Sebuah mobil sport hitam melaju membelah jalan di pusat kota yang tak terlalu lenggang, tetapi tampak gesit menyalip beberapa kendaraan lain hingga akhirnya mobil tersebut berbelok memasuki sebuah menara bertuliskan Hugo Hotel dan membawa si hitam gesitnya itu berhenti di lobby.
Sang pengemudi keluar dan melemparkan kuncinya pada seorang petugas valley lalu pria dengan postur tubuh tinggi tegap dan berbentuk sempurna itu tampak memasuki gedung tersebut dan langsung menuju resepsionis untuk mengambil kartu suite room tempatnya bermalam saat ini.
Leonard Hugo membuka kacamata hitam dan bicara pada seorang resepsionis untuk memberikannya kunci kamar.
"Hei, Zack kartu aksesku, please," pintanya dan dengan segera resepsionis yang dipanggil Zack itu bergegas mengambil hak putra kedua pemilik hotel yang kini sudah dikelola oleh sang kakak.
Tak jauh dari sana tampak perkumpulan wanita keluar dari ballroom hotel yang terlihat seperti ada sebuah acara tertutup di dalam sana.
"Wah, apa dia putra kedua dari keluarga Hugo?" Suara berbisik dari sekumpulan wanita tersebut terdengar jelas sampai ke telinga Leonard.
"Bukankah dia seorang model?" sahut yang berambut sebahu. Akan tetapi, Leonard tetap tak acuh dan berpura-pura tak mendengar.
"Benar dia orangnya, lihat tatapan matanya tajam seperti Christian, tapi kudengar sifatnya berbanding terbalik dengan kakaknya," ujar wanita pirang dengan tubuh sedikit berlebihan di bagian dada.
Ucapan-ucapan itu tentu saja semakin jelas terdengar oleh Leonard. Karena para wanita itu bukan tak sengaja ingin berbisik, tetapi memang sengaja ingin menarik perhatian Leonard.
"Menurutku tidak, Christian terlihat lebih ramah saat menatap lawan bicaranya."
"Ah, bagaimanapun itu aku tetap memilih Leonard. Lihat saja tubuhnya begitu bagus dan sangat seksi," gumam wanita dengan dress mini berwarna hitam ketat mengenakan boots senada.
Okay sekarang Leonard mulai terganggu dan tertarik untuk menyapa para wanita penggosip itu setelah ia mendapatkan kartu aksesnya.
"Oh, sungguh? Kakaknya seperti pangeran menawan, apa kau tak tahu?"
Oh, yang benar saja. Mereka membandingkan supermodel sepertiku dengan Christian yang kaku, batin Leonard terkekeh.
Lalu pria dengan garis rahang tegas itu pun beranjak dari meja resepsionis menuju kumpulan wanita penggosip tersebut. Leonard kembali mengenakan kacamata hitamnya dan melangkah tegas dengan tubuh tegap bak model—walau memang begitu kenyataannya. Namun, Leonard dengan sengaja berjalan seperti tengah melakukan fashion show demi menunjukkan kharismanya sebagai model.
Bukan karena Leonard ingin menegur mereka atau pun unjuk gigi akan pesonanya, melainkan karena salah satu ucapan mereka sungguh menarik perhatian Leonard dan berhubung dirinya sangat lelah sepertinya ia bisa membawanya ke atas untuk bersenang-senang.
"Hei, sepertinya dia mendengar kita!"
"Oh My God, bagaimana ini?"
Leonard semakin menyeringai saat suara-suara itu terasa menggelitik pendengarannya.
"Hei, Ladies .... Aku sama sekali tak keberatan kalian membicarakan atau membandingkanku dengan my charming brother," ujar Leonard sambil membuka kacamatanya sehingga membuat semuanya tersudut dengan tatapan tajam dari netral abu terang miliknya. Lalu ia kembali berucap,"Kau tahu, Girls, aku benar-benar tidak peduli, tapi mungkin … aku ingin mengajak satu gadis untuk bersenang-senang denganku malam ini, siapa yang akan ikut?" ajak Leonard mengedipkan sebelah matanya lalu menaikkan sebelah alisnya pada salah satu wanita yang ia tahu paling memujinya sejak tadi.
Sontak wanita yang memang memilih lebih memuji Leonard dibanding Christian itu pun berpindah tempat dari perkumpulannya menuju sisi Leon yang disambut dengan kecupan dari Leonard. Lalu sisa dari wanita itu terlihat iri dan menunjukkan wajah nelangsa mereka.
"Selamat malam, Nona-nona. Lanjutkan perbincangan kalian!" pungkas Leonard menggandeng wanita itu dengan mesra lalu mencium wanita tersebut tanpa peduli kamera dari beberapa orang di kejauhan tampak mengambil momen gilanya itu.
Lantas para petugas keamanan hotel pengawal yang tadinya tak terlihat, kini tampak berkumpul untuk menghampiri pengunjung yang mengabadikan kegilaan Leonard.
o0o
Keesokan paginya.
Zack-si resepsionis semalam menghubungi kamar Leonard menggunakan intercom dan memanggil Leonard berkali-kali karena urusan mendesak.
"Tuan, ini sudah pagi. Bukankah kau ada kunjungan penting."
Leonard bergerak di atas kasur besarnya untuk menjawab intercom di nakas. "Hem, ya aku tahu ini sudah pagi, tapi tak membuatmu memiliki hak untuk membangunkanku," gumamnya setelah menjawab ia membiarkan gagang teleponnya menggantung sehingga tak terdengar lagi suara Zack.
Wanita di sampingnya juga turut terganggu. Dalam kondisi yang masih sama-sama polos mereka tampak berat untuk sekedar membuka mata. Semua itu sudah pasti karena semalaman Leonard tak henti melakukan senggama dengan wanita sukarelanya itu.
Usai menjawab intercom yang kini masih menggantung, jeda beberapa menit suara pintu dari suite room tersebut terdengar disusul dengan pintu yang terbuka lebar dan suara Jake yang bicara pada seseorang.
"Silakan, Tuan."
"Morning, Supermodel!" Suara bariton seorang pria dengan setelan jas rapi terdengar jelas di hadapan ranjang Leonard.
"Oh, sungguh, Zack?! Sekarang kau berani masuk dan—Christian?" Leonard terkejut saat membuka matanya sontak ia menutupi seluruh tubuh hingga kepala wanita di sampingnya. "Chris, kenapa kau ke sini?"
"Kenapa aku ke sini?" tanya balik Christian dengan nada menyindir. "Kau pikir apa yang membuatku ke sini pagi-pagi di saat seharusnya aku mengantar Christopher ke sekolah!" sergahnya dengan nada kesal.
"Ya, justru itu aku bertanya, Chris." Leonard yang belum sepenuhnya sadar malah memutar kembali pertanyaan kakaknya. Tatapannya pun beralih pada Zack yang menunjukkan sesuatu dari tabletnya sehingga Christian ikut menoleh dan menarik tablet yang menunjukkan gambar sang adik berciuman dengan wanita yang berada di sampingnya itu.
"Apa ini menjawab pertanyaanmu?!" bentak Christian.
"Oh, yang benar saja. Itu artinya pengawal kirimanmu tak bekerja dengan benar." Leonard beranjak dengan santainya dari ranjang tanpa mengenakan apa pun ia dengan tenang mengambil bathrobe untuk menutupi tubuh seksinya.
"Pengawalku yang tak becus atau orang yang dikawal mereka memang senang membuat ulah!" sarkas Christian memijat pelipisnya melihat kelakuan sang adik yang membuatnya semakin pusing, sedangkan yang bertingkah malah menguap sambil meregangkan otot-ototnya.
“Tarik semua pengawalan maka aku akan berhenti membuat ulah.”
"Aku sedang gak bernegosiasi padamu, Leon!” balas Christian.
Leonard malah mengedikkan bahunya dengan santai seolah tak mau tahu. “Aku hendak menghubungi Nick untuk menghapus semua video skandalku di hotelmu ini, tapi itu akan terjadi jika kau ….”
“Fine, kutarik semua, tapi aku tak mau tahu kau harus membereskan kekacauan ini dan suruh wanita murahan itu keluar dari hotelku sebelum ayah menghantuiku karena tak becus mendidikmu!" tandas Christian dalam satu tarikan napas lalu beranjak dari sana diikuti Zack yang menerima kembali tablet pintarnya.
Setelah itu wanita di dalam selimut Leonard memunculkan kepalanya takut-takut.
"Apa dia sungguh kakakmu?" tanya wanita itu takut-takut.
