**Bab 3: Misteri dalam Kegelapan**
Pagi yang datang tidak membawa kedamaian bagi Aria. Setelah malam penuh ketegangan itu, rasa lelah yang luar biasa mendera tubuh dan pikirannya. Namun, lebih dari sekadar lelah, ada rasa takut yang terus menggerogoti dirinya, membuatnya gelisah meski sinar matahari menembus tirai kamarnya. Sosok misterius yang muncul di rumahnya malam tadi meninggalkan kesan mendalam, seolah-olah suatu kekuatan gelap telah merangsek masuk ke dalam kehidupannya. Aria mencoba mengabaikan apa yang terjadi, berusaha bersikap normal seperti biasanya. Dia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, namun bayang-bayang dari kejadian semalam terus menghantuinya. Saat dia memandang dirinya di cermin kamar mandi, dia memperhatikan pantulan wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya. Mata hitamnya tampak kosong, seolah-olah sedang melihat sesuatu yang jauh di dalam pikirannya sendiri. Di sekolah, semuanya berjalan seperti biasa, tetapi Aria merasa seolah-olah dia berada di dunia yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Lisa, yang duduk di sampingnya di kelas, terus-menerus menanyakan apakah dia baik-baik saja, dan Aria hanya menjawab singkat, berusaha tidak terlihat terlalu aneh. Dia tahu bahwa Lisa cemas, tetapi Aria tidak bisa membawa dirinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan bahwa dia melihat sosok tanpa wajah di ruang tamu rumahnya sendiri? Selama pelajaran berlangsung, Aria mencoba berkonsentrasi, tetapi pikirannya terus-menerus kembali ke rumah tua itu dan bayangan yang muncul di cermin. Setiap kali dia menutup mata, dia bisa melihat senyum dingin dari bayangan itu, dan perasaan tidak nyaman semakin menguat. Dia merasa seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasinya, bahkan di tengah keramaian kelas. Setelah sekolah usai, Aria memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia merasa perlu mencari jawaban, atau setidaknya pemahaman, tentang apa yang sedang terjadi padanya. Mungkin ada penjelasan logis di balik semua ini—mungkin hanya imajinasi yang berlebihan akibat stres. Di perpustakaan, Aria langsung menuju ke bagian yang jarang dikunjungi, di mana buku-buku tua yang berdebu menumpuk di rak-rak tinggi. Aria menghabiskan waktu berjam-jam memeriksa buku-buku tentang sejarah lokal dan kisah-kisah mistis dari desa tempat tinggalnya. Dia berharap bisa menemukan sesuatu yang berkaitan dengan rumah tua itu atau pengalaman aneh yang dialaminya. Namun, semakin banyak dia membaca, semakin dia merasa bahwa apa yang dialaminya adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah misteri yang sudah terkubur selama bertahun-tahun. Sebuah buku tua dengan sampul berwarna cokelat gelap menarik perhatiannya. Judulnya, "Legenda Terkubur di Bawah Bayang-Bayang," terukir dengan tinta emas yang hampir pudar. Aria membuka buku itu dengan hati-hati, dan menemukan bahwa isinya penuh dengan kisah-kisah seram yang berhubungan dengan rumah-rumah tua dan makhluk-makhluk gaib yang menghuni tempat-tempat tersebut. Saat dia membaca lebih jauh, Aria menemukan sebuah bab yang khusus membahas tentang rumah di desanya. Rumah itu, yang disebut "Rumah Jendela Tua," diceritakan sebagai tempat terkutuk yang dihuni oleh arwah-arwah penasaran. Menurut legenda, rumah itu dulunya milik seorang pria kaya bernama Willem, yang terobsesi dengan cermin-cermin antik. Willem percaya bahwa cermin-cermin tersebut memiliki kekuatan magis yang bisa membuka gerbang ke dunia lain. Dalam obsesinya, Willem mengumpulkan banyak cermin dari berbagai penjuru dunia, dan menempatkannya di seluruh sudut rumahnya. Namun, obsesinya berubah menjadi kegilaan ketika dia mulai melihat bayangan-bayangan aneh di cermin-cermin tersebut. Willem mengklaim bahwa bayangan-bayangan itu adalah roh-roh yang terperangkap di dalam cermin, dan dia berusaha untuk membebaskan mereka. Namun, upayanya untuk berkomunikasi dengan roh-roh itu justru membawa bencana. Dalam satu malam yang gelap, Willem dikatakan telah menghilang tanpa jejak, bersama dengan semua cerminnya. Sejak itu, rumah tersebut dikenal sebagai tempat yang angker, di mana orang-orang sering melaporkan melihat bayangan-bayangan aneh dan mendengar bisikan-bisikan yang tidak jelas. Aria merasa bulu kuduknya meremang saat membaca kisah itu. Dia tahu bahwa cerita itu bukan sekadar legenda—apa yang dia alami di rumah tua itu sesuai dengan deskripsi dalam buku. Bayangan yang muncul di cermin, bisikan-bisikan, dan sosok tanpa wajah yang menghantui malamnya semuanya terkait dengan rumah itu dan kegilaan Willem. Saat dia menutup buku itu, Aria merasakan dorongan yang kuat untuk kembali ke rumah tua itu. Dia tahu bahwa jawabannya ada di sana, dan meskipun ketakutan masih menghantui pikirannya, rasa ingin tahunya lebih besar. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang harus dia temukan, sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan kematian misterius orang tuanya beberapa tahun yang lalu. Malam itu, Aria memutuskan untuk kembali ke rumah tua tersebut. Dia menyiapkan sebuah senter dan membawa buku yang baru saja dibacanya, berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut di sana. Dengan hati yang berdebar-debar, Aria meninggalkan rumahnya dan berjalan menuju tempat yang sudah membawa begitu banyak kegelapan ke dalam hidupnya. Saat dia tiba di depan rumah tua itu, langit sudah mulai gelap, dan suasana mencekam semakin terasa. Rumah itu tampak lebih besar dan lebih menyeramkan dibandingkan terakhir kali dia melihatnya. Bayangan jendela-jendela tua itu tampak seperti mata yang mengintip, mengawasi setiap gerakannya. Aria berdiri sejenak di depan pintu besar yang berderit, merasakan desakan kuat untuk lari. Namun, dia menekan rasa takut itu dan membuka pintu, memasuki rumah yang kini terasa lebih hidup daripada sebelumnya. Saat dia melangkah masuk, suara berderak dari lantai kayu di bawahnya menambah kesan bahwa rumah itu sedang menyambutnya kembali. Lorong yang panjang dan gelap kembali menyapa Aria, tapi kali ini dia tidak sendiri. Bayang-bayang dari masa lalu, dari kisah Willem, seolah-olah ikut berjalan bersamanya. Aria tahu bahwa malam ini dia akan menemukan jawaban, atau mungkin sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Dengan senter di tangannya, Aria mulai menyusuri lorong itu, menuju ruangan tempat cermin-cermin Willem berada. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, seolah-olah udara di sekitar rumah itu semakin padat dengan energi gelap yang mengelilinginya. Dia tahu bahwa tidak ada jalan kembali, hanya ada satu pilihan—menghadapi apa pun yang menantinya di sana. ---**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin** Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa
**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir** Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak. Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya? Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan
**Bab 6: Pengorbanan Terakhir** Aria berdiri di depan cermin terakhir dengan napas yang tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan Willem terus menatapnya dengan pandangan yang menusuk, seolah-olah mampu melihat ke dalam jiwanya dan menelanjangi setiap ketakutan yang dia coba sembunyikan. Tawanya masih bergema di dalam gua itu, menambah suasana yang sudah mencekam. "Aria...," suara Willem terdengar lembut namun penuh ancaman, "kau tahu bahwa kau tidak bisa lari dari takdirmu. Cermin ini bukan sekadar pintu, ini adalah penjara dan kebebasan. Jika kau menghancurkannya, aku akan bebas...dan begitu juga dengan kegelapan yang mengikutiku." Aria terdiam, mencoba memproses kata-kata Willem. Dia tahu bahwa setiap pilihan yang dia ambil akan memiliki konsekuensi besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Willem, seolah-olah ada bagian dari kebenaran yang belum terungkap. Dia tidak bisa begitu saja percaya bahwa menghancurkan cermin akan memberikan kebebasan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim
**Bab 6: Pengorbanan Terakhir** Aria berdiri di depan cermin terakhir dengan napas yang tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan Willem terus menatapnya dengan pandangan yang menusuk, seolah-olah mampu melihat ke dalam jiwanya dan menelanjangi setiap ketakutan yang dia coba sembunyikan. Tawanya masih bergema di dalam gua itu, menambah suasana yang sudah mencekam. "Aria...," suara Willem terdengar lembut namun penuh ancaman, "kau tahu bahwa kau tidak bisa lari dari takdirmu. Cermin ini bukan sekadar pintu, ini adalah penjara dan kebebasan. Jika kau menghancurkannya, aku akan bebas...dan begitu juga dengan kegelapan yang mengikutiku." Aria terdiam, mencoba memproses kata-kata Willem. Dia tahu bahwa setiap pilihan yang dia ambil akan memiliki konsekuensi besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Willem, seolah-olah ada bagian dari kebenaran yang belum terungkap. Dia tidak bisa begitu saja percaya bahwa menghancurkan cermin akan memberikan kebebasan
**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir** Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak. Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya? Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan
**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin** Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa