• The Berkeley Carroll School, Brooklyn.
Suara bel di siang hari menandakan pelajaran telah usai. Wanita manis di depan kelas tersebut tersenyum pada murid-muridnya yang mengeluhkan jam pelajaran terasa cepat usai. Akan tetapi, semuanya tetap tertib merapikan barang-barang dan berbaris keluar satu persatu lalu langsung disambut oleh para orang tua mereka di depan.
"Ah, Miss Stewart aku belum selesai membuat prakarya," keluh seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun sambil menunjukkan prakarya sebuah menara miniatur dari karton.
Ara menoleh pada satu-satunya murid yang tersisa di kelasnya. Wajah beralaskan bedak tipis itu tersenyum dan mendekati anak laki-laki tersebut. "Hei, Christoph. Kau bisa membawanya pulang dan menyelesaikannya dengan orang tuamu, pasti lebih menyenangkan," ujar Arabelle sedikit membungkuk dan senyuman manis tercetak di wajah berbingkai kacamata.
Namun, berbeda dengan anak yang dipanggil Christoph itu malah menunjukkan wajah murungnya dan dengan terpaksa merapikan barang-barangnya.
"Apa yang membuatmu sedih, Christoph?" tanya Ara.
Namun, anak laki-laki itu hanya menggeleng pelan. Tak lama seorang yang menjemputnya tiba di ambang pintu. Ara membiarkan bocah itu pergi tanpa menjawab pertanyaannya.
Setelah itu wanita dengan garis wajah berbentuk bulat tersebut mulai merapikan barang-barangnya. Sampai suara dari ponsel yang bergetar di meja terlihat menyala dan layar pintar itu menunjukkan panggilan dari sahabatnya.
"Ya, Chloe aku sudah selesai. Kita—"
"Ara lihat pesan yang kukirimkan. Kimber kembali berulah semalam!"
"Oh, ya Tuhan apa lagi yang dia perbuat?" keluh Arabelle dan langsung mematikan panggilan Chloe untuk melihat pesan gambar dan video dari sahabatnya itu.
Arabelle membulatkan mata dan menutup mulutnya yang menganga saat dia membuka video dari Chloe di sosial media adik tirinya itu. Terlihat video tengah berpesta yang dilakukan di apartemen Kim dan beberapa orang tampak berciuman juga meminum alkohol.
"Ya ampun, Kimber. Kali ini kau sungguh keterlaluan!" Erangnya lalu langsung menghubungi nomor adiknya, tetapi tidak tersambung.
Lantas Ara kembali menghubungi Chloe sambil bergegas membawa barang-barangnya keluar dari sekolah. Dirinya hendak meminta bantuan pada sahabatnya itu untuk mengantarnya ke pusat kota. Namun, alangkah pengertiannya Chloe yang ternyata sudah tiba di depan sekolah tempat dia mengajar.
"Thank God, aku bersyukur memilikimu, Chloe," ujarnya begitu masuk ke samping kursi kemudi.
"Aku juga membawa pakaianmu kalau saja kau tak langsung pulang malam ini. Aku mengerti seperti apa kelakuan gadis kota yang berpesta, akan sulit dibangunkan dan mungkin—"
"Chloe, please jangan membuatku semakin pusing memikirkannya," sela Arabelle seraya memijat pelipisnya yang berkedut.
Chloe lalu langsung melakukan gerakan mengunci mulut dan membiarkan Ara melakukan panggilan sia-sia pada Kimber.
Sehingga dua puluh menit sepanjang perjalanan melewati kemacetan pusat kota ke Lower Manhattan tepatnya mereka menuju Battery park city. Sampai pada akhirnya mereka tiba di apartemen Kimber yang disewa sebelum ayahnya meninggal satu bulan lalu. Kini Arabelle yang harus melanjutkan kewajiban tanggung jawab pada Kimber sesuai keinginan ayahnya di detik terakhirnya.
Hal itulah yang memberatkan Ara ketika Chloe menyarankan untuk membiarkan Kim mengurus hidupnya yang berantakan semenjak kepergian ayah mereka. Namun, Ara tahu semua kenakalan Kim adalah bentuk protes akan kehilangannya hingga mencari perhatian Ara yang memang tak ingin memanjakan Kim.
"Ara aku tak bisa membantu lebih, ayahku menyuruhku segera pulang setelah mengantarmu. Dia ingin menggunakan mobilnya," ujar Chloe begitu tiba dan menghentikan mobilnya di depan apartemen Kim.
"Tak masalah, Chloe. Sungguh aku sudah sangat terbantu atas tumpangan ini." Ara menjawab sambil memeluk sahabatnya sejenak lalu melerainya seraya mengambil tas jinjing yang berisi pakaiannya dari Chloe. "Sampaikan ucapan terima kasihku pada tuan Jefferson," ujar Ara ketika sudah keluar dan Chloe mengangguk lalu mencari jalan memutar.
Arabelle menatap bangunan di hadapannya sambil menghela napas yang terasa berat lalu dirinya masuk, berniat menggunakan kunci cadangannya. Sampai ketika ia membuka pintu sesuatu tak enak terasa pada indra penciumannya. Terendus aroma alkohol menyambutnya diselingi bau tak sedap dari tempat sampah yang semakin mengejutkan Ara saat melihat banyaknya pengaman bekas pakai yang belum dibuang.
Emosi dalam tubuh rampingnya terasa mendidih seketika, wajah khas yang berbeda dari warga lokal itu pun mulai memerah padam sambil menarik tinggi lengan kemejanya ia berjalan menuju kamar untuk memarahi adik tirinya tersebut.
"Kimber Lynn Stewart cepat bangun! Kau dalam masalah besar, Girl. Kau sungguh membuatku murka kali ini!" teriak Ara.
Namun, saat Ara membuka kamar alangkah terkejutnya dia ketika mendapati pria setengah mabuk yang menyambar tubuhnya hendak menariknya ke ranjang sambil meracau tak jelas.
"Oh, Kim akhirnya kau pulang. ke mana kau membawa mobilku. Kau tahu malam ini aku harus pemotretan dan kau juga. Kau sudah berjanji pada Jay akan menjadi model penggantinya yang sakit." Pria asing itu menggumam di bawah kaki Arabelle yang mencoba dilepaskan oleh Ara sejak tadi.
"What the— Hei, pria sinting. Buka matamu dan bicaralah lalu jawab pertanyaanku. Kenapa kau berada di sini? Sementara Kim tak ada, di mana gadis nakal itu?!" hardik Arabelle pada pria yang malah berbaring dengan mata terpejam tanpa menjawab semua pertanyaan Ara.
Sampai suara pria lain dari luar kamar terdengar.
"Oh, My God. Apakah habis terjadi perang di sini?" celetuk pria asing lainnya sambil memasuki kamar dan semakin terkejut saat melihat modelnya tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Setidaknya itu yang dipikirkan pria cepak yang berhambur membangunkan pria pertama yang sangat bodoh dimata Ara.
"Nick, apa yang terjadi padamu?!" pekiknya
"Oh, c'mon ... siapa lagi pria ini dan di mana adikku sekarang?!" bentak Ara semakin kesal karena pria yang baru saja tiba itu seolah tak menghiraukan keberadaannya, dan malah membantu pria bodoh di lantai yang sedang tertidur karena mabuk.
"Jadi Kimber adalah adikmu?" tanya pria itu menoleh pada Arabelle.
Ara memijat kepalanya dengan kedua tangan. "Tiri, dia adik tiriku. Apa kau salah satu tamu pestanya semalam, kau tahu ke mana Kim pergi dan meninggalkan tempat ini menjadi sarang pesta liar berandalan seperti temanmu itu?!" tukas Ara tak dapat mengontrol emosi. Dirinya sangat frustrasi akan keadaan di apartemen.
"Sayangnya bukan," jawab pria berambut cepak tersebut sambil mendekati Ara dengan mengeluarkan selembar kartu nama.
Ara melihatnya sambil mengeja nama yang tertera di sana. "Jayden Harvey, Agency artis dan mod—"
"Simpan ini dan hubungi aku jika Kim berhasil kau temukan," sela pria yang diketahui bernama Jayden.
Namun, bukannya mengambil kartu tersebut Ara malah mengabaikannya dan berkata bahwa dirinya tak turut campur urusan Kim. Dia datang hanya untuk memberi adiknya pelajaran agar berhenti bermain-main.
"Maaf, Tuan Harvey. Aku bukan baby sitter-nya. Jika kau ada urusan dengannya, maka lebih baik kau bantu aku mencarinya!" tandas Arabelle berjalan keluar.
Jayden akhirnya menyerah mengurus Nick setelah membaringkan pria itu ke ranjang lalu mengikuti Ara ke ruang tamu. Ditambah dengan jawaban dari Ara yang tampak membuatnya semakin kesal. Jabatannya manager, tapi dia seperti baby sitter para modelnya yang bertindak seperti berandalan.
