Share

Part 04 | Meet Another Hugo

Ara berlari menuju pintu masuk di mana ia mengajar murid junior school yang berada di tengah antara rumah tinggalnya dengan pusat kota. Dirinya baru tidur selama satu jam seusai pulang dari pemotretan dan langsung kembali ke Brooklyn. Bingkai hitam tebal kacamata besarnya itu menutupi lelahnya mata yang kurang puas terpejam.

Suara bell dari jam pelajaran yang dimulai terdengar tepat saat Ara baru tiba di depan gerbang. Langkahnya semakin tergesa sampai ketika dirinya tiba di pintu masuk, ia dikejutkan dengan cipratan air genangan yang muncrat ke celana juga kemeja birunya.

"Oh, My God!" pekik Ara. "Hei, apa kau tak melihatku!" teriak Ara.

Mobil sedan yang melintas itu pun berhenti di depan pintu masuk gedung diiringi pemilik mobil—yang sepertinya tak menyadari ulahnya itu. Ara mempercepat langkahnya saat menatap pelaku yang keluar dengan tergesa menuju pintu penumpang di sampingnya.

"C'mon Christoph. Kau sudah terlambat, kenapa kau keras kepala dan malah menunggu Dad mengantarmu?" keluh seorang pria sambil membuka pintu untuk anak laki-laki yang keluar dengan wajah lesu.

"Aku hanya ingin seperti teman-temanku. Para orang tua mereka menyempatkan untuk mengantar, kenapa Dad tak bisa? Sekalipun bisa, kau terlihat terpaksa. Lebih baik tak usah berjanji jika tak bisa atau terpaksa!" tandas anak laki-laki itu.

Semua keributan itu disaksikan langsung oleh Ara yang awalnya ingin melayangkan protes, tetapi diurungkannya dan malah menjadi canggung saat pria yang tampak menyesal itu menatapnya.

 "Morning, Miss Stewart. Oh, ya ampun apa kau kecipratan air genangan?" Christopher menyapa dan menebak apa yang terjadi pada pengajarnya itu.

"Hm, kebetulan ya. Tapi sepertinya itu ketidaksengajaan karena ayahmu tak ingin kau terlambat lebih lama." Ara mengalihkan tatapannya pada ayah Christopher. "But, it's okay. Aku memiliki kaos di lokerku."

"Maafkan aku, Nona Stewart. Kau benar aku tak ingin putraku terlambat. Namun, jika pengajarnya baru tiba aku rasa dia belum sepenuhnya terlambat," ujar pria itu mengakui kesalahan juga menyindir Ara.

"Aku tetap terlambat, Dad. Apa kau melihat wajah ayahku Miss Stewart, sepertinya dia terpaksa." Christopher melirik sang ayah dengan wajah sinis, sedangkan sang ayah harus pasrah kalah berargumen karena memang dia salah.

Ara tersenyum pada ayah dari murid kelasnya dan meminta Christopher untuk masuk lebih dulu. "Masuklah ke kelasmu dulu. Aku akan bicara pada ayahmu sebentar."

"Bisa kau mengatakan padanya untuk meluangkan waktu denganku?" pinta Christoph dengan wajah menggemaskan.

Ara melirik sang ayah dari anak itu menjadi kikuk. "Akan kuusahakan, Boy." Ara tersenyum pada anak laki-laki itu.

Lalu Christopher mengangguk dan berlari menyusuri lorong. Setelah itu Ara menoleh pada pria tampan bermata biru di hadapannya. "Halo, Tuan Hugo, benar?"

"Ya, Nona Stewart. Aku sungguh minta maaf untuk pakaianmu. Aku akan meminta sekretarisku agar membelikan yang baru sebagai gantinya. Besok bisa kubawa—"

"No, it's okay, Tuan Hugo ini masih bisa dipakai setelah dicuci," ujarnya tersenyum. "Ngomong-ngomong kita belum pernah berkenalan, Arabelle Lynn Stewart. Setelah ini kau cukup memanggilku Ara." Ara mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan dirinya.

