hasil DNA-nya dengan Arabelle yang menyatakan ketidakcocokan. Awalnya Christian tak mengerti dan tak mengingat kapan mereka memeriksakan DNA. Namun, dirinya diingatkan perihal pendonoran darah dua minggu lalu.“Maafkan Mommy, Chris. Seharusnya tak aku setujui rencana mereka. Namun, Arabelle yang memintaku langsung dan Mom merasa ini adalah saat tepat untuk membantu kalian. Mom sungguh tak memihak siapa pun di antara kau dan Leon.” “W-what?” tanya Christian malah tak fokus lantaran pikirannya malah kembali saat bertemu perawat manis dan lucu di sana. Katherine menunjuk hasil tes DNA yang masih dipegang oleh putra sulungnya. “Oh, ya!” Christian kembali pada hasil tes tersebut “It’s okay. Ini kabar baik, bukan? Jadi Leon akan memiliki anak dengan Arabelle?” tanyanya setelah melihat lembar hasil DNA milik Leon. Golongan darah ayah Christian dan Leon yakni AB, hal itulah yang dengan mudahnya membedakan hasil DNA Leonard ya
Malam sebelum hari H launching parfum. Akibat mengkhawatirkan keadaan Arabelle malam itu, Chloe akhirnya memutuskan menginap, menemani sahabatnya mencurahkan segala pengalamannya bersama Leon hingga sampai di titik ini. Membuat Chloe mengerti kenapa Arabelle tetap berusaha untuk mendapatkan maaf pada pria itu. Keduanya pun terlelap hingga larut malam. Namun, pada keesokan paginya Arabelle mengalami mual dan muntah ketika terbangun dari tidurnya. “Hoekkk, hoeeek!” “Ara, ada apa denganmu? Apa kau sakit?!” pekik Chloe terperanjat dari tidurnya langsung bergegas menuju toilet di mana Arabelle tengah berusaha memuntahkan sesuatu. Arabelle menggeleng seraya membasuh mulutnya dengan air dan mengelapnya menggunakan tisu. Wajahnya sedikit pucat dan kepalanya terasa pusing saat menatap pantulan diri di depan cermin. Chloe mengusap punggung Arabelle, masih memasang wajah bantalnya yang mendadak panik.“Entahlah, Chloe. Mungkin karena terkena hujan semalam.” Arabelle menatap Chloe dari pantul
Arabelle melangkahkan kaki di atas hamparan rumput dengan pemandangan pepohonan yang mengelilingi danau. Dress putih sederhana berkibar dari tubuhnya searah angin berembus, seirama dengan rambutnya yang berterbangan. Sore hari cuaca di tempatnya itu cukup tenang dan menyejukan. Hal itu membuat wanita berbadan dua tersebut tampak menikmati waktu bersama calon buah hatinya. Arabelle duduk di atas rumput dan menatap ke sekeliling. Pandangan matanya menjurus ke bukit yang terdapat deretan pohon berdaun jingga tampak luas menyejukan mata lalu ia berbaring melihat langit cerah bertumpuk awan putih membentuk abstrak. Ia kembali mengingat kali terakhir dirinya bersama sosok pria yang kini begitu dirindukan.Setelah mengingat kejadian sebelum dirinya berakhir di sana. Dirinya hanya ingin memastikan bahwa janin yang ada di dalam kandungannya adalah benar calon anak Leonard. Arabelle tak ingin keliru mengakui semua itu, tetapi kelak kenyataannya tak ada yang tahu. Arabelle berusaha menekan per
“Leonard?” Arabelle mendekati sosok yang dirindukannya itu. Dirinya tampak tak percaya hingga mendekat sampai ke hadapan pria itu dan meraih rahang berbulu halus Leonard. “Apa itu sungguh kau?” “Ya, Arabelle ini sungguh aku. Akhirnya aku menemukanmu, bukan?” Leonard menatap dalam netra abu Arabelle. Tak lama tatapannya turun tertuju pada perut Arabelle yang sudah terlihat sedikit membuncit dari sebelumnya tampak begitu rata. Sontak arah tatapan Leonard membuat Arabelle tersadar. Mendadak dirinya melepaskan tangannya dari rahang Leonard dan berbalik hendak menjauh. Akan tetapi, tubuhnya malah terhuyung mundur hingga punggungnya menatap dada bidang Leonard. Pelukan pun tak dapat terhindari, Leonard mendekap tubuh Arabelle dengan erat dan meletakkan kepala di bahu wanita itu seraya mengendus serta menghirup aroma tubuh Arabelle dalam-dalam. Seakan tengah melepaskan rasa rindunya selama tiga bulan lebih. “Leonard …. Aku—” “I know, Arabelle. Please, forgive me. I know it’s too late to
“Kau membuatku penasaran, Leon. Sebenarnya apa yang tengah kau lakukan?”“Menunggu posisi yang tepat beberapa detik lagi.” Leonard mengangkat sebuah benda melingkar ke hadapan Arabelle memposisikannya tepat dengan matahari yang mengisi kekosongan dari lingkaran silver tersebut. “Now, open your eyes.” Leonard melepaskan tangannya sebagai penutup mata untuk Arabelle. Seketika netra abu Arabelle menatap takjub sesuatu yang ada di depannya. Sebuah cincin bermata satu tampak bercahaya memenuhi lingkaran matahari yang membuat tampilan cincin tersebut begitu bersinar terang. Arabelle bergeming dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. “Leon, w-what this is?” tanyanya tak yakin pemikirannya salah, tetapi ia tetap ingin menanyakan kebenarannya. “A ring for you, Sweetheart.” Leonard mengubah posisi menjadi berhadapan. Setelah itu Leonard terkekeh mengingat niatnya sebelum hari ini. “Sesungguhnya sudah kusiapkan ini saat kita bermalam di pantai ketika syuting terakhir kita, tetapi huja
Hamparan ladang perkebunan berumput luas di Woodstock kini tampak indah dengan lampu hias bergantung dari pohon ke pohon yang lain. Tenda-tenda berwarna putih membuat suasana kian teduh. Konsep Outdoor wedding venue menjadi pilihan bagi Leonard dan Arabelle. Beberapa meja panjang tertata lengkap dengan deretan kursi yang dilapisi kain putih lalu diikat menggunakan kain tile berwarna gading membentuk pinta disetiap sandarannya.Gaun indah yang dikenakan Arabelle begitu pas melekat di tubuh ramping dengan perut yang sedikit membuncit, membuatnya tampil menggemaskan di mata Leonard. Pria itu tak sedetik pun melepaskan rengkuhan tangannya pada pinggang Arabelle dan sesekali mengusap perut wanitanya dengan lembut. Leonard tak kalah menawan saat mengenakan kemeja putih yang dilapisi rompi dan jas hitam serta dasi kupu-kupu. Meskipun terlihat seperti setelan klasik, tetapi Leonard tetap memukau mengingat ketampanannya sudah tercipta sejak lahir. Semua gaun dan setelan jas adalah desain terb