Share

**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir**

**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir**

Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak.

Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya?

Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan duduk di kursi di depannya. Tangannya gemetar saat membalik halaman-halaman buku itu, mencari petunjuk lebih lanjut tentang cermin terakhir.

Buku itu tampak lebih kuno daripada saat dia pertama kali membacanya di perpustakaan. Halaman-halamannya yang berwarna kecokelatan dipenuhi dengan tulisan tangan yang miring, seolah-olah ditulis dengan tergesa-gesa oleh seseorang yang putus asa. Bab tentang "Cermin Terakhir" menyiratkan bahwa cermin tersebut adalah yang paling berbahaya, dan sekaligus yang paling kuat. Cermin itu diyakini mampu menahan roh-roh jahat, tetapi jika dibebaskan, roh-roh tersebut akan berkeliaran dengan kekuatan yang jauh lebih besar.

Aria merasa merinding saat membaca bagian itu. Dia tahu bahwa Willem telah menggunakan cermin-cermin ini untuk tujuan yang tidak semestinya, dan sekarang akibatnya adalah kehancuran. Namun, menurut buku itu, cermin terakhir masih tersembunyi di suatu tempat, terlindung dari pengaruh dunia luar. Hanya seseorang dengan keberanian dan tekad yang cukup yang bisa menemukannya dan menghancurkannya, untuk selamanya.

Aria merenung sejenak, mencoba mengingat detail dari buku itu. Tidak ada petunjuk yang jelas tentang lokasi cermin terakhir. Namun, sebuah catatan kaki yang hampir terlewatkan menarik perhatiannya. Tulisan itu mengatakan bahwa cermin terakhir disembunyikan di tempat yang paling gelap dan paling sunyi, di mana bayangan tidak bisa melarikan diri dan waktu seolah berhenti.

Kata-kata itu menanamkan rasa takut di dalam diri Aria, tetapi juga memicu sebuah ingatan. Dia pernah mendengar cerita tentang sebuah tempat di pinggiran desanya, sebuah gua yang dikenal dengan sebutan "Gua Tak Berujung." Orang-orang lokal sering menghindari tempat itu karena banyak yang percaya bahwa gua tersebut dihuni oleh roh-roh yang tidak bisa tenang. Gua itu juga terkenal karena kegelapannya yang tak tertembus dan sunyinya yang mengerikan.

Aria merasa yakin bahwa gua tersebut adalah tempat yang dimaksud dalam catatan kaki itu. Meskipun takut, dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain. Jika cermin terakhir benar-benar ada di sana, maka dia harus menemukannya sebelum hal yang lebih buruk terjadi.

Malam itu, Aria tidak bisa tidur. Dia menghabiskan waktu dengan berpikir dan merencanakan. Dia tahu bahwa perjalanan ke gua itu tidak akan mudah, dan kemungkinan besar berbahaya. Namun, Aria juga tahu bahwa dia tidak bisa mundur sekarang. Dia telah terlibat terlalu dalam, dan meskipun takut, ada rasa tanggung jawab yang mendesaknya untuk bertindak.

Keesokan paginya, Aria bangun lebih awal dan mempersiapkan segalanya. Dia membawa buku yang ditemukannya, senter, dan peralatan lain yang mungkin dia butuhkan. Dia menatap cermin di kamarnya sejenak, bayangan wajahnya sendiri tampak begitu asing baginya sekarang. Aria menarik napas panjang, menenangkan dirinya, dan kemudian melangkah keluar rumah.

Perjalanan ke gua itu panjang dan melelahkan. Aria berjalan melewati hutan yang lebat, di mana pepohonan tinggi menjulang seperti menara yang menghalangi cahaya matahari. Angin dingin berdesir di antara pepohonan, membawa bisikan-bisikan yang hampir tidak terdengar, seolah-olah ada makhluk-makhluk tak terlihat yang mengawasinya dari kejauhan. Aria mempercepat langkahnya, berharap bisa sampai ke gua sebelum malam tiba.

Ketika Aria akhirnya tiba di mulut gua, matahari sudah mulai tenggelam di balik cakrawala, menyisakan hanya sedikit cahaya yang memudar di langit. Mulut gua itu besar dan gelap, tampak seperti mulut monster yang siap menelan siapa saja yang berani masuk. Aria merasakan jantungnya berdebar kencang, tetapi dia menahan rasa takut itu dan menyalakan senter yang dibawanya.

Langkah pertama masuk ke dalam gua terasa seperti memasuki dunia lain. Kegelapan di dalamnya begitu pekat, seolah-olah menelan cahaya dari senter yang dipegang Aria. Udara di dalam gua terasa dingin dan lembap, membuat setiap langkah terasa berat. Gema dari langkah kakinya terdengar jauh di dalam gua, mengingatkannya bahwa dia sendirian di tempat ini.

Aria melangkah lebih dalam ke dalam gua, menyusuri lorong-lorong yang sempit dan berliku. Suara tetesan air dari atap gua dan hembusan angin yang entah berasal dari mana menambah suasana menakutkan. Sesekali, Aria merasakan sensasi aneh, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di bayang-bayang di luar jangkauan cahaya senternya. Dia menoleh, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan yang tak berujung.

Setelah berjalan selama beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, Aria menemukan sebuah ruang terbuka yang besar di dalam gua. Di tengah-tengah ruangan itu, dia melihat sebuah objek yang berdiri tegak di atas altar batu. Cahaya dari senternya menerangi objek itu, dan Aria merasakan jantungnya berdegup kencang ketika dia menyadari apa yang dilihatnya.

Itu adalah cermin terakhir.

Cermin itu jauh lebih besar dan lebih mengesankan daripada yang pernah dia bayangkan. Bingkainya terbuat dari logam hitam yang diukir dengan simbol-simbol kuno, dan permukaannya tampak seperti kaca yang mengkilap, namun anehnya tidak memantulkan apa pun. Seolah-olah cermin itu bukanlah cermin, melainkan sebuah lubang yang mengarah ke kegelapan tak berujung.

Aria mendekati cermin itu dengan hati-hati, tangannya gemetar. Dia tahu bahwa dia harus menghancurkannya, seperti yang dia lakukan dengan cermin-cermin lainnya. Tetapi cermin ini berbeda. Ada sesuatu yang sangat kuat dan jahat yang tersembunyi di dalamnya, sesuatu yang membuatnya merasa ragu untuk mendekat.

Namun, sebelum dia bisa mengambil tindakan, cermin itu tiba-tiba bergetar. Dari dalam cermin, sebuah bayangan perlahan-lahan mulai muncul, dan Aria merasa tubuhnya kaku karena ketakutan. Bayangan itu semakin jelas, dan saat cahaya dari senternya jatuh ke arah cermin, Aria melihat wajah Willem muncul di permukaan kaca.

Willem menatap Aria dengan mata yang kosong, tetapi kali ini ada ekspresi kemenangan di wajahnya. "Kau tidak akan bisa menghancurkanku," suara Willem terdengar di seluruh ruangan, bergema dengan nada yang mengerikan. "Cermin ini adalah pintu gerbangku. Dengan menghancurkannya, kau hanya akan membebaskanku sepenuhnya."

Aria terperangah mendengar kata-kata itu. Dia berdiri di antara dua pilihan yang mengerikan—membiarkan cermin itu tetap utuh dan terus terperangkap di dalamnya, atau menghancurkannya dan menghadapi kemungkinan terburuk: kebebasan Willem.

Willem mulai tertawa, suara tawanya bergema di seluruh ruangan, membuat Aria merasa panik. Dia tahu bahwa dia tidak bisa mundur sekarang, tetapi pilihan yang dia buat bisa menjadi akhir dari semuanya. Dengan tangan gemetar, Aria meraih batu besar yang tergeletak di dekatnya. Dia harus membuat keputusan cepat—apakah dia akan menghancurkan cermin itu dan membebaskan Willem, atau meninggalkannya dan membiarkan horor ini berlanjut?

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status