**Bab 8: Warisan yang Terlupakan**
Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan di rumah Willem. Buku itu mungkin bisa memberikan petunjuk lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi. Dengan hati-hati, dia membuka lemari tempat dia menyembunyikan buku itu, menariknya keluar dengan rasa ragu. Buku itu tampak tua dan rapuh, dengan halaman-halaman yang menguning oleh waktu. Aria membuka halaman demi halaman, mencari bagian yang mungkin bisa membantunya memahami situasi ini. Teks di dalamnya sulit dibaca, ditulis dalam bahasa kuno yang tidak sepenuhnya dia mengerti. Namun, ada beberapa bagian yang tampaknya lebih relevan daripada yang lain—bagian yang menggambarkan cermin-cermin ajaib dan pengorbanan untuk mengunci roh jahat. Saat Aria terus membaca, dia menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ada bagian di buku itu yang berbicara tentang "Warisan Gelap," sebuah kekuatan yang diwariskan melalui garis keturunan tertentu. Orang-orang yang memiliki warisan ini mampu berinteraksi dengan dunia roh, membuka atau menutup gerbang antara dunia mereka dan dunia yang lain. Namun, warisan ini juga membawa kutukan yang berat—mereka yang memilikinya sering kali menjadi sasaran roh-roh jahat yang ingin memanipulasi atau menghancurkan mereka. Aria berhenti sejenak, memproses informasi ini. Apakah mungkin bahwa dia memiliki warisan ini? Apakah itu sebabnya dia mampu mengaktifkan cermin dan berinteraksi dengan Willem? Pikiran itu membuatnya merasa terisolasi, seolah-olah dia berbeda dari orang lain di desanya. Namun, pada saat yang sama, dia merasa bahwa ini adalah satu-satunya penjelasan yang masuk akal untuk semua yang telah terjadi. Aria terus membaca, dan semakin dalam dia memasuki teks-teks kuno itu, semakin jelas baginya bahwa dia berada dalam bahaya besar. Buku itu menggambarkan bagaimana roh-roh jahat dapat memanfaatkan mereka yang memiliki warisan ini untuk melepaskan diri dari belenggu dunia mereka, memasuki dunia manusia dan membawa kehancuran. Apa yang telah terjadi dengan Willem mungkin hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak akan berhenti hanya karena dia mencoba menutup cermin. Saat malam semakin larut, Aria merasa semakin gelisah. Pikiran bahwa dia mungkin tanpa sadar telah membuka pintu ke kegelapan yang lebih besar membuatnya tidak bisa duduk diam. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Meskipun buku itu memberikan petunjuk tentang sifat cermin dan roh, tidak ada penjelasan yang jelas tentang bagaimana menutup gerbang yang telah terbuka. Dalam keputusasaan, Aria teringat tentang seseorang di desa yang mungkin bisa membantunya. Nenek Nyai, seorang perempuan tua yang dianggap sebagai penjaga tradisi dan pengetahuan kuno di desa itu, mungkin memiliki jawaban. Banyak yang menganggapnya hanya sebagai seorang wanita tua yang aneh, tetapi Aria pernah mendengar bahwa Nenek Nyai menyimpan pengetahuan tentang hal-hal gaib yang tidak dimiliki orang lain. Aria tahu bahwa ini adalah pilihan terbaiknya. Dia segera bergegas keluar dari rumahnya, menuju ke bagian desa yang lebih terpencil di mana Nenek Nyai tinggal. Jalan menuju rumah Nenek Nyai tidak mudah; itu adalah jalur kecil yang hanya dilalui oleh sedikit orang. Namun, Aria tidak memperlambat langkahnya, meskipun kegelapan malam semakin pekat di sekelilingnya. Ketika Aria sampai di rumah Nenek Nyai, dia ragu sejenak sebelum mengetuk pintu. Rumah itu kecil dan tua, dibangun dari kayu yang sudah lapuk oleh waktu. Cahaya redup dari lilin bisa terlihat dari jendela kecil, menunjukkan bahwa sang penghuni masih terjaga. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, Aria mengetuk pintu, tiga kali dengan ketukan lembut. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan, dan sosok Nenek Nyai muncul di ambang pintu. Mata tuanya yang tajam menatap Aria dengan penuh perhatian, seolah-olah dia sudah tahu bahwa Aria akan datang. "Masuklah, nak," kata Nenek Nyai dengan suara rendah namun penuh kehangatan. "Aku tahu kau akan datang suatu hari." Aria merasa lega mendengar kata-kata itu, meskipun dia tidak tahu mengapa. Dia masuk ke dalam rumah kecil itu, dan segera disambut oleh aroma ramuan dan asap dupa yang memenuhi ruangan. Nenek Nyai mengarahkan Aria untuk duduk di kursi tua di sudut ruangan, sementara dia sendiri mengambil tempat di seberang meja kecil yang penuh dengan barang-barang aneh. Setelah beberapa saat hening, Nenek Nyai mulai berbicara. "Aku tahu kau mencari jawaban, Aria. Kau memiliki warisan yang kuat, sesuatu yang jarang ada di dunia ini. Tapi dengan kekuatan itu datanglah tanggung jawab yang besar, dan aku tahu kau sudah merasakannya." Aria hanya bisa mengangguk, merasa bahwa Nenek Nyai benar-benar memahami apa yang dia alami. "Nenek," kata Aria dengan suara pelan, "aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku takut, dan aku merasa seperti semua ini salahku. Aku tidak ingin membahayakan orang lain." Nenek Nyai tersenyum lembut, wajahnya menunjukkan pemahaman yang mendalam. "Tidak ada yang salah dengan memiliki kekuatan, nak. Yang penting adalah bagaimana kau menggunakannya. Dan saat ini, kau harus menggunakannya untuk menutup pintu yang telah kau buka." Aria merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata itu, tetapi masih ada banyak pertanyaan di benaknya. "Bagaimana caranya, Nek? Aku sudah mencoba menutupnya, tapi sepertinya semuanya malah semakin buruk." Nenek Nyai menghela napas pelan, menatap Aria dengan tatapan penuh kebijaksanaan. "Menutup pintu yang telah dibuka bukanlah tugas yang mudah, Aria. Itu memerlukan lebih dari sekadar mantra atau pengorbanan. Kau harus memahami sumber dari kegelapan itu, dan menghadapinya dengan keberanian. Dan yang paling penting, kau harus percaya pada dirimu sendiri dan kekuatan yang kau miliki." Aria mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami maksud dari setiap kata yang diucapkan oleh Nenek Nyai. "Apa yang harus aku lakukan, Nek?" Nenek Nyai berdiri perlahan, berjalan ke sudut ruangan di mana sebuah lemari tua berdiri. Dia membuka lemari itu dan mengambil sebuah kotak kayu kecil yang dihiasi dengan ukiran-ukiran aneh. "Di sini," katanya, "ada sesuatu yang mungkin bisa membantumu. Ini adalah pusaka keluarga yang telah diturunkan selama beberapa generasi, dan hanya orang yang memiliki warisan sepertimu yang bisa menggunakannya." Aria menerima kotak itu dengan hati-hati, merasakan beratnya di tangannya. Saat dia membuka tutupnya, dia melihat sebuah batu kristal berwarna ungu yang memancarkan cahaya lembut. Cahaya itu tampak menenangkan, hampir seperti memanggilnya. "Batu ini," kata Nenek Nyai, "adalah kunci untuk mengunci kembali pintu itu. Tapi kau harus ingat, Aria, bahwa ini hanya alat. Kekuatan sebenarnya ada dalam dirimu. Gunakan batu ini dengan bijak, dan hadapi ketakutanmu. Hanya dengan begitu kau bisa mengalahkan kegelapan yang mengancam dunia ini." Aria merasa beban yang berat di pundaknya, tetapi juga tekad yang tumbuh di dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan tantangan yang lebih besar masih menantinya. Tetapi dengan batu itu di tangannya dan dukungan dari Nenek Nyai, Aria merasa bahwa dia mungkin bisa menghadapi apa pun yang datang. Dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan keberanian, Aria mengucapkan terima kasih kepada Nenek Nyai dan berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan nasib dunia, dan dia harus siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. ---**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
