**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa**
Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaimana, dia terhindar dari takdir itu. Meskipun lega karena masih hidup, Aria tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Pada suatu sore yang dingin, Aria memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekitar desa, mencoba menenangkan pikirannya. Langkah-langkahnya membawanya ke tepi hutan, tempat yang jarang dia kunjungi sejak kejadian di gua. Pepohonan di sana tampak lebih suram dari biasanya, dengan cabang-cabang yang berayun perlahan di bawah angin yang dingin. Namun, ketenangan hutan justru membuat Aria merasa sedikit lebih tenang. Ketika dia berjalan lebih jauh ke dalam hutan, Aria menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Daun-daun di sekitarnya tampak layu, meskipun musim gugur belum datang. Udara di sini terasa lebih dingin dan lebih berat, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dari semua sisi. Aria mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi ketika dia melangkah lebih dalam, dia mulai melihat sesuatu yang aneh. Jejak kaki. Di tanah yang lembab dan berlumut, ada jejak kaki yang tampaknya baru. Jejak itu terlihat tidak biasa, besar dan berat, meninggalkan cekungan yang dalam di tanah. Aria membungkuk untuk melihat lebih dekat, dan ketika dia melakukannya, jantungnya berdegup kencang. Jejak kaki itu bukan milik manusia—telapak kaki itu terlihat seperti milik makhluk besar dengan cakar tajam yang mencengkeram tanah dengan kekuatan yang luar biasa. Aria merasa darahnya membeku. Dia tahu bahwa jejak ini bukan berasal dari hewan biasa. Ada sesuatu yang lebih mengerikan di balik jejak ini, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Ingatan tentang bayangan Willem di dalam cermin segera kembali menghantuinya. Mungkinkah ini ulahnya? Apakah dia telah menemukan cara untuk melarikan diri dari cermin, atau mungkin ini adalah sesuatu yang lebih buruk? Dengan hati-hati, Aria mengikuti jejak itu, meskipun setiap langkah membawanya lebih dekat ke rasa takut yang menggelayuti pikirannya. Jejak itu membawanya lebih dalam ke hutan, menuju sebuah area yang jarang dijamah oleh penduduk desa. Di sana, pepohonan semakin rapat dan cahaya matahari semakin sulit menembus kanopi di atas. Setelah berjalan beberapa menit, Aria tiba di sebuah tempat terbuka kecil, semacam rawa yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Di tengah-tengah rawa itu, ada sebuah batu besar yang tampak aneh, seperti sebuah altar tua yang ditinggalkan. Jejak kaki itu mengarah langsung ke batu tersebut, dan di sana, jejak itu berhenti. Aria mendekati batu itu dengan hati-hati, merasakan udara semakin dingin saat dia semakin dekat. Ada sesuatu yang sangat salah di tempat ini, tetapi Aria tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika dia mencapai batu itu, Aria melihat bahwa permukaannya penuh dengan ukiran-ukiran kuno yang hampir terhapus oleh waktu. Beberapa di antaranya menyerupai simbol yang pernah dia lihat di buku tua yang dia temukan di rumah Willem. Ukiran itu tampak mengerikan, seolah-olah menceritakan kisah-kisah gelap yang terkubur dalam sejarah. Namun, yang paling mengerikan adalah apa yang dia lihat di atas batu itu—sebuah bayangan samar yang melayang di udara, nyaris tidak terlihat oleh mata telanjang. Bayangan itu tampak seperti asap hitam yang perlahan-lahan berputar, membentuk sosok yang tidak jelas. Aria merasa tubuhnya kaku karena ketakutan, tetapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bayangan itu bergerak, seolah-olah menyadari kehadiran Aria. Suhu udara semakin turun, membuat napas Aria keluar dalam bentuk uap. Perlahan, bayangan itu mulai mengumpulkan diri, menjadi lebih padat dan mengambil bentuk yang lebih jelas. Aria mulai bisa melihat wajahnya—sebuah wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang pernah dia lihat dalam mimpinya, seseorang yang sudah lama mati. "Willem...," bisik Aria, suaranya hampir tak terdengar. Bayangan itu tersenyum, senyum yang dingin dan penuh kebencian. "Aria," jawab suara itu, yang terdengar jauh dan bergema. "Kau pikir kau sudah menang? Ini baru permulaan. Kau telah membangunkan sesuatu yang lebih besar dari dirimu, sesuatu yang bahkan tidak bisa kau bayangkan." Aria mundur selangkah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Bayangan Willem tertawa pelan, suaranya seperti angin yang menderu di antara pepohonan. "Aku tidak menginginkan apa pun dari dunia ini, Aria. Aku hanya ingin melihatnya hancur. Dan sekarang, dengan pengorbananmu yang setengah hati, kau telah membiarkan pintu itu terbuka." Aria merasa ketakutan yang luar biasa merayapi dirinya. Dia ingat pengorbanannya di dalam gua, pengorbanan yang tidak lengkap karena dia masih hidup. Apakah itu artinya cermin terakhir belum benar-benar mengunci Willem? Apakah dia telah melepaskan kekuatan yang lebih besar karena kegagalannya? "Willem, kau tidak akan berhasil," kata Aria dengan suara yang sedikit lebih tegas, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Bayangan itu mendekat, menyebar ke arah Aria dengan gerakan yang lembut namun mengancam. "Kita lihat saja," jawabnya. "Tapi ingat ini, Aria: setiap langkah yang kau ambil hanya akan membawamu lebih dekat ke kehancuran. Kau sudah membuka jalan, sekarang kau tidak bisa menghentikan apa yang telah dimulai." Dengan kata-kata itu, bayangan Willem perlahan menghilang, meninggalkan