**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin**
Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa cerita sendiri. Namun, yang paling menakutkan adalah pantulan yang mereka hasilkan. Alih-alih memantulkan ruangan seperti biasanya, cermin-cermin itu tampak seperti jendela menuju dunia lain—dunia yang gelap dan penuh misteri. Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi dari balik cermin-cermin itu, dan dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu atau seseorang di balik permukaan kaca yang tipis itu. Sesuatu yang menunggu kesempatan untuk keluar. Tiba-tiba, dari sudut matanya, Aria melihat gerakan di salah satu cermin. Dia membalikkan badan dengan cepat, dan di sana, di tengah cermin besar dengan bingkai emas yang indah, dia melihat bayangannya sendiri. Namun, ada sesuatu yang tidak benar. Bayangan itu tidak sekadar memantulkan dirinya. Mata bayangan itu tampak hidup, menatap langsung ke mata Aria, seolah-olah mengundangnya untuk mendekat. Aria tahu bahwa dia seharusnya berbalik dan meninggalkan tempat ini. Namun, rasa penasaran yang mendalam menariknya lebih dekat ke cermin itu. Dia melangkah maju, sampai akhirnya berdiri hanya beberapa inci dari permukaan cermin. Mata bayangan itu masih menatapnya, tidak berkedip, seolah-olah mencoba menyampaikan sesuatu. Aria merasakan dorongan yang aneh untuk menyentuh cermin itu. Tangan kanannya terangkat perlahan, dan tanpa disadari, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca yang dingin. Saat kulitnya bersentuhan dengan kaca, dia merasakan getaran halus di bawah telapak tangannya, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam cermin. Sensasi itu membuat bulu kuduknya meremang, tetapi dia tidak bisa menarik tangannya. Sebaliknya, dia merasa seolah-olah cermin itu menariknya lebih dalam, membawa dia lebih dekat pada bayangan yang kini semakin jelas. Tiba-tiba, Aria merasakan tarikan kuat dari dalam cermin, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menariknya masuk. Dia mencoba untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat. Dalam sekejap, dia merasakan tubuhnya tertarik ke dalam cermin, dan dunia di sekitarnya berubah menjadi kegelapan. Aria merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam. Segalanya di sekitarnya menjadi kabur, dan suara-suara asing mulai terdengar di telinganya—bisikan-bisikan yang tidak jelas namun penuh dengan ketakutan. Dia mencoba untuk menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Udara terasa semakin tipis, dan Aria merasa seolah-olah dia tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung. Ketika Aria akhirnya berhenti jatuh, dia mendapati dirinya berada di dalam ruangan yang gelap dan tidak dikenal. Dinding-dindingnya terbuat dari batu-batu tua yang lembap, dan udara di sekitarnya terasa dingin dan berat. Tidak ada pintu atau jendela, hanya sebuah cermin besar yang berdiri di tengah ruangan itu. Cermin itu sama seperti cermin yang dia sentuh sebelumnya, tetapi pantulan di dalamnya bukanlah pantulan ruangan atau dirinya sendiri. Sebaliknya, cermin itu memantulkan sebuah ruangan lain—ruangan yang lebih besar, dengan cermin-cermin yang sama menghiasi dinding-dindingnya. Di dalam ruangan yang dipantulkan itu, Aria melihat sosok seseorang yang berdiri membelakanginya. Sosok itu tinggi dan kurus, dengan rambut panjang yang berantakan. Pakaian yang dikenakan sosok itu tampak kuno, seperti dari zaman yang sudah lama berlalu. Aria merasa jantungnya berdetak kencang. Dia ingin berteriak, tetapi ketakutan menahannya. Sosok itu perlahan-lahan berbalik, dan saat dia melihat wajahnya, Aria merasakan darahnya membeku. Itu adalah wajah Willem—wajah yang hanya pernah dia lihat dalam ilustrasi buku yang dibacanya di perpustakaan. Wajah itu tampak pucat dan hampa, dengan mata yang dalam dan kosong, seolah-olah tidak ada kehidupan di dalamnya. Namun, saat mata Willem bertemu dengan mata Aria, sebuah senyum mengerikan muncul di wajahnya. Senyum itu penuh dengan kebencian dan keputusasaan, seolah-olah Willem telah terperangkap dalam dunia cermin itu selama berabad-abad, dan kini dia menemukan jalan keluar. Willem mulai melangkah mendekati cermin, dan Aria merasakan dorongan kuat untuk mundur, tetapi kakinya tidak mau bergerak. Willem semakin mendekat, dan saat dia sampai di depan cermin, dia mengulurkan tangannya ke permukaan kaca. Jari-jarinya