Leonard mengangguk sambil terkekeh. "Kini kau bisa bicarakan siapa dia yang sesungguhnya pada teman-temanmu. Pergilah sebelum dia kembali mengamuk," kekeh Leonard. Lalu wanita itu sungguh bergegas pergi dari kamar Leonard.
Leonard mengambil ponsel dan menghubungi kawannya yang memiliki stasiun televisi juga surat kabar terbesar di New York untuk menghapus seluruh berita tentangnya.
"Hello, Nick ... My Brother. Bagaimana malammu melewatkan pemotretan yang melelahkan dengan Paul? Sudah mendapatkan kembali mobilmu?
"Sorry, Leon. Aku lupa mengabari. Ya, mobilku sudah kembali, tapi jangan katakan pada model baru itu karena adiknya membawa rolex terbaruku yang ada di mobil."
"Hmm sayang sekali kuharap Kim segera ditemukan. Well, sepertinya sekarang aku butuh bantuanmu lebih tepatnya aku butuh bantuan orangmu untuk menghapus seluruh berita menggemparkan tentangku semalam," ujar Leonard.
"Berita kau mencium sembarang wanita lagi di hotelmu?" tanya balik Nick.
"Ya, lebih tepatnya ini milik Chris, aku tak mau mengakuinya."
"Baiklah, lalu bagaimana dengan pemotretan yang berakhir dengan ciuman. Kudengar kau melakukannya tanpa persetujuan model baru itu?"
"Ah, untuk yang itu. Aku sudah sangat lelah semalam. Kau tahu bagaimana Paul menyiksa kita untuk berpose sesuai kemauannya. Sebenarnya aku kasihan pada model baru itu, dia pasti mengalami trauma dan tak akan menerima tawaran lagi," ucap Leonard terkekeh.
"Ya, dia sungguh kejam, maka dari itu aku sangat berterima kasih padamu bisa menggantikanku, Brother. Sejujurnya aku tak ingin berpasangan dengan yang lain selain Kim.Well, beritamu akan hilang dalam satu jam. Kurasa itu cukup untuk membuat kakakmu berhenti mengamuk."
Leonard kembali tertawa saat Nick menyindir Christian yang sudah dikenalnya sejak mereka kecil.
"Baiklah, thanks."
Leonard lalu menutup panggilannya dan bergegas memasuki kamar mandi, tetapi baru saja melewati pintu kamar mandi dirinya mengingat adegan ciuman yang dilakukannya pada model baru semalam. Sontak langkahnya terhenti tepat di depan wastafel dan menatap pantulan dirinya di cermin.
"Heh, kenapa tiba-tiba aku mengingat si model kaku itu?" tanyanya pada diri sendiri seolah sebuah lelucon aneh yang membuatnya merasa heran pada dirinya.
Leon membasuh wajahnya dan saat matanya terpejam bayangan itu kembali muncul kali ini bahkan mengingat pagutan berbalas dari model baru itu dan berakhir menatap wajah terkejut Eve lebih jelas.
"Shit! Ada apa denganmu, Leon?" umpatnya menatap cermin di hadapannya. Lalu ia menepuk-nepuk pelan pipinya. "Okay, tenangkan dirimu, Leon. Dia bukan siapa-siapa dan kau baru bertemu kemarin." Menatap sekali lagi pantulan dirinya sambil memantapkan pikirannya yang membuat Leon merasa seperti pria bodoh lalu tak lama ia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
"Heh! Aku tak mungkin begini. Ini pasti karena kelelahan. Ya aku pasti kurang tidur karena bersenang-senang semalaman. Oh, sungguh sial, wanita kaku itu sudah seperti hantu!" gerutunya lagi lalu memilih menyiram dirinya berharap bayangan Eve hilang dari benaknya.
o0o
Ara berlari menuju pintu masuk di mana ia mengajar murid junior school yang berada di tengah antara rumah tinggalnya dengan pusat kota. Dirinya baru tidur selama satu jam seusai pulang dari pemotretan dan langsung kembali ke Brooklyn. Bingkai hitam tebal kacamata besarnya itu menutupi lelahnya mata yang kurang puas terpejam.Suara bell dari jam pelajaran yang dimulai terdengar tepat saat Ara baru tiba di depan gerbang. Langkahnya semakin tergesa sampai ketika dirinya tiba di pintu masuk, ia dikejutkan dengan cipratan air genangan yang muncrat ke celana juga kemeja birunya."Oh, My God!" pekik Ara. "Hei, apa kau tak melihatku!" teriak Ara.Mobil sedan yang melintas itu pun berhenti di depan pintu masuk gedung diiringi pemilik mobil—yang sepertinya tak menyadari ulahnya itu. Ara mempercepat langkahnya saat menatap pelaku yang keluar dengan tergesa menuju pintu penumpang di sampingnya."C'mon Christoph. Kau sudah terlambat, kenapa kau keras kepala dan malah menunggu Dad mengantarmu?" kel
Siang hari setelah jam mengajar Ara usai seperti biasanya seluruh murid sudah langsung mendapat jemputan dan menyisakan Christopher yang lagi-lagi jemputannya belum tiba."Christoph, apa ayahmu belum menjemput lagi?" tanya salah seorang temannya dengan rambut coklatnya yang klimis."Jelas saja terlambat ayahnya pasti sibuk mengurus bisnis keluarga. Ayahku pun begitu," jawab temannya yang lain.Ara yang masih sibuk menyusun kertas tugas murid-muridnya itu hanya bisa memerhatikan dari jauh, Christopher didatangi tiga temannya yang sedikit usil."Oh, ayolah kalian jangan begitu pada Christoph. Semua ayah kita memang sibuk, maka dari itu para ibu yang menjemput kita," sahut bocah lainnya yang lebih menonjol dibanding dua sebelumnya. "Namun, sayangnya Christoph sudah tidak memiliki ibu. Jadi wajar jika dia tak mendapat jemputan tepat waktu," ejeknya terkekeh."Oh, iya aku lupa Christoph tak memiliki ibu lagi," sahut teman pertama yang menyapanya.Disusul dengan ucapan si anak berambut cepa
Arabelle berjalan tergesa menuju ATM center di mana ia sudah berjanji akan mengirimkan uang bunga dari pinjaman mendiang ayahnya yang masih menumpuk. Namun, ia terkejut saat melihat saldo dari rekening peninggalan sang ayah telah kosong. Dirinya yakin semua itu ulah Kimber yang entah digunakan untuk apa karena bahkan sampai saat ini gadis itu masih belum bisa dihubungi.Ara keluar dari ATM dan berjalan dengan langkah gontai menuju arah rumah. Dia berharap para rentenir itu mau mengerti dan memberikan waktu untuknya menunda beberapa hari ke depan sampai ia mendapatkan solusi.Sialnya, belum juga ia sempat membicarakan baik-baik. Pria berjanggut tebal itu kini sudah berada di depan rumahnya. Bertepatan dengan itu Chloe membunyikan klakson sebagai tanda dirinya ada di belakang Ara."Ara!" seru Chloe dari dalam mobilnya."Chloe," sapanya sekilas sambil melirik pada si penagih hutang yang berjalan mendekatinya. Melihat pria kekar itu berjalan dengan tergesa lantas Ara pun turut bergegas mem
Saat Arabelle baru saja hendak memasuki toko yang menjual bahan-bahan kue, netranya melihat sosok anak laki-laki yang tampak tak asing tengah berjalan memasuki toko buku. Arabelle mengerutkan keningnya demi meyakinkan penglihatannya bahwa bocah itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Begitu dia yakin ia baru teringat jika Leonard berada di sana berarti benar Christoph juga berada di sana."Christoph?" panggil Ara, tetapi bocah itu tak mendengarnya sehingga membuat Arabelle membelokkan arah tujuannya. "Christoph!" seru Ara lagi sambil sedikit berlari dan mengejar bocah itu.Namun, Christopher malah berlari semakin masuk dan menuju tempat pernak pernik perlengkapan berkarya. Sialnya, Ara tak melihatnya masuk ke rak mana. Kedua netra abu itu mulai sibuk mencari di setiap lorong rak-rak buku hingga akhirnya menemukan bocah itu tengah melihat-lihat kertas warna warni."Christoph!" serunya memanggil lalu menghela napas lega ketika akhirnya menemukan bocah itu.Christopher menoleh kepadany
