Share

Bab 7: Jejak Bayangan di Desa**

**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa**

Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir.

Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian.

Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaimana, dia terhindar dari takdir itu. Meskipun lega karena masih hidup, Aria tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan.

Pada suatu sore yang dingin, Aria memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekitar desa, mencoba menenangkan pikirannya. Langkah-langkahnya membawanya ke tepi hutan, tempat yang jarang dia kunjungi sejak kejadian di gua. Pepohonan di sana tampak lebih suram dari biasanya, dengan cabang-cabang yang berayun perlahan di bawah angin yang dingin. Namun, ketenangan hutan justru membuat Aria merasa sedikit lebih tenang.

Ketika dia berjalan lebih jauh ke dalam hutan, Aria menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Daun-daun di sekitarnya tampak layu, meskipun musim gugur belum datang. Udara di sini terasa lebih dingin dan lebih berat, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dari semua sisi. Aria mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi ketika dia melangkah lebih dalam, dia mulai melihat sesuatu yang aneh.

Jejak kaki.

Di tanah yang lembab dan berlumut, ada jejak kaki yang tampaknya baru. Jejak itu terlihat tidak biasa, besar dan berat, meninggalkan cekungan yang dalam di tanah. Aria membungkuk untuk melihat lebih dekat, dan ketika dia melakukannya, jantungnya berdegup kencang. Jejak kaki itu bukan milik manusia—telapak kaki itu terlihat seperti milik makhluk besar dengan cakar tajam yang mencengkeram tanah dengan kekuatan yang luar biasa.

Aria merasa darahnya membeku. Dia tahu bahwa jejak ini bukan berasal dari hewan biasa. Ada sesuatu yang lebih mengerikan di balik jejak ini, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Ingatan tentang bayangan Willem di dalam cermin segera kembali menghantuinya. Mungkinkah ini ulahnya? Apakah dia telah menemukan cara untuk melarikan diri dari cermin, atau mungkin ini adalah sesuatu yang lebih buruk?

Dengan hati-hati, Aria mengikuti jejak itu, meskipun setiap langkah membawanya lebih dekat ke rasa takut yang menggelayuti pikirannya. Jejak itu membawanya lebih dalam ke hutan, menuju sebuah area yang jarang dijamah oleh penduduk desa. Di sana, pepohonan semakin rapat dan cahaya matahari semakin sulit menembus kanopi di atas.

Setelah berjalan beberapa menit, Aria tiba di sebuah tempat terbuka kecil, semacam rawa yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Di tengah-tengah rawa itu, ada sebuah batu besar yang tampak aneh, seperti sebuah altar tua yang ditinggalkan. Jejak kaki itu mengarah langsung ke batu tersebut, dan di sana, jejak itu berhenti.

Aria mendekati batu itu dengan hati-hati, merasakan udara semakin dingin saat dia semakin dekat. Ada sesuatu yang sangat salah di tempat ini, tetapi Aria tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika dia mencapai batu itu, Aria melihat bahwa permukaannya penuh dengan ukiran-ukiran kuno yang hampir terhapus oleh waktu. Beberapa di antaranya menyerupai simbol yang pernah dia lihat di buku tua yang dia temukan di rumah Willem. Ukiran itu tampak mengerikan, seolah-olah menceritakan kisah-kisah gelap yang terkubur dalam sejarah.

Namun, yang paling mengerikan adalah apa yang dia lihat di atas batu itu—sebuah bayangan samar yang melayang di udara, nyaris tidak terlihat oleh mata telanjang. Bayangan itu tampak seperti asap hitam yang perlahan-lahan berputar, membentuk sosok yang tidak jelas. Aria merasa tubuhnya kaku karena ketakutan, tetapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Bayangan itu bergerak, seolah-olah menyadari kehadiran Aria. Suhu udara semakin turun, membuat napas Aria keluar dalam bentuk uap. Perlahan, bayangan itu mulai mengumpulkan diri, menjadi lebih padat dan mengambil bentuk yang lebih jelas. Aria mulai bisa melihat wajahnya—sebuah wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang pernah dia lihat dalam mimpinya, seseorang yang sudah lama mati.

"Willem...," bisik Aria, suaranya hampir tak terdengar.

Bayangan itu tersenyum, senyum yang dingin dan penuh kebencian. "Aria," jawab suara itu, yang terdengar jauh dan bergema. "Kau pikir kau sudah menang? Ini baru permulaan. Kau telah membangunkan sesuatu yang lebih besar dari dirimu, sesuatu yang bahkan tidak bisa kau bayangkan."

Aria mundur selangkah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

Bayangan Willem tertawa pelan, suaranya seperti angin yang menderu di antara pepohonan. "Aku tidak menginginkan apa pun dari dunia ini, Aria. Aku hanya ingin melihatnya hancur. Dan sekarang, dengan pengorbananmu yang setengah hati, kau telah membiarkan pintu itu terbuka."

Aria merasa ketakutan yang luar biasa merayapi dirinya. Dia ingat pengorbanannya di dalam gua, pengorbanan yang tidak lengkap karena dia masih hidup. Apakah itu artinya cermin terakhir belum benar-benar mengunci Willem? Apakah dia telah melepaskan kekuatan yang lebih besar karena kegagalannya?

"Willem, kau tidak akan berhasil," kata Aria dengan suara yang sedikit lebih tegas, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.

Bayangan itu mendekat, menyebar ke arah Aria dengan gerakan yang lembut namun mengancam. "Kita lihat saja," jawabnya. "Tapi ingat ini, Aria: setiap langkah yang kau ambil hanya akan membawamu lebih dekat ke kehancuran. Kau sudah membuka jalan, sekarang kau tidak bisa menghentikan apa yang telah dimulai."

Dengan kata-kata itu, bayangan Willem perlahan menghilang, meninggalkan Aria sendirian di tengah rawa yang dingin. Aria berdiri di sana, tubuhnya gemetar, tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Dunia yang tampaknya telah dia selamatkan kini berada di ambang bahaya yang lebih besar, dan dia tidak tahu apakah dia mampu menghentikannya.

Aria tahu bahwa dia harus kembali ke desa dan mencari tahu lebih banyak tentang kekuatan yang baru saja dia lepaskan. Dia harus menemukan cara untuk menutup pintu yang telah dia buka, sebelum semuanya terlambat. Tetapi kali ini, dia tidak bisa melakukannya sendirian. Dia membutuhkan bantuan, seseorang yang mengerti kekuatan gelap ini lebih dari dirinya.

Dengan tekad yang semakin tumbuh, Aria berbalik dan mulai berlari kembali ke desa. Dia tahu bahwa perjalanannya belum berakhir, dan bayangan yang mengikuti dirinya akan terus mengancam hingga dia menemukan cara untuk mengatasinya. Dan meskipun ketakutan terus menghantuinya, Aria tahu bahwa dia tidak bisa berhenti sekarang.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status