Ara berlari menuju pintu masuk di mana ia mengajar murid junior school yang berada di tengah antara rumah tinggalnya dengan pusat kota. Dirinya baru tidur selama satu jam seusai pulang dari pemotretan dan langsung kembali ke Brooklyn. Bingkai hitam tebal kacamata besarnya itu menutupi lelahnya mata yang kurang puas terpejam.
Suara bell dari jam pelajaran yang dimulai terdengar tepat saat Ara baru tiba di depan gerbang. Langkahnya semakin tergesa sampai ketika dirinya tiba di pintu masuk, ia dikejutkan dengan cipratan air genangan yang muncrat ke celana juga kemeja birunya.
"Oh, My God!" pekik Ara. "Hei, apa kau tak melihatku!" teriak Ara.
Mobil sedan yang melintas itu pun berhenti di depan pintu masuk gedung diiringi pemilik mobil—yang sepertinya tak menyadari ulahnya itu. Ara mempercepat langkahnya saat menatap pelaku yang keluar dengan tergesa menuju pintu penumpang di sampingnya.
"C'mon Christoph. Kau sudah terlambat, kenapa kau keras kepala dan malah menunggu Dad mengantarmu?" keluh seorang pria sambil membuka pintu untuk anak laki-laki yang keluar dengan wajah lesu.
"Aku hanya ingin seperti teman-temanku. Para orang tua mereka menyempatkan untuk mengantar, kenapa Dad tak bisa? Sekalipun bisa, kau terlihat terpaksa. Lebih baik tak usah berjanji jika tak bisa atau terpaksa!" tandas anak laki-laki itu.
Semua keributan itu disaksikan langsung oleh Ara yang awalnya ingin melayangkan protes, tetapi diurungkannya dan malah menjadi canggung saat pria yang tampak menyesal itu menatapnya.
"Morning, Miss Stewart. Oh, ya ampun apa kau kecipratan air genangan?" Christopher menyapa dan menebak apa yang terjadi pada pengajarnya itu.
"Hm, kebetulan ya. Tapi sepertinya itu ketidaksengajaan karena ayahmu tak ingin kau terlambat lebih lama." Ara mengalihkan tatapannya pada ayah Christopher. "But, it's okay. Aku memiliki kaos di lokerku."
"Maafkan aku, Nona Stewart. Kau benar aku tak ingin putraku terlambat. Namun, jika pengajarnya baru tiba aku rasa dia belum sepenuhnya terlambat," ujar pria itu mengakui kesalahan juga menyindir Ara.
"Aku tetap terlambat, Dad. Apa kau melihat wajah ayahku Miss Stewart, sepertinya dia terpaksa." Christopher melirik sang ayah dengan wajah sinis, sedangkan sang ayah harus pasrah kalah berargumen karena memang dia salah.
Ara tersenyum pada ayah dari murid kelasnya dan meminta Christopher untuk masuk lebih dulu. "Masuklah ke kelasmu dulu. Aku akan bicara pada ayahmu sebentar."
"Bisa kau mengatakan padanya untuk meluangkan waktu denganku?" pinta Christoph dengan wajah menggemaskan.
Ara melirik sang ayah dari anak itu menjadi kikuk. "Akan kuusahakan, Boy." Ara tersenyum pada anak laki-laki itu.
Lalu Christopher mengangguk dan berlari menyusuri lorong. Setelah itu Ara menoleh pada pria tampan bermata biru di hadapannya. "Halo, Tuan Hugo, benar?"
"Ya, Nona Stewart. Aku sungguh minta maaf untuk pakaianmu. Aku akan meminta sekretarisku agar membelikan yang baru sebagai gantinya. Besok bisa kubawa—"
"No, it's okay, Tuan Hugo ini masih bisa dipakai setelah dicuci," ujarnya tersenyum. "Ngomong-ngomong kita belum pernah berkenalan, Arabelle Lynn Stewart. Setelah ini kau cukup memanggilku Ara." Ara mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan dirinya.
"Ya, Christian Hugo, panggil saja Chris." Christian membalas uluran tangan Ara.
"Maaf sejak awal pergantian pengajar aku masih di luar kota dan tak bisa berkunjung. Apa Christoph sering menyusahkanmu?"Ara menggeleng sekali dan tersenyum. "Maaf aku tak berani memanggilmu begitu di lingkungan sekolah dan Christoph sama sekali tak menyusahkanku, Tuan. Dia sangat aktif dalam pelajaran, tetapi dia tak begitu suka bermain."
"Ah, salahku lagi yang terlalu sibuk dan tak memiliki waktu untuk bermain dengannya semenjak kepergian ibunya." Tiba-tiba raut wajah penuh sinar itu meredup dengan tatapan sendu teralihkan ke sembarang arah.
"Maaf aku turut berduka, Tuan." Ara menunjukkan raut menyesal.
Christian menatapnya dan kembali menunjukan senyum berlesung pipinya. "Tak apa, lagi pula itu sudah sangat lama sekali. Namun, aku memiliki seorang adik. Dia lebih dekat dengan Christoph mungkin aku bisa memintanya meluangkan waktu untuk mengajak Christoph bermain."
"Ya, semoga itu bisa membantunya untuk bersemangat saat bermain. Jika kau butuh bantuanku menemaninya lebih lama di sekolah untuk bermain itu juga tak masalah."
"Benarkah? Syukurlah jika kau tak keberatan maaf harus merepotkanmu walau itu sungguh sangat membantu," ujar Christian tampak menahan sesuatu yang tengah dipikirkannya.
Ara menangkap raut wajah gelisah itu seakan ada sesuatu yang sulit dikatakan Christian. "Ada apa, Tuan? Kau ingin mengatakan hal lainnya?" tanya Ara.
"Aku tak enak harus mengatakan ini, tapi sesungguhnya hari ini pengasuhnya izin karena baru bertunangan dengan supirku dan Christoph tak ingin diantar orang lain selain denganku atau pengasuhnya itu."
"Hm, pasti sulit mengatur waktu mengingat kau harus mengurus perusahaan,” tanggap Ara memahami.
Christian mengangguk. "Ya, terlebih bulan depan pengasuhnya itu akan menikah dan aku belum mendapatkan penggantinya," ujar Christian baru teringat hal tersebut. "Aku sudah meminta sekretarisku mencarikan penggantinya. Namun, belum ada yang diinginkan Christopher. Dia sangat pemilih."
Ara sedikit terkekeh. "Ya, kau benar untuk yang bagian itu. Awalnya putramu juga tak ingin menjawab semua pertanyaanku saat dia terlambat mendapat jemputannya. Namun, kemudian aku mengajaknya membuat kreatifitas hingga akhirnya dia begitu cerewet saat seluruh temannya sudah pulang."
Ara mengingat untuk pertama kalinya anak laki-laki terakhir yang sulit didekatinya saat baru mengajar di tempat tersebut ialah Christopher. Akan tetapi, dengan kegigihannya menunjukan ketulusan pada akhirnya anak itu pun merasa nyaman bermain dengannya saat menunggu jemputannya tiba.
"Sungguh? Kalau begitu, sepertinya aku harus mencari seseorang yang sepertimu, Nona Stewart. Rasanya lebih mudah jika Christoph sudah mengenal orang untuk mengasuhnya."
"Well, jika ada kenalan mungkin aku bisa merekomendasikannya padamu, Tuan," ujar Ara mendapat anggukan dari Christian.
"Oh, syukurlah. Tunggu sebentar, kau bisa menyimpan kartu namaku dan bisa menghubungiku jika ada yang berminat," ujar Christian sambil merogoh saku jas demi mengeluarkan kartu namanya untuk diberikan kepada Ara.
"Baiklah, aku akan mengabarinya." Ara menerima kartu nama Christian dan tersenyum pada pria itu.
"Terima kasih, Nona Stewart," ujar Christian kembali tersenyum dan tak henti menatap Ara yang menjadi salah tingkah.
Sehingga Ara tersadar bahwa penampilannya memang sungguh menarik perhatian. "Well, sepertinya aku harus segera mengganti ini lalu bersiap mengajar," ujar Ara.
"Ya, sekali lagi aku sungguh minta maaf, Nona Stewart. Aku tetap akan menggantinya nanti kau tak boleh menolak atau aku sungguh tak enak," ujar Christian sekali lagi tersenyum ramah pada Ara sambil berputar hendak memasuki mobilnya.
"Okay, aku bisa apa jika demikian."
"Baiklah, terima kasih." Christian akhirnya masuk ke mobil dan pergi dari area sekolah tersebut.
Ara menghela napas dan melihat keadaannya yang sangat kacau sampai ketika ia hendak masuk ke dalam seseorang memanggilnya.
"Nona Stewart, kukira kau melupakan sesuatu kemarin. Dan, ke mana kau semalam jangan bilang kau menghindariku?"
Ara terhenti saat mendengar suara seorang penagih hutang yang menghampirinya. Ara berbalik dan memasang wajah kesal lantaran pria bertubuh kekar itu kembali mendatanginya ke sekolah.
"Aku mengunjungi adikku ke kota karena membuat masalah, aku lupa karena harus mengurus masalahnya hingga larut dan aku tak melarikan diri! Seperti yang kau lihat aku berada di hadapanmu, tapi kini kau melanggar perjanjian dengan datang ke tempat kerjaku."
"Kau tak perlu banyak alasan, Nona! Kapan kau ingin melunasinya? Jika tidak, cepat bayarkan bunganya!"
"Siang nanti setelah mengajar aku akan ke bank dan membayarnya. Bisakah kau tak perlu datang ke sini, kau juga masih menahan mobil lama ayahku sebagai jaminan bahwa aku tak akan melarikan diri."
"Cih! kau pikir berapa harga mobil lama ayahmu. Dijual pun tak akan menutupi hutangnya!" ejek pria berjanggut tebal dengan tato di tangan dan lehernya.
"Jika kau berani menjualnya aku akan melaporkanmu ke polisi. Jangan pikir aku takut menyebarkan bukti kejahatanmu kepada kami!" gertak Ara.
"Kini kau berani mengancamku!" Pria itu mendekat dengan tatapan tajam mengintimidasi.
Namun, Ara tak takut karena terbiasa menghadapi para penagih hutang seperti pria di hadapannya itu. "Kita sama-sama memiliki urusan pribadi yang tak perlu dicampuri. Aku akan membayar hutang ayahku, dan kau tak perlu mengganggu kehidupanku termasuk tempatku bekerja," tegas Ara. "Pergilah sebelum pemilik yayasan keluar dan mengetahui semua ini hingga aku kehilangan pekerjaan, jika itu terjadi kau juga akan kesulitan!" ancam Ara tak gentar seakan kerasnya hidup telah mengasah dirinya untuk kuat menghadapi setiap orang yang menekan kehidupannya.
"Siang ini jika kau tak membayar jangan salahkan aku jika rumahmu hancur!" ancam balik penagih hutang tersebut. Lalu menuruti perkataan Ara untuk menjauh dari area sekolah.
Ara kembali menghela napas dan tak menyadari sejak tadi Christian belum menjauh dari gerbang sekolah lalu setelah pria bertubuh kekar itu pergi, Christian membuka jendela mobilnya dan menatap Ara yang menarik napas sambil memijat pelipisnya. Tatapan netral biru yang penuh tanda tanya dibenaknya itu menatap penuh perhatian pada Arabelle.
o0o
Siang hari setelah jam mengajar Ara usai seperti biasanya seluruh murid sudah langsung mendapat jemputan dan menyisakan Christopher yang lagi-lagi jemputannya belum tiba."Christoph, apa ayahmu belum menjemput lagi?" tanya salah seorang temannya dengan rambut coklatnya yang klimis."Jelas saja terlambat ayahnya pasti sibuk mengurus bisnis keluarga. Ayahku pun begitu," jawab temannya yang lain.Ara yang masih sibuk menyusun kertas tugas murid-muridnya itu hanya bisa memerhatikan dari jauh, Christopher didatangi tiga temannya yang sedikit usil."Oh, ayolah kalian jangan begitu pada Christoph. Semua ayah kita memang sibuk, maka dari itu para ibu yang menjemput kita," sahut bocah lainnya yang lebih menonjol dibanding dua sebelumnya. "Namun, sayangnya Christoph sudah tidak memiliki ibu. Jadi wajar jika dia tak mendapat jemputan tepat waktu," ejeknya terkekeh."Oh, iya aku lupa Christoph tak memiliki ibu lagi," sahut teman pertama yang menyapanya.Disusul dengan ucapan si anak berambut cepa
Arabelle berjalan tergesa menuju ATM center di mana ia sudah berjanji akan mengirimkan uang bunga dari pinjaman mendiang ayahnya yang masih menumpuk. Namun, ia terkejut saat melihat saldo dari rekening peninggalan sang ayah telah kosong. Dirinya yakin semua itu ulah Kimber yang entah digunakan untuk apa karena bahkan sampai saat ini gadis itu masih belum bisa dihubungi.Ara keluar dari ATM dan berjalan dengan langkah gontai menuju arah rumah. Dia berharap para rentenir itu mau mengerti dan memberikan waktu untuknya menunda beberapa hari ke depan sampai ia mendapatkan solusi.Sialnya, belum juga ia sempat membicarakan baik-baik. Pria berjanggut tebal itu kini sudah berada di depan rumahnya. Bertepatan dengan itu Chloe membunyikan klakson sebagai tanda dirinya ada di belakang Ara."Ara!" seru Chloe dari dalam mobilnya."Chloe," sapanya sekilas sambil melirik pada si penagih hutang yang berjalan mendekatinya. Melihat pria kekar itu berjalan dengan tergesa lantas Ara pun turut bergegas mem
Saat Arabelle baru saja hendak memasuki toko yang menjual bahan-bahan kue, netranya melihat sosok anak laki-laki yang tampak tak asing tengah berjalan memasuki toko buku. Arabelle mengerutkan keningnya demi meyakinkan penglihatannya bahwa bocah itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Begitu dia yakin ia baru teringat jika Leonard berada di sana berarti benar Christoph juga berada di sana."Christoph?" panggil Ara, tetapi bocah itu tak mendengarnya sehingga membuat Arabelle membelokkan arah tujuannya. "Christoph!" seru Ara lagi sambil sedikit berlari dan mengejar bocah itu.Namun, Christopher malah berlari semakin masuk dan menuju tempat pernak pernik perlengkapan berkarya. Sialnya, Ara tak melihatnya masuk ke rak mana. Kedua netra abu itu mulai sibuk mencari di setiap lorong rak-rak buku hingga akhirnya menemukan bocah itu tengah melihat-lihat kertas warna warni."Christoph!" serunya memanggil lalu menghela napas lega ketika akhirnya menemukan bocah itu.Christopher menoleh kepadany
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?""Oh, sungguh jangan dengarkan Chloe. Jika menyuruhnya menilai dia akan memilih adikmu." Ara menjawab dengan sedikit kekehan."Pertanyaan itu untukmu, Arabelle." Christian menegaskan."Jangan memintaku. Percayalah penilaianku sangat buruk," jawab Ara lagi sambil meringis.Christian terkekeh dan mulai keluar dari area parkir. "Baiklah, aku percaya. Jadi, di mana rumahmu?" tanya Christian mengalihkan perbincangan menyenangkan itu."Brooklyn, tepatnya di kawasan Ridge Boulevard." Ara menjawab cepat hingga membuat Christian menaikkan sebelah alisnya. "Rumah peninggalan ayahku. Aku tak ingin menjualnya karena banyak kenangan di sana," imbuhnya tak ingin membuat orang salah berpikir dirinya memiliki banyak uang karena tinggal di lingkungan yang terbilang masih cukup bagus meski hanya kawasan Brooklyn.Christian mengangguk dengan senyum mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. "I'm so sorry," ujar Christian."Tak apa, beberapa pengajar di sekolah m
"Oh, Shit! Tertinggal di mobil Christian." Ara terduduk lemas di sofa.Chloe mengambil minum di kulkas seolah dialah pemilik rumah. "Minum dan tarik napas lalu hubungi si tampan bersuara seksi itu untuk kembali membawakan barang belanjaanmu," ujar Chloe terdengar mudah.Namun, bagi Ara yang tak ingin merepotkan orang lain malah merasa itu ide buruk. Sekalipun percakapannya hari ini sudah cukup santai, tetapi Ara masih merasa segan jika harus meminta Christian memutar balik."Aku akan mengirim pesan saja agar besok baru dikembalikan saat mengantar Christopher." Ara mencari nomor Christian dan setelah selesai mengetikkan pesan pada pria itu tiba-tiba panggilan dari nomor asing muncul, belum sempat Ara menekan pilihan kirim dirinya malah menjawab panggilannya."Halo, Arabelle?""Ya, dengan siapa di sana?""Oh, syukurlah Arabelle ini aku Jayden. Di mana kau?""Aku di rumah. Ada apa, kau sudah menemukan Kim?" tanyanya sejenak Ara sempat lupa untuk mencari Kim.Namun, mengingat gadis itu men
Makan malam bersama ayah dan muridnya adalah hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh Arabelle. Meskipun bersama dengan muridnya itu sendiri, tetap saja rasanya sangat canggung. Entah topik apa yang akan dibicarakan, sedangkan seharian itu mereka sudah banyak berbincang mengenai Christopher dan rasanya semua topik antara orang tua murid dengan gurunya telah habis tak tersisa.Di sepanjang perjalanan Ara sibuk memikirkan hendak membicarakan apa dengan Christian dan ketika mereka sampai di restoran yang terbilang mewah menurut Ara. Tampak jelas seluruh orang mengira mereka adalah keluarga bahagia ditambah Christoph yang terus menempel padanya seakan menegaskan pandangan umum bahwa dia adalah ibu dari bocah itu dan istri dari pria di sampingnya yang tak henti mendapat tatapan dari tiap orang yang berpapasan.Oh, seharusnya aku menolak ajakan Christopher, tapi jika Chloe tak melarikan diri setidaknya aku memiliki teman bicara, gerutu Ara dalam hati."Reservasi atas nama Christian
"Sebenarnya Dad juga tak menyukai Miss Swinton dan sepertinya makan malam kita kali ini akan menyenangkan," ujar Christian sontak membuat Christoph semakin antusias."Kau dengar itu, Miss Stewart. Berarti pemikiranku tak salah, bukan?"Ara mengangguk dengan senyum lebar.Christian mengerutkan keningnya "Well, sepertinya ada percakapan terjadi jika kau bicara begitu." Christian melirik Ara yang baru saja menerima air mineral dan meminumnya sedikit."Oh, maafkan aku Christian. Namun, tadi Christoph merasa sedih dan mengatakan apa yang dirasakannya jadi aku memberikannya perbandingan dari sisi orang dewasa. Karena aku pernah berada di posisinya walau saat itu aku sudah cukup mengerti untuk memahami kondisi ayahku. Jadi—""Hei, Arabelle. It's okay," sela Christian sambil menggenggam tangan Ara di atas meja memberikan tatapan serius tanpa ada sorot tajam dari mata indahnya itu. "Aku senang kau memberikan banyak perngertian pada Christoph. Aku mendengar dari Christoph di perjalanan menuju r
"Kau tak bisa menahan apa, Dad?""Hah, kenapa?" tanya Christian terkejut sampai menoleh ke belakang. "Christoph kau terbangun?""Ya, saat kau mengumpat," jawab bocah itu sambil mengucek matanya. "Miss Stewart sudah diantarkan?"Christian mengangguk. "Tidurlah lagi. Dad akan menggendongmu saat tiba nanti," ujarnya."Tapi Dad di rumah nanti aku masih harus membuat tulisan untuk ucapan maafku pada temanku. Paman Leon sudah berjanji ingin membantuku," ujarnya serak khas suara bangun tidur."Mungkin paman Leon lupa. Bagaimana jika Dad yang membantu?" tawar Christian.Namun, dengan cepat Christopher menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Terakhir membantu, Dad malah menumpahkan sisa cat ke karya indahku," keluhnya merasa trauma.Christian hanya bisa meringis karena ternyata kepintarannya tak cukup untuk menciptakan mahakarya seorang anak junior school. "Kau masih mengingat itu rupanya. Baiklah, kita hubungi pamanmu untuk datang, semoga dia tidak sedang membuat masalah." Christian melirik putr