Share

**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin**

**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin**

Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan.

Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan.

Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa cerita sendiri. Namun, yang paling menakutkan adalah pantulan yang mereka hasilkan. Alih-alih memantulkan ruangan seperti biasanya, cermin-cermin itu tampak seperti jendela menuju dunia lain—dunia yang gelap dan penuh misteri.

Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi dari balik cermin-cermin itu, dan dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu atau seseorang di balik permukaan kaca yang tipis itu. Sesuatu yang menunggu kesempatan untuk keluar.

Tiba-tiba, dari sudut matanya, Aria melihat gerakan di salah satu cermin. Dia membalikkan badan dengan cepat, dan di sana, di tengah cermin besar dengan bingkai emas yang indah, dia melihat bayangannya sendiri. Namun, ada sesuatu yang tidak benar. Bayangan itu tidak sekadar memantulkan dirinya. Mata bayangan itu tampak hidup, menatap langsung ke mata Aria, seolah-olah mengundangnya untuk mendekat.

Aria tahu bahwa dia seharusnya berbalik dan meninggalkan tempat ini. Namun, rasa penasaran yang mendalam menariknya lebih dekat ke cermin itu. Dia melangkah maju, sampai akhirnya berdiri hanya beberapa inci dari permukaan cermin. Mata bayangan itu masih menatapnya, tidak berkedip, seolah-olah mencoba menyampaikan sesuatu.

Aria merasakan dorongan yang aneh untuk menyentuh cermin itu. Tangan kanannya terangkat perlahan, dan tanpa disadari, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca yang dingin. Saat kulitnya bersentuhan dengan kaca, dia merasakan getaran halus di bawah telapak tangannya, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam cermin. Sensasi itu membuat bulu kuduknya meremang, tetapi dia tidak bisa menarik tangannya. Sebaliknya, dia merasa seolah-olah cermin itu menariknya lebih dalam, membawa dia lebih dekat pada bayangan yang kini semakin jelas.

Tiba-tiba, Aria merasakan tarikan kuat dari dalam cermin, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menariknya masuk. Dia mencoba untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat. Dalam sekejap, dia merasakan tubuhnya tertarik ke dalam cermin, dan dunia di sekitarnya berubah menjadi kegelapan.

Aria merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam. Segalanya di sekitarnya menjadi kabur, dan suara-suara asing mulai terdengar di telinganya—bisikan-bisikan yang tidak jelas namun penuh dengan ketakutan. Dia mencoba untuk menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Udara terasa semakin tipis, dan Aria merasa seolah-olah dia tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung.

Ketika Aria akhirnya berhenti jatuh, dia mendapati dirinya berada di dalam ruangan yang gelap dan tidak dikenal. Dinding-dindingnya terbuat dari batu-batu tua yang lembap, dan udara di sekitarnya terasa dingin dan berat. Tidak ada pintu atau jendela, hanya sebuah cermin besar yang berdiri di tengah ruangan itu. Cermin itu sama seperti cermin yang dia sentuh sebelumnya, tetapi pantulan di dalamnya bukanlah pantulan ruangan atau dirinya sendiri.

Sebaliknya, cermin itu memantulkan sebuah ruangan lain—ruangan yang lebih besar, dengan cermin-cermin yang sama menghiasi dinding-dindingnya. Di dalam ruangan yang dipantulkan itu, Aria melihat sosok seseorang yang berdiri membelakanginya. Sosok itu tinggi dan kurus, dengan rambut panjang yang berantakan. Pakaian yang dikenakan sosok itu tampak kuno, seperti dari zaman yang sudah lama berlalu.

Aria merasa jantungnya berdetak kencang. Dia ingin berteriak, tetapi ketakutan menahannya. Sosok itu perlahan-lahan berbalik, dan saat dia melihat wajahnya, Aria merasakan darahnya membeku. Itu adalah wajah Willem—wajah yang hanya pernah dia lihat dalam ilustrasi buku yang dibacanya di perpustakaan. Wajah itu tampak pucat dan hampa, dengan mata yang dalam dan kosong, seolah-olah tidak ada kehidupan di dalamnya.

Namun, saat mata Willem bertemu dengan mata Aria, sebuah senyum mengerikan muncul di wajahnya. Senyum itu penuh dengan kebencian dan keputusasaan, seolah-olah Willem telah terperangkap dalam dunia cermin itu selama berabad-abad, dan kini dia menemukan jalan keluar.

Willem mulai melangkah mendekati cermin, dan Aria merasakan dorongan kuat untuk mundur, tetapi kakinya tidak mau bergerak. Willem semakin mendekat, dan saat dia sampai di depan cermin, dia mengulurkan tangannya ke permukaan kaca. Jari-jarinya yang kurus dan pucat menembus kaca seolah-olah itu hanyalah air, dan Aria merasakan hawa dingin yang kuat menerpa wajahnya.

Aria berusaha keras untuk bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Willem sekarang setengah keluar dari cermin, dengan senyum menyeramkan yang masih terpampang di wajahnya. Dia menatap Aria dengan mata yang penuh kebencian dan berkata dengan suara yang terdengar seperti angin berdesir, "Akhirnya, aku bebas..."

Dalam kepanikan, Aria berusaha mengumpulkan semua kekuatan yang dia miliki. Dia tahu bahwa jika Willem sepenuhnya keluar dari cermin, sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Dengan segenap tenaganya, Aria berteriak dan meraih batu besar yang berada di dekat kakinya. Tanpa berpikir dua kali, dia melemparkan batu itu ke arah cermin.

Batu itu menghantam permukaan cermin dengan keras, dan cermin itu pecah menjadi ribuan serpihan kaca yang terlempar ke segala arah. Willem menjerit dengan suara yang melengking, suaranya bergema di seluruh ruangan. Aria menutup matanya, merasakan angin kencang yang tiba-tiba menerpa tubuhnya, dan kemudian, semuanya menjadi hening.

Ketika Aria membuka matanya lagi, dia mendapati dirinya kembali di ruangan tempat dia memulai. Cermin-cermin di sekitarnya sudah hancur, dan serpihan-serpihan kaca berserakan di lantai. Willem dan sosok bayangannya lenyap, seolah-olah mereka tidak pernah ada.

Aria terjatuh ke lantai, napasnya terengah-engah. Tubuhnya gemetar hebat, dan dia merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa apa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi, tetapi kenyataan yang mengerikan. Sesuatu telah terbangun di dalam rumah ini, sesuatu yang jauh lebih gelap dan lebih kuat dari yang dia bayangkan.

Dengan sisa kekuatannya, Aria berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu. Dia tahu bahwa dia tidak bisa tinggal lebih lama lagi di rumah ini. Namun, sebelum dia meninggalkan ruangan, matanya tertuju pada sebuah objek di sudut ruangan—sebuah buku tua yang tampak familiar. Itu adalah buku yang tadi dia bawa dari perpustakaan, namun sekarang halaman-halamannya terbuka pada sebuah bab yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Bab itu berjudul "Cermin Terakhir."

Dengan tangan gemetar, Aria mengambil buku itu dan membuka halaman yang dimaksud. Di dalamnya, tertulis dengan jelas: "Satu cermin terakhir tersisa. Hanya cermin itu yang bisa menghentikan bayangan dari keluar selamanya."

Aria menatap buku itu dengan ketakutan dan kesadaran bahwa perjalanan ini belum selesai. Di dalam dirinya, dia tahu bahwa dia harus menemukan cermin terakhir itu, atau bayangan Willem akan terus menghantui dunia nyata.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status