"Ya, Christian Hugo, panggil saja Chris." Christian membalas uluran tangan Ara.

 "Maaf sejak awal pergantian pengajar aku masih di luar kota dan tak bisa berkunjung. Apa Christoph sering menyusahkanmu?"

Ara menggeleng sekali dan tersenyum. "Maaf aku tak berani memanggilmu begitu di lingkungan sekolah dan Christoph sama sekali tak menyusahkanku, Tuan. Dia sangat aktif dalam pelajaran, tetapi dia tak begitu suka bermain."

"Ah, salahku lagi yang terlalu sibuk dan tak memiliki waktu untuk bermain dengannya semenjak kepergian ibunya." Tiba-tiba raut wajah penuh sinar itu meredup dengan tatapan sendu teralihkan ke sembarang arah.

"Maaf aku turut berduka, Tuan." Ara menunjukkan raut menyesal.

Christian menatapnya dan kembali menunjukan senyum berlesung pipinya. "Tak apa, lagi pula itu sudah sangat lama sekali. Namun, aku memiliki seorang adik. Dia lebih dekat dengan Christoph mungkin aku bisa memintanya meluangkan waktu untuk mengajak Christoph bermain."

"Ya, semoga itu bisa membantunya untuk bersemangat saat bermain. Jika kau butuh bantuanku menemaninya lebih lama di sekolah untuk bermain itu juga tak masalah."

"Benarkah? Syukurlah jika kau tak keberatan maaf harus merepotkanmu walau itu sungguh sangat membantu," ujar Christian tampak menahan sesuatu yang tengah dipikirkannya.

Ara menangkap raut wajah gelisah itu seakan ada sesuatu yang sulit dikatakan Christian. "Ada apa, Tuan? Kau ingin mengatakan hal lainnya?" tanya Ara.

"Aku tak enak harus mengatakan ini, tapi sesungguhnya hari ini pengasuhnya izin karena baru bertunangan dengan supirku dan Christoph tak ingin diantar orang lain selain denganku atau pengasuhnya itu."

"Hm, pasti sulit mengatur waktu mengingat kau harus mengurus perusahaan,” tanggap Ara memahami.

Christian mengangguk. "Ya, terlebih bulan depan pengasuhnya itu akan menikah dan aku belum mendapatkan penggantinya," ujar Christian baru teringat hal tersebut. "Aku sudah meminta sekretarisku mencarikan penggantinya. Namun, belum ada yang diinginkan Christopher. Dia sangat pemilih."

Ara sedikit terkekeh. "Ya, kau benar untuk yang bagian itu. Awalnya putramu juga tak ingin menjawab semua pertanyaanku saat dia terlambat mendapat jemputannya. Namun, kemudian aku mengajaknya membuat kreatifitas hingga akhirnya dia begitu cerewet saat seluruh temannya sudah pulang."

Ara mengingat untuk pertama kalinya anak laki-laki terakhir yang sulit didekatinya saat baru mengajar di tempat tersebut ialah Christopher. Akan tetapi, dengan kegigihannya menunjukan ketulusan pada akhirnya anak itu pun merasa nyaman bermain dengannya saat menunggu jemputannya tiba.

"Sungguh? Kalau begitu, sepertinya aku harus mencari seseorang yang sepertimu, Nona Stewart. Rasanya lebih mudah jika Christoph sudah mengenal orang untuk mengasuhnya."

"Well, jika ada kenalan mungkin aku bisa merekomendasikannya padamu, Tuan," ujar Ara mendapat anggukan dari Christian.

"Oh, syukurlah. Tunggu sebentar, kau bisa menyimpan kartu namaku dan bisa menghubungiku jika ada yang berminat," ujar Christian sambil merogoh saku jas demi mengeluarkan kartu namanya untuk diberikan kepada Ara.

"Baiklah, aku akan mengabarinya." Ara menerima kartu nama Christian dan tersenyum pada pria itu.

"Terima kasih, Nona Stewart," ujar Christian kembali tersenyum dan tak henti menatap Ara yang menjadi salah tingkah.

Sehingga Ara tersadar bahwa penampilannya memang sungguh menarik perhatian. "Well, sepertinya aku harus segera mengganti ini lalu bersiap mengajar," ujar Ara.

"Ya, sekali lagi aku sungguh minta maaf, Nona Stewart. Aku tetap akan menggantinya nanti kau tak boleh menolak atau aku sungguh tak enak," ujar Christian sekali lagi tersenyum ramah pada Ara sambil berputar hendak memasuki mobilnya.

"Okay, aku bisa apa jika demikian."

"Baiklah, terima kasih." Christian akhirnya masuk ke mobil dan pergi dari area sekolah tersebut.

Ara menghela napas dan melihat keadaannya yang sangat kacau sampai ketika ia hendak masuk ke dalam seseorang memanggilnya.

"Nona Stewart, kukira kau melupakan sesuatu kemarin. Dan, ke mana kau semalam jangan bilang kau menghindariku?"

Ara terhenti saat mendengar suara seorang penagih hutang yang menghampirinya. Ara berbalik dan memasang wajah kesal lantaran pria bertubuh kekar itu kembali mendatanginya ke sekolah.

 "Aku mengunjungi adikku ke kota karena membuat masalah, aku lupa karena harus mengurus masalahnya hingga larut dan aku tak melarikan diri! Seperti yang kau lihat aku berada di hadapanmu, tapi kini kau melanggar perjanjian dengan datang ke tempat kerjaku."

"Kau tak perlu banyak alasan, Nona! Kapan kau ingin melunasinya? Jika tidak, cepat bayarkan bunganya!"

"Siang nanti setelah mengajar aku akan ke bank dan membayarnya. Bisakah kau tak perlu datang ke sini, kau juga masih menahan mobil lama ayahku sebagai jaminan bahwa aku tak akan melarikan diri."

"Cih! kau pikir berapa harga mobil lama ayahmu. Dijual pun tak akan menutupi hutangnya!" ejek pria berjanggut tebal dengan tato di tangan dan lehernya.

"Jika kau berani menjualnya aku akan melaporkanmu ke polisi. Jangan pikir aku takut menyebarkan bukti kejahatanmu kepada kami!" gertak Ara.

"Kini kau berani mengancamku!" Pria itu mendekat dengan tatapan tajam mengintimidasi.

Namun, Ara tak takut karena terbiasa menghadapi para penagih hutang seperti pria di hadapannya itu. "Kita sama-sama memiliki urusan pribadi yang tak perlu dicampuri. Aku akan membayar hutang ayahku, dan kau tak perlu mengganggu kehidupanku termasuk tempatku bekerja," tegas Ara. "Pergilah sebelum pemilik yayasan keluar dan mengetahui semua ini hingga aku kehilangan pekerjaan, jika itu terjadi kau juga akan kesulitan!" ancam Ara tak gentar seakan kerasnya hidup telah mengasah dirinya untuk kuat menghadapi setiap orang yang menekan kehidupannya.

"Siang ini jika kau tak membayar jangan salahkan aku jika rumahmu hancur!" ancam balik penagih hutang tersebut. Lalu menuruti perkataan Ara untuk menjauh dari area sekolah.

Ara kembali menghela napas dan tak menyadari sejak tadi Christian belum menjauh dari gerbang sekolah lalu setelah pria bertubuh kekar itu pergi, Christian membuka jendela mobilnya dan menatap Ara yang menarik napas sambil memijat pelipisnya. Tatapan netral biru yang penuh tanda tanya dibenaknya itu menatap penuh perhatian pada Arabelle.

o0o

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status