"Asal kau tahu Nona sok tahu! Semalaman aku mencari adikmu setelah mendapat kabar dari Nick yang sudah dibuat teler demi menggunakan mobilnya. Jadi jika kau ingin tahu di mana adikmu, hubungi nomornya yang lain!" balas Jayden tak kalah sengit karena kesal sejak semalam dikerjai Kim.
Arabelle mengedikkan bahu dan mengusap kening sampai kepalanya berpikir ke mana kiranya Kim pergi, tetapi nihil. Ara tak pernah tahu tempat yang disukai Kim karena memang selama ini sang ayahlah yang mengurus Kim di sana. Memikirkannya saja membuat Ara pusing. Alih-alih memikirkan ke mana Kim pergi, Ara malah bergegas merapikan kondisi apartemen. Jayden yang melihatnya pun tak bisa hanya diam, dirinya juga tak menyukai kekacauan hingga akhirnya membantu Ara merapikan tempat itu dan berakhir kini mereka duduk di ruang tengah lalu mengambil minuman kaleng.
"Jadi bagaimana, Nona. Jika kau tahu ke mana—"
"Arabelle, jangan memanggilku begitu terus," sela Ara. "Lalu masalahnya aku tak tahu ke mana dia kiranya mau pergi. Aku bukanlah kakak yang baik selama ini. Lagi pula dia hanya adik tiriku."
Jayden membuka minuman kaleng dan menenggaknya setengah. "Saudara tiri bukan berarti kau tak peduli, melihatmu datang saat tahu Kim membuat kekacauan aku yakin kau juga mengkhawatirkannya, bukan?"
Ara melirik Jayden yang pandai menilai atau lebih tepatnya sok tahu tentang pemikirannya. "Pertama aku melakukan ini karena pesan ayahku sebelum beliau pergi. Kedua aku tak mau sia-sia mencari uang untuknya bermain-main seperti ini. Jadi di mana sisi khawatirku?" tanya balik Ara sambil meminum sodanya. "Kau sendiri, kenapa mencari Kim selain untuk mencari mobil modelmu itu?"
"Well, sebenarnya Kim sudah menandatangani kontrak sementara denganku. Dia berjanji akan membantu Nick mencapai tujuannya menjadi model ternama dan project ini adalah pemotretan pertamanya memiliki pasangan model. Sayangnya, model wanitaku terkapar sakit dan malam ini hanya Kim harapannya untuk membantu Nick."
Ara yang mendengar penjelasan Jayden hanya membuatnya semakin pusing. "Lalu bagaimana jika Kim tak datang ke tempat pemotretan?" tanya Ara.
"Biaya ganti rugi harus dibayarkan untukku mencari model lain dalam waktu enam jam sebelum pemotretan tiba," jawab Jayden seakan pasrah karirnya berakhir hari itu.
"Jay, kenapa kau tak menggantikan Kim dengannya." Suara Nick tiba-tiba muncul di ambang pintu. Pria tinggi dengan badan berbentuk atletis itu tampak lebih segar dibanding sebelumnya.
"Hei, apa kau masih mabuk?!" sinis Ara berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekati Nick untuk mencecar berbagai pertanyaan tentang apa yang terjadi tadi malam.
Nick menjawab seadanya dengan mengatakan bahwa semalam Kim hanya mengundangnya datang untuk bersenang-senang. Awalnya hanya beberapa teman wanita, tetapi dari teman-temannya itu beberapa pria datang dan mereka mulai mabuk begitu juga dengan Nick hingga tak terkendali dan berakhir dirinya ditinggalkan Kim entah ke mana. Nick hanya bisa menghubungi Jayden untuk mencari Kim lalu ia tertidur sampai Ara tiba.
"Kau benar, Nick!" seru Jayden tiba-tiba mengejutkan Ara yang fokus mendengarkan cerita Nick.
"Apa yang benar?" tanya Nick, lalu Ara juga menoleh dengan kening berkerut seolah setuju dengan pertanyaan Nick.
"Ara bisa menggantikan Kim!" tegas Jayden sejak tadi memerhatikan postur tubuh Ara saat berjalan mondar mandir mendengarkan Nick bercerita.
"Apa kau bilang?!"
o0o
"Apa kau bilang?!" pekik Ara.Jayden tak langsung menjawab melainkan memutar tubuh Ara dan memerhatikan wajah wanita itu lalu membuka kacamata berbingkai tebal miliknya."Hei, apa yang kau lakukan?!" sentak Ara mengambil kacamatanya dari Jayden lalu mengenakannya kembali."Baiklah kau hanya tinggal dirias dan mengenakan pakaian yang sesuai dengan bentuk tubuhmu. Aku yakin semua orang tak akan mengalihkan pandangannya darimu.""Apa yang kau bicarakan? siapa yang mengatakan aku bersedia?!" tanya Ara."Aku tak butuh persetujuanmu, Nona pemarah. Anggaplah kau menggantikan kontrak Kim. Jika kau tak melakukannya kau sebagai wali satu-satunya harus membayar penaltinya," ancam Jayden."Apa, kenapa harus aku?" tuntut Ara mengejar Jayden, "yang menandatangani kontrak adalah Kim. Jelas tak ada urusannya denganku!""Di dalam klausa sebelas poin lima di kontrak yang ditandatangani Kim berisi; Jika dia melakukan pelanggaran kontrak seperti melarikan diri atau menghilang dari pekerjaan, maka wali yan
Sebuah mobil sport hitam melaju membelah jalan di pusat kota yang tak terlalu lenggang, tetapi tampak gesit menyalip beberapa kendaraan lain hingga akhirnya mobil tersebut berbelok memasuki sebuah menara bertuliskan Hugo Hotel dan membawa si hitam gesitnya itu berhenti di lobby.Sang pengemudi keluar dan melemparkan kuncinya pada seorang petugas valley lalu pria dengan postur tubuh tinggi tegap dan berbentuk sempurna itu tampak memasuki gedung tersebut dan langsung menuju resepsionis untuk mengambil kartu suite room tempatnya bermalam saat ini.Leonard Hugo membuka kacamata hitam dan bicara pada seorang resepsionis untuk memberikannya kunci kamar."Hei, Zack kartu aksesku, please," pintanya dan dengan segera resepsionis yang dipanggil Zack itu bergegas mengambil hak putra kedua pemilik hotel yang kini sudah dikelola oleh sang kakak.Tak jauh dari sana tampak perkumpulan wanita keluar dari ballroom hotel yang terlihat seperti ada sebuah acara tertutup di dalam sana."Wah, apa dia putra
Ara berlari menuju pintu masuk di mana ia mengajar murid junior school yang berada di tengah antara rumah tinggalnya dengan pusat kota. Dirinya baru tidur selama satu jam seusai pulang dari pemotretan dan langsung kembali ke Brooklyn. Bingkai hitam tebal kacamata besarnya itu menutupi lelahnya mata yang kurang puas terpejam.Suara bell dari jam pelajaran yang dimulai terdengar tepat saat Ara baru tiba di depan gerbang. Langkahnya semakin tergesa sampai ketika dirinya tiba di pintu masuk, ia dikejutkan dengan cipratan air genangan yang muncrat ke celana juga kemeja birunya."Oh, My God!" pekik Ara. "Hei, apa kau tak melihatku!" teriak Ara.Mobil sedan yang melintas itu pun berhenti di depan pintu masuk gedung diiringi pemilik mobil—yang sepertinya tak menyadari ulahnya itu. Ara mempercepat langkahnya saat menatap pelaku yang keluar dengan tergesa menuju pintu penumpang di sampingnya."C'mon Christoph. Kau sudah terlambat, kenapa kau keras kepala dan malah menunggu Dad mengantarmu?" kel
Siang hari setelah jam mengajar Ara usai seperti biasanya seluruh murid sudah langsung mendapat jemputan dan menyisakan Christopher yang lagi-lagi jemputannya belum tiba."Christoph, apa ayahmu belum menjemput lagi?" tanya salah seorang temannya dengan rambut coklatnya yang klimis."Jelas saja terlambat ayahnya pasti sibuk mengurus bisnis keluarga. Ayahku pun begitu," jawab temannya yang lain.Ara yang masih sibuk menyusun kertas tugas murid-muridnya itu hanya bisa memerhatikan dari jauh, Christopher didatangi tiga temannya yang sedikit usil."Oh, ayolah kalian jangan begitu pada Christoph. Semua ayah kita memang sibuk, maka dari itu para ibu yang menjemput kita," sahut bocah lainnya yang lebih menonjol dibanding dua sebelumnya. "Namun, sayangnya Christoph sudah tidak memiliki ibu. Jadi wajar jika dia tak mendapat jemputan tepat waktu," ejeknya terkekeh."Oh, iya aku lupa Christoph tak memiliki ibu lagi," sahut teman pertama yang menyapanya.Disusul dengan ucapan si anak berambut cepa
Arabelle berjalan tergesa menuju ATM center di mana ia sudah berjanji akan mengirimkan uang bunga dari pinjaman mendiang ayahnya yang masih menumpuk. Namun, ia terkejut saat melihat saldo dari rekening peninggalan sang ayah telah kosong. Dirinya yakin semua itu ulah Kimber yang entah digunakan untuk apa karena bahkan sampai saat ini gadis itu masih belum bisa dihubungi.Ara keluar dari ATM dan berjalan dengan langkah gontai menuju arah rumah. Dia berharap para rentenir itu mau mengerti dan memberikan waktu untuknya menunda beberapa hari ke depan sampai ia mendapatkan solusi.Sialnya, belum juga ia sempat membicarakan baik-baik. Pria berjanggut tebal itu kini sudah berada di depan rumahnya. Bertepatan dengan itu Chloe membunyikan klakson sebagai tanda dirinya ada di belakang Ara."Ara!" seru Chloe dari dalam mobilnya."Chloe," sapanya sekilas sambil melirik pada si penagih hutang yang berjalan mendekatinya. Melihat pria kekar itu berjalan dengan tergesa lantas Ara pun turut bergegas mem
Saat Arabelle baru saja hendak memasuki toko yang menjual bahan-bahan kue, netranya melihat sosok anak laki-laki yang tampak tak asing tengah berjalan memasuki toko buku. Arabelle mengerutkan keningnya demi meyakinkan penglihatannya bahwa bocah itu adalah salah satu murid di sekolahnya. Begitu dia yakin ia baru teringat jika Leonard berada di sana berarti benar Christoph juga berada di sana."Christoph?" panggil Ara, tetapi bocah itu tak mendengarnya sehingga membuat Arabelle membelokkan arah tujuannya. "Christoph!" seru Ara lagi sambil sedikit berlari dan mengejar bocah itu.Namun, Christopher malah berlari semakin masuk dan menuju tempat pernak pernik perlengkapan berkarya. Sialnya, Ara tak melihatnya masuk ke rak mana. Kedua netra abu itu mulai sibuk mencari di setiap lorong rak-rak buku hingga akhirnya menemukan bocah itu tengah melihat-lihat kertas warna warni."Christoph!" serunya memanggil lalu menghela napas lega ketika akhirnya menemukan bocah itu.Christopher menoleh kepadany
"So, apa aku lebih tampan dari Leon?""Oh, sungguh jangan dengarkan Chloe. Jika menyuruhnya menilai dia akan memilih adikmu." Ara menjawab dengan sedikit kekehan."Pertanyaan itu untukmu, Arabelle." Christian menegaskan."Jangan memintaku. Percayalah penilaianku sangat buruk," jawab Ara lagi sambil meringis.Christian terkekeh dan mulai keluar dari area parkir. "Baiklah, aku percaya. Jadi, di mana rumahmu?" tanya Christian mengalihkan perbincangan menyenangkan itu."Brooklyn, tepatnya di kawasan Ridge Boulevard." Ara menjawab cepat hingga membuat Christian menaikkan sebelah alisnya. "Rumah peninggalan ayahku. Aku tak ingin menjualnya karena banyak kenangan di sana," imbuhnya tak ingin membuat orang salah berpikir dirinya memiliki banyak uang karena tinggal di lingkungan yang terbilang masih cukup bagus meski hanya kawasan Brooklyn.Christian mengangguk dengan senyum mulai menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. "I'm so sorry," ujar Christian."Tak apa, beberapa pengajar di sekolah m
"Oh, Shit! Tertinggal di mobil Christian." Ara terduduk lemas di sofa.Chloe mengambil minum di kulkas seolah dialah pemilik rumah. "Minum dan tarik napas lalu hubungi si tampan bersuara seksi itu untuk kembali membawakan barang belanjaanmu," ujar Chloe terdengar mudah.Namun, bagi Ara yang tak ingin merepotkan orang lain malah merasa itu ide buruk. Sekalipun percakapannya hari ini sudah cukup santai, tetapi Ara masih merasa segan jika harus meminta Christian memutar balik."Aku akan mengirim pesan saja agar besok baru dikembalikan saat mengantar Christopher." Ara mencari nomor Christian dan setelah selesai mengetikkan pesan pada pria itu tiba-tiba panggilan dari nomor asing muncul, belum sempat Ara menekan pilihan kirim dirinya malah menjawab panggilannya."Halo, Arabelle?""Ya, dengan siapa di sana?""Oh, syukurlah Arabelle ini aku Jayden. Di mana kau?""Aku di rumah. Ada apa, kau sudah menemukan Kim?" tanyanya sejenak Ara sempat lupa untuk mencari Kim.Namun, mengingat gadis itu men