--- **Bab 1: Panggilan dari Masa Lalu** Aria berdiri di depan pintu kayu besar yang sudah lapuk oleh waktu. Pintu itu menjadi saksi bisu dari segala kejadian yang pernah terjadi di dalam rumah tua ini. Di balik pintu itu, banyak nyawa telah melayang, dan setiap jiwa yang pernah menghuni rumah ini meninggalkan jejaknya di sana—jejak yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup berani untuk mendekat. Pintu itu mengeluarkan bunyi berderit saat Aria mendorongnya dengan ragu. Langkah pertamanya ke dalam rumah itu membawa hawa dingin yang langsung merayap ke tulang. Lorong yang gelap dan berdebu terbentang di depannya, mengundang rasa takut yang semakin menguat di dalam hatinya. Tapi Aria tetap maju, mengabaikan naluri yang memintanya untuk lari. Rumah itu, meskipun terlihat kosong, seolah hidup dengan suara-suara kecil yang menakutkan. Angin menerpa dinding-dindingnya yang rapuh, menciptakan bunyi gemerisik yang menyerupai bisikan. Cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela b
--- **Bab 2: Bayang-bayang Masa Lalu** Aria duduk terdiam di ujung tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Angin malam yang dingin masuk melalui celah itu, tetapi tidak mampu mengusir perasaan dingin yang membekukan tulangnya. Perjalanan singkatnya ke rumah tua itu meninggalkan jejak yang mendalam di pikirannya, dan setiap kali dia menutup mata, bayangan cermin yang tersenyum itu muncul kembali, menambah beban ketakutan yang sudah berat di hatinya. Dia mencoba untuk tidur, tapi setiap kali menutup mata, ingatan tentang ruangan berisi cermin itu menghantui pikirannya. Bayangan yang menatapnya dengan tatapan kosong, senyum dingin yang bukan miliknya, dan bisikan halus yang terdengar seperti berasal dari masa lalu—semua itu terus berputar di benaknya, membuatnya terjaga sepanjang malam. Aria berpikir untuk menceritakan semuanya kepada temannya, Lisa, yang selalu menjadi pendengar setianya. Namun, sesuatu dalam dirinya menahan keinginan itu. Dia
**Bab 3: Misteri dalam Kegelapan** Pagi yang datang tidak membawa kedamaian bagi Aria. Setelah malam penuh ketegangan itu, rasa lelah yang luar biasa mendera tubuh dan pikirannya. Namun, lebih dari sekadar lelah, ada rasa takut yang terus menggerogoti dirinya, membuatnya gelisah meski sinar matahari menembus tirai kamarnya. Sosok misterius yang muncul di rumahnya malam tadi meninggalkan kesan mendalam, seolah-olah suatu kekuatan gelap telah merangsek masuk ke dalam kehidupannya. Aria mencoba mengabaikan apa yang terjadi, berusaha bersikap normal seperti biasanya. Dia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, namun bayang-bayang dari kejadian semalam terus menghantuinya. Saat dia memandang dirinya di cermin kamar mandi, dia memperhatikan pantulan wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya. Mata hitamnya tampak kosong, seolah-olah sedang melihat sesuatu yang jauh di dalam pikirannya sendiri. Di sekolah, semuanya berjalan seperti biasa, tetapi Aria merasa seolah-olah dia berada di duni
**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin** Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim
**Bab 6: Pengorbanan Terakhir** Aria berdiri di depan cermin terakhir dengan napas yang tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan Willem terus menatapnya dengan pandangan yang menusuk, seolah-olah mampu melihat ke dalam jiwanya dan menelanjangi setiap ketakutan yang dia coba sembunyikan. Tawanya masih bergema di dalam gua itu, menambah suasana yang sudah mencekam. "Aria...," suara Willem terdengar lembut namun penuh ancaman, "kau tahu bahwa kau tidak bisa lari dari takdirmu. Cermin ini bukan sekadar pintu, ini adalah penjara dan kebebasan. Jika kau menghancurkannya, aku akan bebas...dan begitu juga dengan kegelapan yang mengikutiku." Aria terdiam, mencoba memproses kata-kata Willem. Dia tahu bahwa setiap pilihan yang dia ambil akan memiliki konsekuensi besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Willem, seolah-olah ada bagian dari kebenaran yang belum terungkap. Dia tidak bisa begitu saja percaya bahwa menghancurkan cermin akan memberikan kebebasan
**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir** Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak. Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya? Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan
**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin** Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa