Share

Bab 2

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Aidan!” Suara seorang lelaki yang baru keluar dari minimarket memekik cemas. Dia gegas berlari dan meraih tubuh mungil yang menangis itu. Dia menggendongnya dan lantas menghampiriku. Wajahnya tampak terkejut dan kaget luar biasa.

“Hu--Humaira?” Dia menyebut namaku. Tampak sekali kaget dan terkejut ketika melihatku.

“M—Mas Laksa?” Mataku sudah berkaca-kaca. Bukan karena bertemu dengan dia yang dulu pernah berarti lalu pergi, tetapi rasa sakit kurasakan pada kaki semakin menjadi.

“Mbak Tini! Tolong jaga Aidan!” Dia menghampiriku. Lantas mengulurkan tangan.

Aidan---anak lelaki yang mungkin usianya sekitar tiga tahunan itu langsung berpindah pada gendongan perempuan berpakaian suster yang datang menghampiri dengan wajah pucat pasi.

“M—Maaf, Tuan! S—saya tadi ke toilet! J—Jangan pecat saya, Tuan!” Suaranya bergetar.

Mas Laksa berdiri kembali dan menatap wajah perempuan perempuan yang meraih Aidan. Tatapannya dingin, wajahnya sama sekali taka da senyuman. Namun perlahan dia menghela napas panjang.

“Mbak Tini gak akan saya pecat, hanya akan saya pindah tugaskan!” tegasnya seraya kembali beralih padaku.

“Ayo, bangun!”

Meski ragu, aku meraih jemari kokohnya. Angin berhembus makin kencang dan gerimis mulai berjatuhan. Seperti hatiku, hatiku yang sedang gerimis juga.

“Awww!” Aku meringis. Rasanya kakikku sakit sekali dan tak bisa digerakkan.

“Hmmm … sebentar! Maaf, ya!”

Tanpa kusangka, dia membopong tubuhku begitu saja. Lantas berlari kecil menuju mobil yang terparkir di depan minimarket. Sebuah Alphard warna putih. Dia meminta Mbak Tini membuka pintu belakang setelah suara remote terdengar dia pijit. Sementara itu, aku yang kaget dan tanpa sadar berpegangan erat pada kedua bahu lebarnya.

“Duduknya sambil sandaran, ya ….” Dia bukan bertanya, tetapi memberikan arahan. Karena setelah itu, dia mencondongkan kursi penumpang ke arah belakang.

Aku sampai menahan napas ketika aroma maskulin yang menguar itu menusuk hidung, membuat aku salah tingkah dibuatnya. Beruntung detik-detik itu cepat berlalu. Dia pun segera berlari ke arah depan dan duduk di balik kemudi. Lantas melajukan mobilnya membelah jalanan.

Aidan yang berada di pangkuan Mbak Tini, tampak sudah tenang. Wanita berpakaian suster itu tampak memilih diam.

“Maira, makasih banyak, ya.” Kudengar suara bariton itu berbicara. Dia menyebut Maira, ah iya, namaku kan Humaira Al Husna. Hanya saja sering dipanggil Rara.

“Iya, Mas. Sama-sama. Hmmm … saya biasa dipanggil Rara.” Aku menjelaskan.

“Oke-oke, gak terlalu paham soalnya, maaf.” Dia tampak sungkan.

“Gak apa.” Hanya itu jawabanku, setelahnya kembali diam.

Mobil berhenti di sebuah klinik. Lelaki yang pernah bertemu sekali saja denganku ketika ulang tahun pernikahannya itu lekas turun. Dia meminta Mbak Tini menggendong Aidan juga karena tadi ada luka kecil di kakinya. Sementara itu, aku yang kepayahan bangun. Mau tak mau pada akhirnya pasrah ketika dia menggendongku lagi.

“Maaf, merepotkan.” Aku tersipu. Wajah ini mungkin sudah memerah dibuatnya.

“Gak apa, Ra. Saya yang berhutang nyawa padamu.” Berbicara dalam jarak sedekat ini, justru semakin membuatku gugup. Bagaimana tidak, bahkan aku bisa mencium wangi mint ketika dia berbicara.

Setibanya di dalam klinik, aku didudukkan di kursi tunggu. Sementara itu, dia beranjak menemui seorang suster. Tak berapa lama, sebuah kursi roda datang.

“Ra, duduk di sini saja, ya!” Dia menoleh padaku.

Tanpa sadar, aku malah menggigit bibir. Duh gak enak lagi kalau pindah ke sana harus digendong lagi sama dia. Akhirnya aku berusaha bangkit, tetapi dengan sigap, Mas Laksa kembali membantuku.

“Maaf ya, Mas.” Aku menunduk dalam. Malu dan gak enak juga.

“Gak masalah. Sudah saya bilang. Saya yang berhutang budi sama kamu, Ra.” Tanpa kukira, dia malah berjongkok lantas memandang kakikku yang terasa sakit.

“Maaf, boleh pegang?” tanyanya seraya mendongak sedikit. Aku yang tengah memandanginya mengerjap ketika sepasang mata hazel itu menatap ke arahku.

“E--Emangnya m--mau ngapain, Mas?” tanyaku gugup.

“Ini harus dipijit dulu. Baru dikasih obat dokter. Bentar, ya!”

Tanpa menunggu persetujuanku lagi, dia yang tengah berjongkok itu perlahan memijit pergelangan kakikku. Rasanya sakit sekali ketika dia sedikit menariknya. Namun, benar. Setelahnya terasa agak baikan dan bisa digerakkan.

“Nah, sudah!” Dia tersenyum lantas bangkit, lalu begitu saja pergi dan duduk di samping Mbak Tini yang menggendong Aidan.

“Kakinya saja yang lecet ya, Mbak?” tanyanya seraya mengambil alih anak kecil yang tengah minum susu itu.

“Iya, Tuan. Maaf karena saya sudah lalai.” Lagi-lagi kudengar rasa penyesalan dari wanita itu.

“Hmmm.” Gak ada jawaban. Sikap ramahnya yang tadi berlaku padaku, ternyata tak berlaku pada Mbak Tini.

Ya mungkin Mas Laksa marah. Lagian, sudah tahu jaga anak kecil. Malah ditinggal ke toilet.

Namaku yang sudah didaftarkan pun dipanggil. Mas Laksa menuntun Aidan dan mendorong kursi rodaku ke dalam ruangan dokter. Menyisakkan Mbak Tini di luar sendirian. Sepertinya Mas Laksa trauma, hingga dia tak lagi menitipkan putranya itu untuk dijaga sendirian oleh pengasuhnya.

“Selamat malam, Pak, Bu! Eh ada adek ganteng juga … malam adek!” Dokter perempuan itu terlihat ramah. Dia mempersilakan kami duduk dan menyapa dengan senyuman manisnya.

“Malam, Dok! Minta tolong periksa kakinya, Dok. Sepertinya terkilir.”

“Wah hati-hati, dong, Pak! Istrinya kok sampai terkilir, diapain, nih?” Dokter itu bangkit dan bergurau sambil mendekat.

“Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut.

Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yusuf Tafseer
nggak masuk akal kebetulan 1 juta banding satu menolong anak kenalan lama yang istrinya kebetulan juga sudah meninggal. semakin gak rasional saja , author jaman now .........
goodnovel comment avatar
Mince Thomas
lanjutkan lagi...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 3

    “Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut. Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan. Pemeriksaan dokter pun usai, Mas Laksa pergi ke apotek sebentar untuk menebus obat buatku. Ada satu obat anti nyeri, salep dan sisanya aku tak paham. Katanya semua di minum sehari tiga kali. Setelah itu, mobil langsung melaju dan menuju ke rumahku yang berada tak jauh dari sini. Mobil terhenti di depan rumah. Rumahku tak besar, hanya ada dua kamar. Namun, semenjak aku dan Mbak Rahma besar, dulu Bapak merombak bagian teras depan dan menjadikan kamar itu untukku. Masih terdiri dari setengah dinding permanen saja, bagian atasnya dibuat dari triplek. “Makasih sudah nganter sampai rumah, Mas.” Ak

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 4

    “Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu. “Assalamu’alaikum, Bu!” Suara perempuan terdengar. Rupanya Mbak Rahma---kakak seayah tapi beda ibu yang datang. Aku menunduk. Selalu sakit jika melihat dia. Bagaimana tidak, dialah orang yang menggantikanku menikah dengan Mas Iwan setelah aku kehilangan segalanya. “Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. Aku mencoba bersikap biasa ketika wajahnya menyembul. Benar saja, dia bersama lelaki yang hampir saja menjadi suamiku dulu. Mas Iwan melirik sekilas ke arahku, aku memilih menunduk. “Sehat, Mbak?” Aku bangkit dan menyalaminya, memasang wajah tersenyum. Seperti biasa dia memelukku. “Mbak sama Mas Iwan baik, Ra. Dedek juga baik.” Dia mengusap perutnya setelah pelukan kami terlepas. Perih rasanya, seolah dia hendak menunjukkan kebahagiaannya di depanku. Ah, itu hanya perasaanku saja. Mungkin karena luka di dalam sini masih lebar menganga.“Semoga jadi anak soleh, Nak!” tukasku seraya mengusap perut besarnya.A

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 5

    “Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu mungkin … kejadian dua setengah tahun lalu kan terjadi di villa Mas Laksa … apa Mbak tahu sesuatu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa tiba-tiba feelingku mengarah ke sana. “Mbak gak tahu apa-apa, Ra. Tadi itu, Mbak cuma kaget saja. Kok bisa ada Mas Laksa di sini. Maklum kita ‘kan orang gak punya. Sekalinya ada orang kaya yang mampir berasa aneh.” Dia menjawab sambil terkekeh. “Yakin gak ada yang Mbak tutup-tutupin?” Aku menyipit. “Ya ampuuun, Humaira. Harus gimana lagi cara Mbak jelasinnya! Lagian sudah dua setengah tahun lalu. Sudah gak usah diungkit lagi. Kamu sudah harus move on, Ra. Harus sudah melupakan masa lalu.” Mbak Rahma berucap seperti biasa. Itulah yang akan dia katakan setiap kali aku menanyakan kejadian dua setengah tahun lalu. Lalu dia menepuk pundakku dan berjalan pergi. Aku masih mematung sendirian ketika suara deru motor terdengar menjauh. Mbah Rahma bahkan langsung pulang dan tak menemuiku lagi. Aku juga sudah lelah. Lekas

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 6

    “Ra, bisa kita bicara? Sebentar saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya. “Gak ada lagi yang harus dibicarakan, Mas.” Aku bangkit dan hendak meninggalkannya. Kulirik Meida dan mengisyaratkan agar sotoku dia bawa. Meida mengangguk paham. Namun lenganku dicekal oleh Mas Rustam. “Please, Ra.” Aku mematung ketika terasa cekalan yang cukup erat pada pergelangan tanganku. Lantas kutarik paksa hingga terlepas. “Semua sudah selesai, Mas. Gak ada lagi yang harus dibicarakan.” “Aku sudah memikirkannya lagi. Memikirkannya dalam-dalam. Kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu keluargaku, Ra.” Mas Rustam berucap yakin dan pasti. Namun, aku tak lagi peduli. Aku setengah berlari meninggalkan dia dan bergegas masuk ke dalam toko. Aku tak mau lagi berandai-andai pada sebuah pernikahan. Buat apa menikah jika hanya menambah permasalahan. Namun, tetap saja terasa sesak. Set

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 7

    “Ra, please!” Dia hendak meraih tanganku lagi ketika tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekat kami. “Jangan ganggu Humaira!” Suara bariton itu terdengar seiring dengan terbukanya pintu mobil bagian depan dan menampilkan sosok yang kukenal. Aku dan Mas Rustam menoleh ke asal suara. Aku tertegun sejenak. Lelaki dengan kemeja warna navy dengan lengan digulung menjadi tiga perempat itu sudah berdiri tak jauh dari tempatku dan Mas Rustam berada. Tampilannya tampak perlente dan rapi. Mungkin dia baru saja pulang kerja.“Siapa kamu?! Ngapain sok ikut campur urusan saya?!” Mas Rustam menatap tak suka pada sosok lelaki yang baru turun yang tak lain adalah Mas Laksa itu. “Humaira, masuk! Saya antar kamu pulang!” Dia seolah tak menggubris pertanyaan Mas Rustam. Lirikan matanya mengarahkan pada pintu mobilnya yang tertutup. Meski canggung dan bingung, tetapi menghindari Mas Rustam adalah lebih baik. “Ra!” Mas Rustam hendak meraih lenganku, tetapi kalah cepat denganku yang sete

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 8

    “Ibu, tunggu!” Aku mengejar langkahnya. Malu kalau ujug-ujug dia nanyain Mas Laksa seperti itu. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Duh, kok jadi Ibu yang agresif, ya?Langkahku berhasil menjejeri Ibu. Lantas aku menarik lengannya. “Duh, Ra! Hati-hati, loh! Untung gak tumpah.” Ibu mendelik ke arahku ketika teh manis yang ada dalam nampannya nyaris tumpah. “Ibu tolong, ya. Jangan aneh-aneh.” Aku menjejerinya dan terus berbicara. “Aneh-aneh apa, sih, Ra? Ibu cuma mau –“ “Ahm, Ra.” Suara Mas Laksa membuatku dan Ibu yang tengah berdebat di ruang tengah menoleh. Dia sudah berdiri di ambang pintu. “Ya.” Aku menyahut.“Boleh permisi ke toilet sebentar?” “Ahm, silakan, Mas. Langsung saja ke belakang, ya.” “Permisi, ya.” Mas Laksa membungkuk melewati aku dan Ibu yang tengah mematung. Di tangan Ibu ada nampan berisi teh, sedangkan di tanganku ada baskom dan handuk kecil. “Kamu sih, Ra. Ribut mulu. Ibu Cuma mau nanya baik-baik kok sama Nak Laksa.” Ibu menatap punggung Mas Laksa yang menja

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 9

    Sepanjang perjalanan aku menerka-nerka. Kira-kira dia kirim pesan lagi atau tidak? Beberapa hari ini, hati yang kosong seolah memiliki sedikiit warna. Bahkan tak jarang aku membaca chat dari Mas Laksa berulang-ulang. Ya, Tuhaaan? Apakah aku menaruh harapan pada perhatiannya? Serapuh inikah perasaan gadis yang sudah tak perawan dan usianya sudah tak lagi muda? Malu sendiri rasanya. Lantas kucoba mengubur dalam-dalam selintas senyum Mas Laksa yang mulai mengganggu ingatan. Namun, tetap saja, setiap hari kubaca chatnya sebelum tidur, berulang. Aku mengendurkan laju sepeda motor ketika sudah hampir tiba ke rumah. Tampak di depan rumahku ada dua mobil avanza terparkir. Siapakah mereka yang bertamu. Kalau dari mobilnya, itu bukan punya Mas Laksa. Lalu punya siapa? Sepeda motorku melaju lambat, tetapi tetap jua tiba. Aku parkir di depan karena tampak di teras ada lima orang yang tengah duduk melingkari meja kayu buatan Bapak. Aku menelan saliva ketika melihat lelaki jangkung yang menole

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 10

    Baru saja aku hendak melangkah ketika gawaiku yang kusimpan di atas tempat tidur berdering. Nomor Mas Laksa muncul di sana. Aku meraihnya dan segera mengangkat panggilannya sambil berjalan menuju ke depan. Apakah sekhawatir itu dia padaku? “Hallo, assalamu’alaikum, Ra!” Suaranya terdengar di telinga seiring dengan kubuka daun pintu. Sejenak aku mematung, senyum itu mengembang begitu saja. Mas Laksa tengah berdiri di samping mobilnya dengan gawai yang ditempel pada telinganya. “Wa’alaikumsalam.” Aku menurunkan ponsel dan mematikan sambungannya. Sepasang mata jernih itu tampak menyipit seiring dengan senyuman yang mengembang. Mas Laksa berjalan mendekat. Ditentengnya satu plastik keresek warna hitam lantas disodorkan padaku. “Apa ini, Mas?” Aku menerimanya dan meneliti isi yang ada dalam plastik. “Ahm itu, sop iga sapi, Ra.” Mas Laksa berdiri dalam jarak kurang dari satu meter. Harum aroma maskulin menguar dan menusuk penciuman. Ada tiga kantung dalam plastik itu dan tiga bungkus

Latest chapter

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 54 - End

    Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 53

    “Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 52

    Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 51

    POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 50

    Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 49

    BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 48

    Pov RaraAku memilih menghabiskan hari pertamaku di dalam kamar. Tak keluar sama sekali. Hanya membeli makan dari pedagang yang lewat di depan kosan. Menjauh dari Mas Laksa kukira bisa membuat hatiku yang berkecamuk jadi tenang, tetapi malah justru semakin semrawut dan berantakan. Terlebih, kini ponselku hilang. Aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Pikiranku semakin ruwet karena takut Mas Laksa mencariku ke tempat Ibu dan nantinya Ibu malah jadi gak tenang. Gimana coba kalau Ibu nanti sakit karena kepikiran? Belum lagi beban memikirkan Mbak Rahma yang sudah hampir setengah gila.Aku menangis sesenggukkan di dalam kamar. Menjauh yang kukira bisa membuat pikiran dan hatiku tenang, ternyata tidak. Justru semua malah semakin terasa kacau. Sejak pagi, makanan yang kubeli pun tak tersentuh. Rasanya tak ada selera untuk makan. Entah kenapa, walaupun pikiran sepenuhnya membenci semua ini dan Mas Laksa. Namun hati kecilku merindukannya.“Mas … kenapa harus seperti ini?” Aku memukul-mu

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 47

    Pov 3“Makasih, Bu!” Rara menyodorkan beberapa lembar uang sewa pada seorang perempuan paruh baya. Akhirnya dia menemukan juga tempat berteduh setelah sejak tadi beberapa kali berhenti dan mencari. “Sama-sama, Mbak.” Perempuan paruh baya pemilik kos-kosan itu tak banyak tanya. Meskipun melihat gelagat dari tamunya yang sekarang sudah seperti orang minggat. Namun, dia tak peduli hal itu. Baginya yang terpenting adalah uang. Rara gegas masuk dan berselonjor, mengistirahatkan kakinya setelah berjalan cukup jauh. Uang yang dibawanya tak terlalu banyak, karena itu sejak tadi shalat di masjid, dia berjalan mencari penginapan di sekitar. Akhirnya sebuah kos-kosan berukuran tiga kali empat meter dengan kasur tipis itu menjadi tempat berlabuhnya malam ini. Diletakkannya ransel berisi pakaian tersebut dan lekas Rara mencar-cari benda pipih dari dalam resleting kecilnya. “Astaghfirulloh … ponselku?” Seketika Rara merasa lemas ketika ternyata benda yang dia carinya gak ada. “Rasanya tadi wak

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 46

    Pov : LaksaAku menuruni anak tangga dengan tergesa. Pikiranku kacau. Tak pernah Humaira berbuat seperti ini sebelum-sebelumnya. Misalkan dia mau pergi ke rumah Ibunya pun. Biasanya selalu menghubungiku lebih dulu untuk memberi kabar. Namun kenapa tidak dengan hari ini? Ada apa sebenarnya?Apa yang terjadi sebetulnya? Melihat kondisi kamar yang berantakan membuatku sangat yakin, jika Rara-ku sedang tak baik-baik saja. Tak pernah aku menemukan dia semarah ini sebelumnya.“Laksa mau ke mana?” Suara Mama membuatku menoleh. Rupanya dia masih duduk di ruang tengah sambil nonton tivi.“Mau jemput Rara, Ma. Mama belum tidur?” “Nunggu Papa. Papa kamu tadi lagi di perjalanan, sebentar lagi sampai.” “Hmm … pergi dulu, Ma!” “Iya, hati-hati.” Segera aku menutup pintu. Tak hendak bercerita pada Mama dulu. Aku juga belum tahu apakah Rara pergi dari rumah atas masalah apa. Jangan-jangan bertengkar juga dengan Mama? Hanya saja, rasanya bukan. Mama tampaknya sudah mulai menerima kehadirannya akhir

DMCA.com Protection Status