Aria sendirian di tengah rawa yang dingin. Aria berdiri di sana, tubuhnya gemetar, tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Dunia yang tampaknya telah dia selamatkan kini berada di ambang bahaya yang lebih besar, dan dia tidak tahu apakah dia mampu menghentikannya. Aria tahu bahwa dia harus kembali ke desa dan mencari tahu lebih banyak tentang kekuatan yang baru saja dia lepaskan. Dia harus menemukan cara untuk menutup pintu yang telah dia buka, sebelum semuanya terlambat. Tetapi kali ini, dia tidak bisa melakukannya sendirian. Dia membutuhkan bantuan, seseorang yang mengerti kekuatan gelap ini lebih dari dirinya. Dengan tekad yang semakin tumbuh, Aria berbalik dan mulai berlari kembali ke desa. Dia tahu bahwa perjalanannya belum berakhir, dan bayangan yang mengikuti dirinya akan terus mengancam hingga dia menemukan cara untuk mengatasinya. Dan meskipun ketakutan terus menghantuinya, Aria tahu bahwa dia tidak bisa berhenti sekarang. ---**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
--- **Bab 1: Panggilan dari Masa Lalu** Aria berdiri di depan pintu kayu besar yang sudah lapuk oleh waktu. Pintu itu menjadi saksi bisu dari segala kejadian yang pernah terjadi di dalam rumah tua ini. Di balik pintu itu, banyak nyawa telah melayang, dan setiap jiwa yang pernah menghuni rumah ini meninggalkan jejaknya di sana—jejak yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup berani untuk mendekat. Pintu itu mengeluarkan bunyi berderit saat Aria mendorongnya dengan ragu. Langkah pertamanya ke dalam rumah itu membawa hawa dingin yang langsung merayap ke tulang. Lorong yang gelap dan berdebu terbentang di depannya, mengundang rasa takut yang semakin menguat di dalam hatinya. Tapi Aria tetap maju, mengabaikan naluri yang memintanya untuk lari. Rumah itu, meskipun terlihat kosong, seolah hidup dengan suara-suara kecil yang menakutkan. Angin menerpa dinding-dindingnya yang rapuh, menciptakan bunyi gemerisik yang menyerupai bisikan. Cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela b
--- **Bab 2: Bayang-bayang Masa Lalu** Aria duduk terdiam di ujung tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Angin malam yang dingin masuk melalui celah itu, tetapi tidak mampu mengusir perasaan dingin yang membekukan tulangnya. Perjalanan singkatnya ke rumah tua itu meninggalkan jejak yang mendalam di pikirannya, dan setiap kali dia menutup mata, bayangan cermin yang tersenyum itu muncul kembali, menambah beban ketakutan yang sudah berat di hatinya. Dia mencoba untuk tidur, tapi setiap kali menutup mata, ingatan tentang ruangan berisi cermin itu menghantui pikirannya. Bayangan yang menatapnya dengan tatapan kosong, senyum dingin yang bukan miliknya, dan bisikan halus yang terdengar seperti berasal dari masa lalu—semua itu terus berputar di benaknya, membuatnya terjaga sepanjang malam. Aria berpikir untuk menceritakan semuanya kepada temannya, Lisa, yang selalu menjadi pendengar setianya. Namun, sesuatu dalam dirinya menahan keinginan itu. Dia
**Bab 3: Misteri dalam Kegelapan** Pagi yang datang tidak membawa kedamaian bagi Aria. Setelah malam penuh ketegangan itu, rasa lelah yang luar biasa mendera tubuh dan pikirannya. Namun, lebih dari sekadar lelah, ada rasa takut yang terus menggerogoti dirinya, membuatnya gelisah meski sinar matahari menembus tirai kamarnya. Sosok misterius yang muncul di rumahnya malam tadi meninggalkan kesan mendalam, seolah-olah suatu kekuatan gelap telah merangsek masuk ke dalam kehidupannya. Aria mencoba mengabaikan apa yang terjadi, berusaha bersikap normal seperti biasanya. Dia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, namun bayang-bayang dari kejadian semalam terus menghantuinya. Saat dia memandang dirinya di cermin kamar mandi, dia memperhatikan pantulan wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya. Mata hitamnya tampak kosong, seolah-olah sedang melihat sesuatu yang jauh di dalam pikirannya sendiri. Di sekolah, semuanya berjalan seperti biasa, tetapi Aria merasa seolah-olah dia berada di duni
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim
**Bab 6: Pengorbanan Terakhir** Aria berdiri di depan cermin terakhir dengan napas yang tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan Willem terus menatapnya dengan pandangan yang menusuk, seolah-olah mampu melihat ke dalam jiwanya dan menelanjangi setiap ketakutan yang dia coba sembunyikan. Tawanya masih bergema di dalam gua itu, menambah suasana yang sudah mencekam. "Aria...," suara Willem terdengar lembut namun penuh ancaman, "kau tahu bahwa kau tidak bisa lari dari takdirmu. Cermin ini bukan sekadar pintu, ini adalah penjara dan kebebasan. Jika kau menghancurkannya, aku akan bebas...dan begitu juga dengan kegelapan yang mengikutiku." Aria terdiam, mencoba memproses kata-kata Willem. Dia tahu bahwa setiap pilihan yang dia ambil akan memiliki konsekuensi besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Willem, seolah-olah ada bagian dari kebenaran yang belum terungkap. Dia tidak bisa begitu saja percaya bahwa menghancurkan cermin akan memberikan kebebasan
**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir** Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak. Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya? Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan
**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin** Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa