Share

**Bab 8: Warisan yang Terlupakan**

**Bab 8: Warisan yang Terlupakan**

Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya.

Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya.

Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan di rumah Willem. Buku itu mungkin bisa memberikan petunjuk lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi. Dengan hati-hati, dia membuka lemari tempat dia menyembunyikan buku itu, menariknya keluar dengan rasa ragu.

Buku itu tampak tua dan rapuh, dengan halaman-halaman yang menguning oleh waktu. Aria membuka halaman demi halaman, mencari bagian yang mungkin bisa membantunya memahami situasi ini. Teks di dalamnya sulit dibaca, ditulis dalam bahasa kuno yang tidak sepenuhnya dia mengerti. Namun, ada beberapa bagian yang tampaknya lebih relevan daripada yang lain—bagian yang menggambarkan cermin-cermin ajaib dan pengorbanan untuk mengunci roh jahat.

Saat Aria terus membaca, dia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ada bagian di buku itu yang berbicara tentang "Warisan Gelap," sebuah kekuatan yang diwariskan melalui garis keturunan tertentu. Orang-orang yang memiliki warisan ini mampu berinteraksi dengan dunia roh, membuka atau menutup gerbang antara dunia mereka dan dunia yang lain. Namun, warisan ini juga membawa kutukan yang berat—mereka yang memilikinya sering kali menjadi sasaran roh-roh jahat yang ingin memanipulasi atau menghancurkan mereka.

Aria berhenti sejenak, memproses informasi ini. Apakah mungkin bahwa dia memiliki warisan ini? Apakah itu sebabnya dia mampu mengaktifkan cermin dan berinteraksi dengan Willem? Pikiran itu membuatnya merasa terisolasi, seolah-olah dia berbeda dari orang lain di desanya. Namun, pada saat yang sama, dia merasa bahwa ini adalah satu-satunya penjelasan yang masuk akal untuk semua yang telah terjadi.

Aria terus membaca, dan semakin dalam dia memasuki teks-teks kuno itu, semakin jelas baginya bahwa dia berada dalam bahaya besar. Buku itu menggambarkan bagaimana roh-roh jahat dapat memanfaatkan mereka yang memiliki warisan ini untuk melepaskan diri dari belenggu dunia mereka, memasuki dunia manusia dan membawa kehancuran. Apa yang telah terjadi dengan Willem mungkin hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak akan berhenti hanya karena dia mencoba menutup cermin.

Saat malam semakin larut, Aria merasa semakin gelisah. Pikiran bahwa dia mungkin tanpa sadar telah membuka pintu ke kegelapan yang lebih besar membuatnya tidak bisa duduk diam. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Meskipun buku itu memberikan petunjuk tentang sifat cermin dan roh, tidak ada penjelasan yang jelas tentang bagaimana menutup gerbang yang telah terbuka.

Dalam keputusasaan, Aria teringat tentang seseorang di desa yang mungkin bisa membantunya. Nenek Nyai, seorang perempuan tua yang dianggap sebagai penjaga tradisi dan pengetahuan kuno di desa itu, mungkin memiliki jawaban. Banyak yang menganggapnya hanya sebagai seorang wanita tua yang aneh, tetapi Aria pernah mendengar bahwa Nenek Nyai menyimpan pengetahuan tentang hal-hal gaib yang tidak dimiliki orang lain.

Aria tahu bahwa ini adalah pilihan terbaiknya. Dia segera bergegas keluar dari rumahnya, menuju ke bagian desa yang lebih terpencil di mana Nenek Nyai tinggal. Jalan menuju rumah Nenek Nyai tidak mudah; itu adalah jalur kecil yang hanya dilalui oleh sedikit orang. Namun, Aria tidak memperlambat langkahnya, meskipun kegelapan malam semakin pekat di sekelilingnya.

Ketika Aria sampai di rumah Nenek Nyai, dia ragu sejenak sebelum mengetuk pintu. Rumah itu kecil dan tua, dibangun dari kayu yang sudah lapuk oleh waktu. Cahaya redup dari lilin bisa terlihat dari jendela kecil, menunjukkan bahwa sang penghuni masih terjaga. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, Aria mengetuk pintu, tiga kali dengan ketukan lembut.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan, dan sosok Nenek Nyai muncul di ambang pintu. Mata tuanya yang tajam menatap Aria dengan penuh perhatian, seolah-olah dia sudah tahu bahwa Aria akan datang.

"Masuklah, nak," kata Nenek Nyai dengan suara rendah namun penuh kehangatan. "Aku tahu kau akan datang suatu hari."

Aria merasa lega mendengar kata-kata itu, meskipun dia tidak tahu mengapa. Dia masuk ke dalam rumah kecil itu, dan segera disambut oleh aroma ramuan dan asap dupa yang memenuhi ruangan. Nenek Nyai mengarahkan Aria untuk duduk di kursi tua di sudut ruangan, sementara dia sendiri mengambil tempat di seberang meja kecil yang penuh dengan barang-barang aneh.

Setelah beberapa saat hening, Nenek Nyai mulai berbicara. "Aku tahu kau mencari jawaban, Aria. Kau memiliki warisan yang kuat, sesuatu yang jarang ada di dunia ini. Tapi dengan kekuatan itu datanglah tanggung jawab yang besar, dan aku tahu kau sudah merasakannya."

Aria hanya bisa mengangguk, merasa bahwa Nenek Nyai benar-benar memahami apa yang dia alami. "Nenek," kata Aria dengan suara pelan, "aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku takut, dan aku merasa seperti semua ini salahku. Aku tidak ingin membahayakan orang lain."

Nenek Nyai tersenyum lembut, wajahnya menunjukkan pemahaman yang mendalam. "Tidak ada yang salah dengan memiliki kekuatan, nak. Yang penting adalah bagaimana kau menggunakannya. Dan saat ini, kau harus menggunakannya untuk menutup pintu yang telah kau buka."

Aria merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata itu, tetapi masih ada banyak pertanyaan di benaknya. "Bagaimana caranya, Nek? Aku sudah mencoba menutupnya, tapi sepertinya semuanya malah semakin buruk."

Nenek Nyai menghela napas pelan, menatap Aria dengan tatapan penuh kebijaksanaan. "Menutup pintu yang telah dibuka bukanlah tugas yang mudah, Aria. Itu memerlukan lebih dari sekadar mantra atau pengorbanan. Kau harus memahami sumber dari kegelapan itu, dan menghadapinya dengan keberanian. Dan yang paling penting, kau harus percaya pada dirimu sendiri dan kekuatan yang kau miliki."

Aria mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami maksud dari setiap kata yang diucapkan oleh Nenek Nyai. "Apa yang harus aku lakukan, Nek?"

Nenek Nyai berdiri perlahan, berjalan ke sudut ruangan di mana sebuah lemari tua berdiri. Dia membuka lemari itu dan mengambil sebuah kotak kayu kecil yang dihiasi dengan ukiran-ukiran aneh. "Di sini," katanya, "ada sesuatu yang mungkin bisa membantumu. Ini adalah pusaka keluarga yang telah diturunkan selama beberapa generasi, dan hanya orang yang memiliki warisan sepertimu yang bisa menggunakannya."

Aria menerima kotak itu dengan hati-hati, merasakan beratnya di tangannya. Saat dia membuka tutupnya, dia melihat sebuah batu kristal berwarna ungu yang memancarkan cahaya lembut. Cahaya itu tampak menenangkan, hampir seperti memanggilnya.

"Batu ini," kata Nenek Nyai, "adalah kunci untuk mengunci kembali pintu itu. Tapi kau harus ingat, Aria, bahwa ini hanya alat. Kekuatan sebenarnya ada dalam dirimu. Gunakan batu ini dengan bijak, dan hadapi ketakutanmu. Hanya dengan begitu kau bisa mengalahkan kegelapan yang mengancam dunia ini."

Aria merasa beban yang berat di pundaknya, tetapi juga tekad yang tumbuh di dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan tantangan yang lebih besar masih menantinya. Tetapi dengan batu itu di tangannya dan dukungan dari Nenek Nyai, Aria merasa bahwa dia mungkin bisa menghadapi apa pun yang datang.

Dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan keberanian, Aria mengucapkan terima kasih kepada Nenek Nyai dan berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan nasib dunia, dan dia harus siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status