Aku pernah berada di titik nol. Bayangkan saja olehmu, hari pernikahan yang hanya tinggal hitungan hari harus porak-poranda ketika keperawananku direnggut paksa. Dunia yang bertabur pelangi berubah badai dengan mendung tebal. Mas Iwan---calon suamiku akhirnya menikahi kakak kandungku sendiri. Bapak meninggal karena serangan jantung dan aku depresi. Aku sudah tak perawan lagi dan hampir gila. Dua setengah tahun lamanya dari kejadian itu, tiba-tiba aku dipertemukan kembali dengan seorang Laksamana Hadi Suseno. Lelaki yang berada di villa yang sama saat kejadian naas itu. Kini memang dia sudah duda. Namun kenapa tiba-tiba dia ingin menikahiku?
View MoreBab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni
“Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha
Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber
POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul
Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.
BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men
Pov RaraAku memilih menghabiskan hari pertamaku di dalam kamar. Tak keluar sama sekali. Hanya membeli makan dari pedagang yang lewat di depan kosan. Menjauh dari Mas Laksa kukira bisa membuat hatiku yang berkecamuk jadi tenang, tetapi malah justru semakin semrawut dan berantakan. Terlebih, kini ponselku hilang. Aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Pikiranku semakin ruwet karena takut Mas Laksa mencariku ke tempat Ibu dan nantinya Ibu malah jadi gak tenang. Gimana coba kalau Ibu nanti sakit karena kepikiran? Belum lagi beban memikirkan Mbak Rahma yang sudah hampir setengah gila.Aku menangis sesenggukkan di dalam kamar. Menjauh yang kukira bisa membuat pikiran dan hatiku tenang, ternyata tidak. Justru semua malah semakin terasa kacau. Sejak pagi, makanan yang kubeli pun tak tersentuh. Rasanya tak ada selera untuk makan. Entah kenapa, walaupun pikiran sepenuhnya membenci semua ini dan Mas Laksa. Namun hati kecilku merindukannya.“Mas … kenapa harus seperti ini?” Aku memukul-mu
Pov 3“Makasih, Bu!” Rara menyodorkan beberapa lembar uang sewa pada seorang perempuan paruh baya. Akhirnya dia menemukan juga tempat berteduh setelah sejak tadi beberapa kali berhenti dan mencari. “Sama-sama, Mbak.” Perempuan paruh baya pemilik kos-kosan itu tak banyak tanya. Meskipun melihat gelagat dari tamunya yang sekarang sudah seperti orang minggat. Namun, dia tak peduli hal itu. Baginya yang terpenting adalah uang. Rara gegas masuk dan berselonjor, mengistirahatkan kakinya setelah berjalan cukup jauh. Uang yang dibawanya tak terlalu banyak, karena itu sejak tadi shalat di masjid, dia berjalan mencari penginapan di sekitar. Akhirnya sebuah kos-kosan berukuran tiga kali empat meter dengan kasur tipis itu menjadi tempat berlabuhnya malam ini. Diletakkannya ransel berisi pakaian tersebut dan lekas Rara mencar-cari benda pipih dari dalam resleting kecilnya. “Astaghfirulloh … ponselku?” Seketika Rara merasa lemas ketika ternyata benda yang dia carinya gak ada. “Rasanya tadi wak
Pov : LaksaAku menuruni anak tangga dengan tergesa. Pikiranku kacau. Tak pernah Humaira berbuat seperti ini sebelum-sebelumnya. Misalkan dia mau pergi ke rumah Ibunya pun. Biasanya selalu menghubungiku lebih dulu untuk memberi kabar. Namun kenapa tidak dengan hari ini? Ada apa sebenarnya?Apa yang terjadi sebetulnya? Melihat kondisi kamar yang berantakan membuatku sangat yakin, jika Rara-ku sedang tak baik-baik saja. Tak pernah aku menemukan dia semarah ini sebelumnya.“Laksa mau ke mana?” Suara Mama membuatku menoleh. Rupanya dia masih duduk di ruang tengah sambil nonton tivi.“Mau jemput Rara, Ma. Mama belum tidur?” “Nunggu Papa. Papa kamu tadi lagi di perjalanan, sebentar lagi sampai.” “Hmm … pergi dulu, Ma!” “Iya, hati-hati.” Segera aku menutup pintu. Tak hendak bercerita pada Mama dulu. Aku juga belum tahu apakah Rara pergi dari rumah atas masalah apa. Jangan-jangan bertengkar juga dengan Mama? Hanya saja, rasanya bukan. Mama tampaknya sudah mulai menerima kehadirannya akhir
“Perempuan ini sudah tak perawan, Tam. Apa yang kamu harapkan dari wanita yang pernah gila dan ternoda seperti dia, hah? Jauh langit dan bumi kedudukan kita dengannya. Ibarat kata, dia itu lumpur dan kita ini berlian. Sampai kapanpun, gak akan sepadan. Jangan mimpi dapetin restu Mama pokoknya. Titik ”Deg! Aku baru saja berdiri dan hendak menyapa perempuan yang akan menjadi mertuaku, ketika kalimat yang menghujam ke dalam dada itu terlontar begitu saja. “Please, Ma. Rara gadis baik-baik, Ma. Aku mencintainya.” Mas Rustam meraih jemariku. Seolah takut kehilangan. “Mama tetap gak akan restuin kamu, Tam. Sekarang semua pilihan ada di tangan kamu. Kamu pilih dia atau Mama? Andai kamu pilih dia, jangan mimpi dapet hak waris lagi dan semua toko yang Mama miliki akan jadi hak adik kamu semuanya!” Ibu Windari bersedekap dengan angkuhnya. Genggaman tangan Mas Rustam memudar. Seiring dengan itu, sakit yang menghujam kembali kurasakkan. Menusuk begitu dalam. “Maaf kalau kehadiran saya buat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments