Share

*Bab 2: Bayang-bayang Masa Lalu**

---

**Bab 2: Bayang-bayang Masa Lalu**

Aria duduk terdiam di ujung tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Angin malam yang dingin masuk melalui celah itu, tetapi tidak mampu mengusir perasaan dingin yang membekukan tulangnya. Perjalanan singkatnya ke rumah tua itu meninggalkan jejak yang mendalam di pikirannya, dan setiap kali dia menutup mata, bayangan cermin yang tersenyum itu muncul kembali, menambah beban ketakutan yang sudah berat di hatinya.

Dia mencoba untuk tidur, tapi setiap kali menutup mata, ingatan tentang ruangan berisi cermin itu menghantui pikirannya. Bayangan yang menatapnya dengan tatapan kosong, senyum dingin yang bukan miliknya, dan bisikan halus yang terdengar seperti berasal dari masa lalu—semua itu terus berputar di benaknya, membuatnya terjaga sepanjang malam.

Aria berpikir untuk menceritakan semuanya kepada temannya, Lisa, yang selalu menjadi pendengar setianya. Namun, sesuatu dalam dirinya menahan keinginan itu. Dia merasa bahwa apa pun yang dia alami malam itu tidak akan mudah dijelaskan, dan dia takut Lisa akan menganggapnya gila. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan bahwa bayangannya sendiri di cermin telah bergerak tanpa kendali? Bahwa rumah itu seolah-olah hidup dan mengundangnya masuk ke dalam kegelapan?

Saat pagi akhirnya tiba, dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela kamarnya, Aria merasakan sedikit kelegaan. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang terjadi malam itu hanyalah halusinasi akibat kelelahan dan ketakutan yang berlebihan. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar ilusi. Sesuatu yang nyata telah terbangun di dalam rumah itu, dan Aria merasa bahwa dia belum sepenuhnya lepas dari pengaruhnya.

Di sekolah, Aria berusaha untuk bersikap normal, mencoba mengalihkan pikirannya dari apa yang telah terjadi. Namun, setiap kali dia melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi atau kaca jendela, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memeriksa apakah bayangan itu akan bergerak sendiri lagi. Ketakutan itu semakin hari semakin menghantuinya, membuatnya merasa seolah-olah dia tidak bisa melarikan diri dari apa yang sudah dimulai.

Lisa, yang duduk di sebelah Aria saat makan siang, memperhatikan perubahan pada sahabatnya itu. Aria tampak lebih pendiam dan sering melamun, jauh berbeda dari biasanya. Lisa mencoba untuk mengajak Aria berbicara, tetapi jawaban yang didapatnya selalu singkat dan penuh keraguan.

"Aria, kamu kenapa? Kamu kelihatan aneh belakangan ini," tanya Lisa dengan nada khawatir. "Kamu tahu kalau kamu bisa cerita apa saja ke aku, kan?"

Aria menatap Lisa sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kok. Aku cuma lagi banyak pikiran aja."

Lisa tidak sepenuhnya percaya, tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa. Mungkin Aria hanya butuh waktu untuk membuka diri, pikirnya. Namun, di balik senyum Aria, ada sesuatu yang membuat Lisa merasa cemas. Sesuatu yang tidak terkatakan, tetapi sangat nyata.

Malam itu, Aria kembali ke rumah dengan perasaan cemas yang tidak bisa dia jelaskan. Setelah makan malam yang hampa dan percakapan singkat dengan ibunya, Aria masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Dia menyalakan lampu meja dan berbaring di tempat tidurnya, berharap bisa tidur nyenyak malam ini. Namun, pikirannya terus berputar, kembali pada rumah tua itu, dan cermin-cermin yang seolah mengurungnya dalam dunia lain.

Di tengah malam, Aria terbangun karena suara-suara aneh yang datang dari luar kamarnya. Suara gemerisik seperti angin yang menerpa daun, tetapi terdengar lebih dekat dan lebih nyata. Dengan jantung berdebar kencang, Aria bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar. Dia berdiri di ambang pintu, mendengarkan dengan seksama. Suara itu datang dari ruang tamu, dan semakin dia mendengarkan, semakin jelas suara itu terdengar seperti langkah kaki.

Aria merasa ketakutan, tetapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Dia melangkah pelan-pelan ke arah ruang tamu, mencoba untuk tidak membuat suara. Saat dia sampai di sana, dia melihat sosok samar berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman. Sosok itu tinggi, dengan bayangan yang tidak jelas, seolah-olah kabut telah mengambil bentuk manusia.

Aria menahan napas, berusaha untuk tidak panik. Dia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu hanya ilusi, bahwa sosok itu hanyalah bayangan dari pohon di luar. Namun, saat sosok itu perlahan-lahan berbalik menghadapnya, Aria menyadari bahwa dia salah. Itu bukan bayangan pohon, melainkan sesuatu yang jauh lebih menakutkan.

Sosok itu tidak memiliki wajah, hanya bayangan gelap yang tampak bergerak-gerak seperti asap. Tapi meskipun tanpa wajah, Aria bisa merasakan tatapan dingin yang tertuju padanya, tatapan yang sama seperti bayangan di cermin rumah tua itu. Sosok itu mendekat, langkah-langkahnya yang tanpa suara seolah-olah menembus lantai kayu di bawahnya.

Aria tidak bisa bergerak, seolah-olah kakinya terpaku di tempat. Dia merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya, membuat setiap saraf di tubuhnya tegang. Saat sosok itu semakin mendekat, Aria bisa mendengar bisikan-bisikan halus yang datang dari segala arah, seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap, memohon untuk dibebaskan.

Aria tahu dia harus lari, tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Dia hanya bisa menatap sosok itu yang sekarang berdiri hanya beberapa langkah di depannya. Ketakutan yang luar biasa menguasai dirinya, tetapi di saat yang sama, ada rasa penasaran yang mendalam. Siapakah sosok ini? Apa yang diinginkannya?

Saat sosok itu mengangkat tangannya, bayangan hitam melingkupi Aria, menutup semua cahaya yang ada di sekitarnya. Segalanya menjadi gelap, dan Aria merasa seolah-olah dia sedang tenggelam ke dalam kegelapan yang tak berujung.

Tiba-tiba, sosok itu menghilang, meninggalkan Aria terjatuh ke lantai dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan jantungnya berdetak kencang seolah-olah ingin keluar dari dadanya. Aria bangkit perlahan, mencoba menenangkan dirinya, tetapi perasaan takut itu tetap ada, menempel pada dirinya seperti bayangan yang tidak bisa dilepaskan.

Aria kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan keras, dan mengunci pintu itu. Dia duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, mencoba mengendalikan rasa takut yang semakin membesar. Malam itu, Aria tidak tidur, hanya duduk terjaga dengan pandangan kosong, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status