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?""Oh, sungguh jangan dengarkan Chloe. Jika menyuruhnya menilai dia akan memilih adikmu." Ara menjawab dengan sedikit kekehan."Pertanyaan itu untukmu, Arabelle." Christian menegaskan."Jangan memintaku. Percayalah penilaianku sangat buruk," jawab Ara lagi sambil meringis.Christian terkekeh dan mulai keluar dari area parkir. "Baiklah, aku percaya. Jadi, di mana rumahmu?" tanya Christian mengalihkan perbincangan menyenangkan itu."Brooklyn, tepatnya di kawasan Ridge Boulevard." Ara menjawab cepat hingga membuat Christian menaikkan sebelah alisnya. "Rumah peninggalan ayahku. Aku tak ingin menjualnya karena banyak kenangan di sana," imbuhnya tak ingin membuat orang salah berpikir dirinya memiliki banyak uang karena tinggal di lingkungan yang terbilang masih cukup bagus meski hanya kawasan Brooklyn.Christian mengangguk dengan senyum mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. "I'm so sorry," ujar Christian."Tak apa, beberapa pengajar di sekolah m
"Oh, Shit! Tertinggal di mobil Christian." Ara terduduk lemas di sofa.Chloe mengambil minum di kulkas seolah dialah pemilik rumah. "Minum dan tarik napas lalu hubungi si tampan bersuara seksi itu untuk kembali membawakan barang belanjaanmu," ujar Chloe terdengar mudah.Namun, bagi Ara yang tak ingin merepotkan orang lain malah merasa itu ide buruk. Sekalipun percakapannya hari ini sudah cukup santai, tetapi Ara masih merasa segan jika harus meminta Christian memutar balik."Aku akan mengirim pesan saja agar besok baru dikembalikan saat mengantar Christopher." Ara mencari nomor Christian dan setelah selesai mengetikkan pesan pada pria itu tiba-tiba panggilan dari nomor asing muncul, belum sempat Ara menekan pilihan kirim dirinya malah menjawab panggilannya."Halo, Arabelle?""Ya, dengan siapa di sana?""Oh, syukurlah Arabelle ini aku Jayden. Di mana kau?""Aku di rumah. Ada apa, kau sudah menemukan Kim?" tanyanya sejenak Ara sempat lupa untuk mencari Kim.Namun, mengingat gadis itu men
Makan malam bersama ayah dan muridnya adalah hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali oleh Arabelle. Meskipun bersama dengan muridnya itu sendiri, tetap saja rasanya sangat canggung. Entah topik apa yang akan dibicarakan, sedangkan seharian itu mereka sudah banyak berbincang mengenai Christopher dan rasanya semua topik antara orang tua murid dengan gurunya telah habis tak tersisa.Di sepanjang perjalanan Ara sibuk memikirkan hendak membicarakan apa dengan Christian dan ketika mereka sampai di restoran yang terbilang mewah menurut Ara. Tampak jelas seluruh orang mengira mereka adalah keluarga bahagia ditambah Christoph yang terus menempel padanya seakan menegaskan pandangan umum bahwa dia adalah ibu dari bocah itu dan istri dari pria di sampingnya yang tak henti mendapat tatapan dari tiap orang yang berpapasan.Oh, seharusnya aku menolak ajakan Christopher, tapi jika Chloe tak melarikan diri setidaknya aku memiliki teman bicara, gerutu Ara dalam hati."Reservasi atas nama Christian
"Sebenarnya Dad juga tak menyukai Miss Swinton dan sepertinya makan malam kita kali ini akan menyenangkan," ujar Christian sontak membuat Christoph semakin antusias."Kau dengar itu, Miss Stewart. Berarti pemikiranku tak salah, bukan?"Ara mengangguk dengan senyum lebar.Christian mengerutkan keningnya "Well, sepertinya ada percakapan terjadi jika kau bicara begitu." Christian melirik Ara yang baru saja menerima air mineral dan meminumnya sedikit."Oh, maafkan aku Christian. Namun, tadi Christoph merasa sedih dan mengatakan apa yang dirasakannya jadi aku memberikannya perbandingan dari sisi orang dewasa. Karena aku pernah berada di posisinya walau saat itu aku sudah cukup mengerti untuk memahami kondisi ayahku. Jadi—""Hei, Arabelle. It's okay," sela Christian sambil menggenggam tangan Ara di atas meja memberikan tatapan serius tanpa ada sorot tajam dari mata indahnya itu. "Aku senang kau memberikan banyak perngertian pada Christoph. Aku mendengar dari Christoph di perjalanan menuju r