yang kurus dan pucat menembus kaca seolah-olah itu hanyalah air, dan Aria merasakan hawa dingin yang kuat menerpa wajahnya. Aria berusaha keras untuk bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Willem sekarang setengah keluar dari cermin, dengan senyum menyeramkan yang masih terpampang di wajahnya. Dia menatap Aria dengan mata yang penuh kebencian dan berkata dengan suara yang terdengar seperti angin berdesir, "Akhirnya, aku bebas..." Dalam kepanikan, Aria berusaha mengumpulkan semua kekuatan yang dia miliki. Dia tahu bahwa jika Willem sepenuhnya keluar dari cermin, sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Dengan segenap tenaganya, Aria berteriak dan meraih batu besar yang berada di dekat kakinya. Tanpa berpikir dua kali, dia melemparkan batu itu ke arah cermin. Batu itu menghantam permukaan cermin dengan keras, dan cermin itu pecah menjadi ribuan serpihan kaca yang terlempar ke segala arah. Willem menjerit dengan suara yang melengking, suaranya bergema di seluruh ruangan. Aria menutup matanya, merasakan angin kencang yang tiba-tiba menerpa tubuhnya, dan kemudian, semuanya menjadi hening. Ketika Aria membuka matanya lagi, dia mendapati dirinya kembali di ruangan tempat dia memulai. Cermin-cermin di sekitarnya sudah hancur, dan serpihan-serpihan kaca berserakan di lantai. Willem dan sosok bayangannya lenyap, seolah-olah mereka tidak pernah ada. Aria terjatuh ke lantai, napasnya terengah-engah. Tubuhnya gemetar hebat, dan dia merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa apa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi, tetapi kenyataan yang mengerikan. Sesuatu telah terbangun di dalam rumah ini, sesuatu yang jauh lebih gelap dan lebih kuat dari yang dia bayangkan. Dengan sisa kekuatannya, Aria berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu. Dia tahu bahwa dia tidak bisa tinggal lebih lama lagi di rumah ini. Namun, sebelum dia meninggalkan ruangan, matanya tertuju pada sebuah objek di sudut ruangan—sebuah buku tua yang tampak familiar. Itu adalah buku yang tadi dia bawa dari perpustakaan, namun sekarang halaman-halamannya terbuka pada sebuah bab yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Bab itu berjudul "Cermin Terakhir." Dengan tangan gemetar, Aria mengambil buku itu dan membuka halaman yang dimaksud. Di dalamnya, tertulis dengan jelas: "Satu cermin terakhir tersisa. Hanya cermin itu yang bisa menghentikan bayangan dari keluar selamanya." Aria menatap buku itu dengan ketakutan dan kesadaran bahwa perjalanan ini belum selesai. Di dalam dirinya, dia tahu bahwa dia harus menemukan cermin terakhir itu, atau bayangan Willem akan terus menghantui dunia nyata. ---**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir** Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak. Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya? Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan
**Bab 6: Pengorbanan Terakhir** Aria berdiri di depan cermin terakhir dengan napas yang tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan Willem terus menatapnya dengan pandangan yang menusuk, seolah-olah mampu melihat ke dalam jiwanya dan menelanjangi setiap ketakutan yang dia coba sembunyikan. Tawanya masih bergema di dalam gua itu, menambah suasana yang sudah mencekam. "Aria...," suara Willem terdengar lembut namun penuh ancaman, "kau tahu bahwa kau tidak bisa lari dari takdirmu. Cermin ini bukan sekadar pintu, ini adalah penjara dan kebebasan. Jika kau menghancurkannya, aku akan bebas...dan begitu juga dengan kegelapan yang mengikutiku." Aria terdiam, mencoba memproses kata-kata Willem. Dia tahu bahwa setiap pilihan yang dia ambil akan memiliki konsekuensi besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Willem, seolah-olah ada bagian dari kebenaran yang belum terungkap. Dia tidak bisa begitu saja percaya bahwa menghancurkan cermin akan memberikan kebebasan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
**Bab 12 Cahaya di Tengah Kegelapan**Aria menatap halaman-halaman kuno itu dengan mata yang membulat karena keterkejutan. Pikiran tentang pengorbanan jiwa terasa seperti bayangan hitam yang menyelimuti harapannya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Pasti ada jalan lain, sebuah cara untuk menghentikan kegelapan ini tanpa harus kehilangan nyawa seseorang.Nenek Nyai menyadari keraguan dan ketakutan yang melintas di wajah Aria. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Aria, menyalurkan ketenangan yang dia miliki. "Jangan khawatir, Ariane. Pengorbanan adalah cara yang tercatat di sini, tapi kita tidak boleh terburu-buru memutuskan. Kita harus memahami seluruh konteksnya dan mencari alternatif sebelum membuat keputusan."Aria mengangguk, meskipun perasaan tidak nyaman masih menyelimutinya. Dia menatap lebih dalam ke halaman buku yang terbuka di hadapannya, mencoba menangkap petunjuk apa pun yang bisa membimbing mereka menuju solusi yang lebih baik. Di antara tulisan-tulisa
**Bab 11: Pertarungan Melawan Kegelapan**Malam itu, angin dingin berhembus kencang, membawa aroma lembab dan rasa takut yang menggantung di udara. Aria dan Nenek Nyai berjalan dengan cepat menuju rumah Aria, hati mereka dipenuhi ketegangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan bumi itu sendiri enggan membiarkan mereka melangkah lebih jauh. Bayangan-bayangan yang merayap di jalanan semakin nyata, membuat Aria merasa seolah-olah setiap sudut desa ini dipenuhi mata-mata tak kasat mata yang mengintai mereka.Sesampainya di depan rumahnya, Aria berhenti sejenak. Rumah itu tampak berbeda sekarang—bukan lagi sebagai tempat berlindung, melainkan seperti jebakan yang siap menelannya hidup-hidup. Nenek Nyai merasakan kegelisahan Aria, tapi dia tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Mereka harus segera melakukan ritual sebelum kekuatan gelap di balik cermin itu menjadi lebih kuat."Aria, ingatlah satu hal," kata Nenek Nyai dengan suara tegas, "Kau harus tetap fokus. Jangan biarkan ketaku
**Bab 10: Kebenaran yang Tersembunyi** Matahari telah mulai tenggelam di balik bukit ketika Aria akhirnya mencapai rumah Nenek Nyai. Suasana di desa terasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang merayap di balik ketenangan senja. Aria tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa setiap bayangan yang terlihat, setiap angin yang berdesir, membawa pesan dari kegelapan yang semakin dekat. Nenek Nyai menyambut Aria dengan wajah serius. Tanpa basa-basi, dia segera mempersilakan Aria masuk ke ruangannya yang penuh dengan buku-buku kuno, ramuan, dan benda-benda aneh lainnya. Nenek Nyai tahu ada sesuatu yang mendesak yang harus mereka bicarakan, dan tatapan mata tajamnya mengisyaratkan bahwa dia sudah menunggu kedatangan Aria. “Anakku, apa yang terjadi sejak terakhir kali kita bertemu?” tanya Nenek Nyai, suaranya lembut tapi tegas. Aria menggenggam erat batu kristal di sakunya, merasakan getaran aneh setiap kali dia mengingat peristiwa di rumahnya. Dia menceritakan semua yang terjadi—tentang suara-
**Bab 9: Suara dari Kegelapan** Aria menghabiskan sisa malamnya dengan membaca buku tua yang diberikan Nenek Nyai. Setiap kata terasa seperti petunjuk penting dalam teka-teki besar yang sedang dihadapinya. Namun, meski dia sudah memahami banyak hal, ada bagian-bagian yang masih membingungkan. Pikirannya terus melayang ke hutan tempat dia menemukan cermin, dan perasaan bahwa sesuatu yang gelap masih mengintai di sana tak bisa diabaikan. Ketika fajar mulai menyingsing, Aria tahu dia harus kembali ke rumahnya. Nenek Nyai sudah memberinya batu kristal, tapi dia tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakannya. Saat dia keluar dari rumah Nenek Nyai, udara pagi terasa dingin dan sunyi. Desa itu masih tertidur, tapi Aria merasa seolah-olah dia sedang diawasi. Setiap langkahnya membawa bayangan ketakutan, dan dia tahu bahwa ancaman yang dia rasakan bukanlah khayalan semata. Sesampainya di rumah, Aria segera masuk ke kamarnya. Di sana, dia meletakkan batu kristal itu di atas meja dekat tempa
**Bab 8: Warisan yang Terlupakan** Aria berlari dengan napas terengah-engah, meninggalkan hutan yang mencekam di belakangnya. Jalan setapak menuju desa terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil menariknya lebih dalam ke dalam ketakutan yang baru saja dia temukan. Meskipun udara dingin malam mulai menyelimuti sekitarnya, Aria merasa keringat dingin mengalir di punggungnya. Sesampainya di desa, Aria langsung menuju rumahnya. Saat dia menutup pintu di belakangnya, perasaan aman yang biasa dia rasakan di dalam rumah itu tampak hilang. Semuanya terasa berbeda sekarang, setelah apa yang baru saja dia alami di hutan. Ada sesuatu yang gelap yang mengintai, dan rumah ini, yang dulu menjadi tempat perlindungannya, tidak lagi terasa cukup kuat untuk menahannya. Aria tahu dia perlu melakukan sesuatu, tetapi langkah pertamanya adalah memahami lebih banyak tentang apa yang sedang dia hadapi. Pikiran pertamanya adalah kembali ke buku tua yang pernah dia temukan
**Bab 7: Jejak Bayangan di Desa** Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Aria dengan cermin di dalam gua. Desa tempat tinggalnya kembali tenang, seolah-olah badai gelap yang mengancam kini telah berlalu. Namun, bagi Aria, ketenangan ini terasa aneh, hampir tidak nyata. Meski semua tampak kembali normal, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, sebuah perasaan bahwa segalanya belum benar-benar berakhir. Aria berusaha menjalani hidup seperti biasa, tetapi bayangan dari peristiwa-peristiwa di gua itu terus menghantuinya. Setiap malam, dia terbangun dari mimpi buruk yang sama—cermin besar yang menghancurkan dirinya sendiri dan suara tawa Willem yang terus menggema di telinganya. Bahkan di siang hari, bayangan itu mengikuti setiap langkahnya, membuatnya merasa tidak pernah benar-benar sendirian. Namun, yang paling mengganggu Aria adalah kenyataan bahwa dia masih hidup. Dia tahu bahwa pengorbanannya seharusnya menyegel nasibnya bersama Willem di dalam cermin, tetapi entah bagaim
**Bab 6: Pengorbanan Terakhir** Aria berdiri di depan cermin terakhir dengan napas yang tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bayangan Willem terus menatapnya dengan pandangan yang menusuk, seolah-olah mampu melihat ke dalam jiwanya dan menelanjangi setiap ketakutan yang dia coba sembunyikan. Tawanya masih bergema di dalam gua itu, menambah suasana yang sudah mencekam. "Aria...," suara Willem terdengar lembut namun penuh ancaman, "kau tahu bahwa kau tidak bisa lari dari takdirmu. Cermin ini bukan sekadar pintu, ini adalah penjara dan kebebasan. Jika kau menghancurkannya, aku akan bebas...dan begitu juga dengan kegelapan yang mengikutiku." Aria terdiam, mencoba memproses kata-kata Willem. Dia tahu bahwa setiap pilihan yang dia ambil akan memiliki konsekuensi besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata Willem, seolah-olah ada bagian dari kebenaran yang belum terungkap. Dia tidak bisa begitu saja percaya bahwa menghancurkan cermin akan memberikan kebebasan
**Bab 5: Panggilan dari Cermin Terakhir** Aria berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah tua itu, napasnya masih terengah-engah dan jantungnya berdebar keras di dadanya. Kengerian yang baru saja dia alami membuat pikirannya kacau. Bayangan Willem yang nyaris keluar dari cermin itu terus membayang-bayangi pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Namun, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat—rasa tanggung jawab yang mendesak. Buku yang ditemukannya di ruangan itu terasa berat di tangannya, seolah-olah mengandung beban rahasia yang tak tertahankan. Aria tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan peringatan dalam buku tersebut. Cermin terakhir yang disebutkan dalam buku itu adalah kunci untuk menghentikan semua ini, tapi di mana dia harus mencari? Dan apa yang harus dia lakukan jika menemukannya? Ketika Aria kembali ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dia memasuki rumah dengan langkah gontai, langsung menuju kamarnya. Begitu dia masuk, dia meletakkan buku itu di atas meja dan
**Bab 4: Pantulan di Dalam Cermin** Aria berdiri di depan pintu ruang besar itu, pintu yang berat dan usang. Di baliknya, Aria tahu bahwa cermin-cermin Willem masih ada di sana, menunggu untuk mengungkapkan rahasia kelam mereka. Tangan Aria sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, tetapi dia menekan rasa takutnya dan mendorong pintu itu dengan pelan. Pintu itu berderit dengan suara nyaring, seolah-olah sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Ruangan itu gelap, dan udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tertahan di dalamnya selama bertahun-tahun. Dengan senter yang menyala, Aria melangkah masuk, menyoroti satu per satu cermin-cermin besar yang menghiasi dinding-dinding ruangan itu. Cermin-cermin itu tampak seperti mata besar yang mengawasi, memantulkan bayangan Aria yang kecil dan rapuh di tengah kegelapan. Cermin-cermin itu berbeda dari cermin biasa. Masing-masing memiliki bingkai yang rumit, terukir dengan simbol-simbol yang tidak dikenal Aria, seolah-olah setiap cermin membawa