Siang hari setelah jam mengajar Ara usai seperti biasanya seluruh murid sudah langsung mendapat jemputan dan menyisakan Christopher yang lagi-lagi jemputannya belum tiba.
"Christoph, apa ayahmu belum menjemput lagi?" tanya salah seorang temannya dengan rambut coklatnya yang klimis.
"Jelas saja terlambat ayahnya pasti sibuk mengurus bisnis keluarga. Ayahku pun begitu," jawab temannya yang lain.
Ara yang masih sibuk menyusun kertas tugas murid-muridnya itu hanya bisa memerhatikan dari jauh, Christopher didatangi tiga temannya yang sedikit usil.
"Oh, ayolah kalian jangan begitu pada Christoph. Semua ayah kita memang sibuk, maka dari itu para ibu yang menjemput kita," sahut bocah lainnya yang lebih menonjol dibanding dua sebelumnya. "Namun, sayangnya Christoph sudah tidak memiliki ibu. Jadi wajar jika dia tak mendapat jemputan tepat waktu," ejeknya terkekeh.
"Oh, iya aku lupa Christoph tak memiliki ibu lagi," sahut teman pertama yang menyapanya.
Disusul dengan ucapan si anak berambut cepak. "Dia hanya memiliki pengasuh dan seorang supir untuk menjemputnya. Mungkin dua orang itu lebih cocok dikatakan sebagai orang tuanya."
Si ketua geng kembali menyahut seakan menegaskan ejekan teman-temannya. "Christoph anak seorang supir dan pengasuhnya!"
Seketika sebuah pukulan membuat si pemimpin menangis dan berlari keluar ruangan sambil memanggil ibunya disusul dua temannya yang lain turut menangis karena ketakutan melihat kemarahan Christoph. Ara pun turut terkejut dan menghampiri Christoph.
"Christoph kenapa kau memukul temanmu?"
"Mereka mengejekku dan mengatakan aku–"
"Tapi bukan berarti kau harus memukulnya. Tunggu di sini selagi aku menjelaskan pada ibu teman-temanmu." Ara menegaskan dan berbalik mengejar murid-muridnya tadi.
"Dia bukan temanku, Miss Stewart. Mereka jahat padaku!" erang Christoph tak ingin disalahkan. "Kenapa mereka mengejekku tak memiliki ibu. Aku memilikinya walau dia sudah di surga!" teriak Christopher yang membuat Ara tak tega meninggalkan anak laki-laki itu mengatakan hal yang mengiris hati.
Christopher berlari ke sudut kelas dan melipat kedua kakinya lalu memeluknya serta menundukkan kepalanya di antara dada dan lututnya. Anak itu tak menangis, tetapi terlihat jelas dari sorot mata birunya yang memerah seakan memendam kemarahan dalam dirinya.
Alih-alih menjelaskan kepada orang tua muridnya yang menangis, Ara melangkah kembali untuk Christopher lalu berjongkok di hadapan bocah itu dan mengusap lembut kepalanya. "Hei, aku tahu kau memiliki seorang ibu dan ya, kau benar mereka berkata jahat padamu. Akan tetapi, hal tersebut tak membenarkanmu untuk langsung memukulnya, Christoph," tutur Ara berusaha memberi penjelasan bahwa apa yang dilakukan bocah itu sangat salah dan akan membuatnya dalam masalah kelak jika diteruskan sampai dewasa.
"Aku berusaha menahannya, Miss Stewart. Namun, mereka sudah keterlaluan," jawabnya seraya mengangkat kepalanya menatap Arabelle. "Pamanku mengatakan jika ada seseorang yang menyakitiku aku harus melawannya."
"Ya, kau tak salah jika ingin melawan demi melindungi diri, tetapi itu juga tak benar jika melawan menggunakan kekerasan." Ara kembali memberikan pengertian sambil mengusap pipi bulat Christoph dengan lembut menggunakan ibu jarinya. "Kau bisa memberitahu temanmu bahwa ucapan mereka salah dan tak boleh mengatakan demikian. Setelah itu minta mereka meminta maaf padamu."
"Baiklah, maafkan aku, Miss Stewart." Christoph akhirnya mengerti dan mengangguk paham.
Ara tersenyum saat bocah itu mudah memahami apa yang dikatakan Ara. "Kemarilah, aku ingin memelukmu." Ara membawa tubuh kecil itu masuk ke pelukannya seraya mengusap rambut dan punggung Christoph lembut. "Besok kau harus meminta maaf pada temanmu."
Christoph mendongak dengan mata birunya yang cerah seperti milik ayahnya. "Bukankah mereka juga harus meminta maaf padaku, Miss?"
"Tentu, aku akan pastikan mereka juga melakukannya untukmu." Ara melerai pelukannya lalu mengajak bocah itu berdiri sambil merapikan rambut cokelat terangnya.
"Kau yang terbaik, Miss Stewart. Terima kasih!" seru Christoph kembali berhambur memeluknya erat.
Arabelle menyambutnya riang. "You're welcome, Handsome boy!" balas Ara terkekeh.
Namun, sedetik kemudian mereka dikejutkan dengan suara dari seseorang di ambang pintu.
"Hei, keponakan nakal kenapa kau memukul temanmu?!" sergah sesosok pria yang memasuki ruang kelas dengan wajah serius sembari membuka kacamatanya dan menunjukkan tatapan tajam nan menusuk.
Arabelle dengan sigap menyembunyikan Christopher ke belakang tubuhnya lalu ia berbalik dan terkejut melihat sosok pria yang tengah berjalan ke arahnya dengan tatapan yang sontak membuat Ara membulatkan matanya karena harus kembali melihat tatapan tajam itu dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Leonard? Wa-wait, jangan bilang ... Ara membatin dan berpikir keras mengingat ucapan Christian pagi tadi.
"Aku memiliki seorang adik. Dia lebih dekat dengan Christoph. Mungkin aku bisa memintanya meluangkan waktu untuk mengajak Christoph bermain." Ketika ucapan Christian terlintas dirinya kembali menatap Leonard yang kini semakin dekat menuju padanya.
Christian Hugo dan Leonard Hugo, batin Ara lagi baru menyadari dua nama tersebut dan dengan bodohnya tak berpikir bahwa kedua orang yang ditemuinya kurang dari dua puluh empat jam itu adalah bersaudara.
"Hei, Nona. Kenapa melihatku seperti melihat hantu?" Sapaan itu sontak membuat Ara berbalik dan mencari keberadaan Christopher yang ternyata sudah menyelinap keluar dan memanggil pamannya.
"Paman Leon!" serunya berhambur memeluk sosok tampan nan seksi yang dengan sengaja membiarkan dua kancing teratas kemejanya terbuka sehingga memperlihatkan dada liatnya yang sempurna.
"Hei, jagoan! Kudengar kau memukul temanmu?" tanya Leonard berjongkok demi menyamakan posisi tubuhnya.
Mengabaikan Arabelle yang bahkan tak menjawab pertanyaannya dan terlihat panik dengan menuju mejanya lalu berpura-pura merapikan barangnya selagi Christopher bercerita pada Leonard.
"Ya, mereka mengejekku dan mengatakan aku tak memiliki ibu."
"Wow itu sudah keterlaluan. Lalu kau memukulnya?!" tanggapnya seru.
"Tidak, aku berusaha menahannya. Namun, setelah itu mereka mengejekku dan mengatakan bahwa aku anak pengasuh dan supir."
"Oh, really?!" pekik pria itu. "Itu sungguh penghinaan besar, Christoph. Kau adalah keturunan Hugo. Kau tahu apa artinya?" tanya sang paman tampak berpura-pura marah lalu mendapat anggukan dari Christoph dengan sahutan ternarsis yang tak pernah Ara dengar sebelumnya.
"Artinya kita adalah bibit unggul dengan ketampanan dan kecerdasan yang tak mudah tertandingi!" sahut Christoph menyerukan sesuatu yang sungguh hampir membuat Ara terbahak.
Oh, Leonard kau ingin menjadikan Christoph versi dirimu yang kecil, batin Ara terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
"Yeah, itu baru keponakanku! Oh, akhirnya kau menghafalnya dengan benar dan bagus jika kau sudah menghajarnya sebelum aku yang melakukannya," ujarnya dengan bangga. "Ayolah, kubelanjakan kau mainan!" serunya mengajak Christopher merapikan seluruh barangnya.
Namun, perkataan terakhir Leonard sungguh tak baik untuk Christoph yang didengar langsung oleh Arabelle. Lantas wanita itu membawa langkahnya mendekati dua pria berbeda generasi itu.
"Maaf, Tuan Hugo. Sepertinya anda salah jika membanggakan apa yang dilakukan Christoph terhadap temannya." Ara yang awalnya menghindari Leonard—karena takut ketahuan siapa dirinya—malah dengan berani menegur sosok angkuh itu dan menatap Leon dengan tegas.
"Apa kau bilang?" tanya Leonard sedikit terkekeh. "Hei, aku tengah mengajarkan kepercayaan dirinya yang tak boleh diinjak-injak dengan mudah oleh teman-temannya. Apa yang salah dengan itu?" sanggah Leonard, sedangkan Christopher masih sibuk merapikan seluruh barang-barangnya.
"Ucapanmu yang terakhir, Tuan Hugo. Kau mengatakan 'bagus jika kau sudah menghajarnya sebelum aku yang melakukannya' Apa kau sungguh akan membuatnya menjadi seorang berandalan yang suka memukul?!" tukas Arabelle.
Leonard hanya mendecakkan lidahnya dan mengalihkan tatapannya sejenak seolah tengah meremehkan pemikiran Arabelle yang sok baik baginya.
"Kenapa kau tertawa saat seseorang menegur tindakanmu yang salah. Apa semua itu lucu bagimu?" tanya Ara.
"Ya, aku merasa lucu. Kita ini baru bertemu dan kenapa kau dengan sok tahu menegurku demikian." Leonard kembali terkekeh lalu kini pandangannya berubah menjadi tajam menusuk menatap Ara sambil melirik name tag yang Ara kenakan. "Dengar ini, Nona ... Stewart. Kau tak mengetahui apa pun tentangku juga cara kami terdidik sebagai keturunan yang terlahir di keluarga Hugo. Jadi jangan sok menceramahiku, Nona Sok tahu!" tandas Leonard tak juga menjauhkan wajahnya dari hadapan Arabelle yang kali ini tak gentar sedikit pun.
Lalu tarikan pada jaket Leonard terasa seolah sesuatu hendak diberitahukan pada Christopher agar tak membuat masalah pada Ara. Namun, Leonard mengabaikan peringatan itu dan tetap tegas menatap Ara yang kini tersenyum sambil mengalihkan tatapannya pada Christoph sejenak lalu kembali pada Leonard.
"Well, setahuku semua murid yang masuk ke sekolah ini sudah diberitahukan bahwa mereka harus mengikuti didikan umum untuk anak-anak mereka agar tak hanya terkendali oleh satu pemikiran seorang keluarga." Tatapan Ara kembali pada Christopher yang tersenyum padanya. "Kurasa itulah tujuan tuan Christian Hugo mendaftarkan putranya bersekolah di sini agar didikan keluarga yang kau banggakan itu tak berdampak buruk untuk Christoph dalam bersosialisasi dengan sekitarnya," tutur Ara panjang lebar hingga membuat Leonard tak mampu membalasnya.
"Aku tahu, Miss Stewart yang terbaik!" seru Christopher membuat Leonard menoleh pada keponakannya yang kini malah mendukung Ara.
"Terima kasih, Christoph," balas Ara lalu kembali menatap Leonard yang tengah mengetatkan rahangnya dengan wajah memerah padam. "Oh ya mengingat didikan keluargamu yang luar biasa. Kurasa kau tak keberatan jika membantu Christoph membuat ucapan permintaan maaf menggunakan kertas warna warni dengan dasar putih sebagai bentuk ketulusan juga perdamaian bagi Christoph dan teman-temannya," pinta Ara menyindir sekaligus menantang.
Tanpa mengalihkan tatapan tajamnya, Leonard akhirnya kembali membalas ucapan Ara. "Tentu! Kau akan melihatnya nanti saat ucapan permintaan maaf milik Christoph sangat bagus!" balas Leonard terdengar sengit. "Ayo, Christoph. Kita pergi ke toko buku untuk membeli semua peralatan terbaik di sana!" tegasnya pada Christoph tanpa mengalihkan tatapannya pada Ara.
Tak lama sambutan tangannya tergapai oleh Christopher yang melambai pada Ara. Leonard kembali mengenakan kacamata hitamnya lalu melintas melewati Ara begitu cepat sampai membuat rambut Ara sedikit terkibas.
Wanita sialan! Beraninya dia mengguruiku. Dia pikir siapa dirinya? Heh, lihat saja. Aku akan membuatnya menyesal telah mengibarkan bendera perang padaku, batin Leonard.
o0o
Arabelle berjalan tergesa menuju ATM center di mana ia sudah berjanji akan mengirimkan uang bunga dari pinjaman mendiang ayahnya yang masih menumpuk. Namun, ia terkejut saat melihat saldo dari rekening peninggalan sang ayah telah kosong. Dirinya yakin semua itu ulah Kimber yang entah digunakan untuk apa karena bahkan sampai saat ini gadis itu masih belum bisa dihubungi.Ara keluar dari ATM dan berjalan dengan langkah gontai menuju arah rumah. Dia berharap para rentenir itu mau mengerti dan memberikan waktu untuknya menunda beberapa hari ke depan sampai ia mendapatkan solusi.Sialnya, belum juga ia sempat membicarakan baik-baik. Pria berjanggut tebal itu kini sudah berada di depan rumahnya. Bertepatan dengan itu Chloe membunyikan klakson sebagai tanda dirinya ada di belakang Ara."Ara!" seru Chloe dari dalam mobilnya."Chloe," sapanya sekilas sambil melirik pada si penagih hutang yang berjalan mendekatinya. Melihat pria kekar itu berjalan dengan tergesa lantas Ara pun turut bergegas mem
Saat Arabelle baru saja hendak memasuki toko yang menjual bahan-bahan kue, netranya melihat sosok anak laki-laki yang tampak tak asing tengah berjalan memasuki toko buku. Arabelle mengerutkan keningnya demi meyakinkan penglihatannya bahwa bocah itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Begitu dia yakin ia baru teringat jika Leonard berada di sana berarti benar Christoph juga berada di sana."Christoph?" panggil Ara, tetapi bocah itu tak mendengarnya sehingga membuat Arabelle membelokkan arah tujuannya. "Christoph!" seru Ara lagi sambil sedikit berlari dan mengejar bocah itu.Namun, Christopher malah berlari semakin masuk dan menuju tempat pernak pernik perlengkapan berkarya. Sialnya, Ara tak melihatnya masuk ke rak mana. Kedua netra abu itu mulai sibuk mencari di setiap lorong rak-rak buku hingga akhirnya menemukan bocah itu tengah melihat-lihat kertas warna warni."Christoph!" serunya memanggil lalu menghela napas lega ketika akhirnya menemukan bocah itu.Christopher menoleh kepadany
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?""Oh, sungguh jangan dengarkan Chloe. Jika menyuruhnya menilai dia akan memilih adikmu." Ara menjawab dengan sedikit kekehan."Pertanyaan itu untukmu, Arabelle." Christian menegaskan."Jangan memintaku. Percayalah penilaianku sangat buruk," jawab Ara lagi sambil meringis.Christian terkekeh dan mulai keluar dari area parkir. "Baiklah, aku percaya. Jadi, di mana rumahmu?" tanya Christian mengalihkan perbincangan menyenangkan itu."Brooklyn, tepatnya di kawasan Ridge Boulevard." Ara menjawab cepat hingga membuat Christian menaikkan sebelah alisnya. "Rumah peninggalan ayahku. Aku tak ingin menjualnya karena banyak kenangan di sana," imbuhnya tak ingin membuat orang salah berpikir dirinya memiliki banyak uang karena tinggal di lingkungan yang terbilang masih cukup bagus meski hanya kawasan Brooklyn.Christian mengangguk dengan senyum mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. "I'm so sorry," ujar Christian."Tak apa, beberapa pengajar di sekolah m
"Oh, Shit! Tertinggal di mobil Christian." Ara terduduk lemas di sofa.Chloe mengambil minum di kulkas seolah dialah pemilik rumah. "Minum dan tarik napas lalu hubungi si tampan bersuara seksi itu untuk kembali membawakan barang belanjaanmu," ujar Chloe terdengar mudah.Namun, bagi Ara yang tak ingin merepotkan orang lain malah merasa itu ide buruk. Sekalipun percakapannya hari ini sudah cukup santai, tetapi Ara masih merasa segan jika harus meminta Christian memutar balik."Aku akan mengirim pesan saja agar besok baru dikembalikan saat mengantar Christopher." Ara mencari nomor Christian dan setelah selesai mengetikkan pesan pada pria itu tiba-tiba panggilan dari nomor asing muncul, belum sempat Ara menekan pilihan kirim dirinya malah menjawab panggilannya."Halo, Arabelle?""Ya, dengan siapa di sana?""Oh, syukurlah Arabelle ini aku Jayden. Di mana kau?""Aku di rumah. Ada apa, kau sudah menemukan Kim?" tanyanya sejenak Ara sempat lupa untuk mencari Kim.Namun, mengingat gadis itu men
Makan malam bersama ayah dan muridnya adalah hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh Arabelle. Meskipun bersama dengan muridnya itu sendiri, tetap saja rasanya sangat canggung. Entah topik apa yang akan dibicarakan, sedangkan seharian itu mereka sudah banyak berbincang mengenai Christopher dan rasanya semua topik antara orang tua murid dengan gurunya telah habis tak tersisa.Di sepanjang perjalanan Ara sibuk memikirkan hendak membicarakan apa dengan Christian dan ketika mereka sampai di restoran yang terbilang mewah menurut Ara. Tampak jelas seluruh orang mengira mereka adalah keluarga bahagia ditambah Christoph yang terus menempel padanya seakan menegaskan pandangan umum bahwa dia adalah ibu dari bocah itu dan istri dari pria di sampingnya yang tak henti mendapat tatapan dari tiap orang yang berpapasan.Oh, seharusnya aku menolak ajakan Christopher, tapi jika Chloe tak melarikan diri setidaknya aku memiliki teman bicara, gerutu Ara dalam hati."Reservasi atas nama Christian
"Sebenarnya Dad juga tak menyukai Miss Swinton dan sepertinya makan malam kita kali ini akan menyenangkan," ujar Christian sontak membuat Christoph semakin antusias."Kau dengar itu, Miss Stewart. Berarti pemikiranku tak salah, bukan?"Ara mengangguk dengan senyum lebar.Christian mengerutkan keningnya "Well, sepertinya ada percakapan terjadi jika kau bicara begitu." Christian melirik Ara yang baru saja menerima air mineral dan meminumnya sedikit."Oh, maafkan aku Christian. Namun, tadi Christoph merasa sedih dan mengatakan apa yang dirasakannya jadi aku memberikannya perbandingan dari sisi orang dewasa. Karena aku pernah berada di posisinya walau saat itu aku sudah cukup mengerti untuk memahami kondisi ayahku. Jadi—""Hei, Arabelle. It's okay," sela Christian sambil menggenggam tangan Ara di atas meja memberikan tatapan serius tanpa ada sorot tajam dari mata indahnya itu. "Aku senang kau memberikan banyak perngertian pada Christoph. Aku mendengar dari Christoph di perjalanan menuju r
"Kau tak bisa menahan apa, Dad?""Hah, kenapa?" tanya Christian terkejut sampai menoleh ke belakang. "Christoph kau terbangun?""Ya, saat kau mengumpat," jawab bocah itu sambil mengucek matanya. "Miss Stewart sudah diantarkan?"Christian mengangguk. "Tidurlah lagi. Dad akan menggendongmu saat tiba nanti," ujarnya."Tapi Dad di rumah nanti aku masih harus membuat tulisan untuk ucapan maafku pada temanku. Paman Leon sudah berjanji ingin membantuku," ujarnya serak khas suara bangun tidur."Mungkin paman Leon lupa. Bagaimana jika Dad yang membantu?" tawar Christian.Namun, dengan cepat Christopher menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Terakhir membantu, Dad malah menumpahkan sisa cat ke karya indahku," keluhnya merasa trauma.Christian hanya bisa meringis karena ternyata kepintarannya tak cukup untuk menciptakan mahakarya seorang anak junior school. "Kau masih mengingat itu rupanya. Baiklah, kita hubungi pamanmu untuk datang, semoga dia tidak sedang membuat masalah." Christian melirik putr
Leonard melesat membelah jalanan berniat menghabiskan malam dengan mencari hiburan untuknya sendiri. Tak peduli berita apa yang akan terpampang besok yang ia tahu ia menyelamatkan kakaknya dari rencana ibu mereka yang begitu gencar ingin menguasai seluruh peninggalan ayahnya untuk Christian—setidaknya begitulah pemikiran Leon.Leonard masih mengingat bagaimana perpisahan terjadi antara ayah dan ibunya. Sang ayah yang sering bersikap kasar dan membawa wanita lain untuk bercinta dibalas oleh ibunya yang berselingkuh pada pria lain. Lalu dikala keadaaan sang ayah baru saja mengalami kegagalan lalu Christian yang secara kebetulan juga baru lulus kuliah dengan otak pintarnya mencetuskan sebuah ide hingga membuat ayah mereka bangkit.Sejak saat itu Christian menjadi kesayangan ayahnya, sedangkan dia terpaksa ikut dengan ibu mereka atas permintaan sang ayah agar tetap bisa menjaga ibu mereka. Namun, nyatanya ia malah melihat bagaimana sang ibu tak segan berganti pasangan dan membawa pulang s