ParliNia 2Part 3Bang Parlin masih saja pasang jurus menghindar, berusaha mengalihkan pembicaraan, bercanda lagi. Kini dia malah mau pura-pura nangis untukku."Baik, Dek, kalau tangisan yang Adek butuhkan, aku akan menangis sekarang, huhuhu," kata Bang Parlin lagi.Kesal, kuambil gelas plastik yang ada di dekatku, kulemparkan ke dinding, suaranya ternyata bisa membuat Bang Parlin berhenti pura-pura tangis"Dek, kan anak si Hermansyah satu kuliah di Australia, si Amanda ini anak yang mana lagi? Jangan-jangan dia punya istri yang lain, punya simpanan," kata Bang Parlin, kini dia coba cara lain untuk mengalihkan pembicaraan, dia ngajak ghibah."Tolong jangan alihkan pembicaraan, Bang, tolong jangan bercanda dulu, ini serius," kataku kemudian."Dek," Bang Parlin menyentuh bahuku, dia lalu memijit punggung ini."Mungkin kamu capek, Dek, makanya emosi terus, sini kuurut," kata Bang Parlin lagi.Ah, segala cara dilakukan Bang Parlin, lama-lama aku kesal juga. Aku berdiri masuk kamar dan ber
ParliNia 2Part 4Keluarga Pa Siregar berkumpul semua, kali ini sangat lengkap sampai anaknya juga ikut semua. Belum hilang keterkejutanku Rina sudah mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan yang ke-16. Kutatap Bang Parlin, aku yakin pasti dia yang punya rencana ini. "Selamat ulang tahun pernikahan, Nia, kalian pasangan idola kami, panutan kami semua," kata Kak Sofie seraya memelukku."Kalian yang terbaik, sekiranya aku presiden, sudah kuberikan kalian penghargaan keluarga sakinah," kata Bang Parta.Ah, berlebihan, Aku makin yakin ini kerjaan Bang Parlin. Dia mungkin sudah kehabisan cara, sehingga meminta bantuan saudaranya.Rumah kami jadi penuh, tidak muat lagi tidur di rumah ini, sementara rumah yang satunya lagi ditempati Hermansyah, tak mungkin numpang di sana. Saat malam tiba, kami makan bersama. Semua duduk bersila di lantai. Ucok Dan Bang Parlin duduk di tengah, melayani segala keperluan makan tamu. Tamu kami benar-benar dijamu bak tamu terhormat, sampai satu kambing dipot
ParliNia 2Part 5Malam itu Pa bersaudara berkumpul, ada Bang Parta, Bang Nyatan dan Dame. Mereka mau bicarakan tentang kami, ternyata para istri sudah cerita ke suami masing-masing."Mau nangis aku dengar berita ini, Parlin, kau yang jadi panutan kami masa jadi begini," kata Bang Parta, sementara Bang Parlin terus menunduk, sedang aku setia menyimak."Bang Parlin, jika ada masalah kami, Abang yang selalu turun tangan," kata Dame."Dia hanya bisa menyelesaikan masalah orang, tapi tak bisa menyelesaikan masalah sendiri, dia hanya bisa bahagiakan orang, tak bisa bahagiakan istri sendiri," kataku kemudian."Jujur saja aku belum bisa mengerti apa yang kalian permasalahankan," kata Bang Nyatan.Bagaimana lagi aku harus menerangkan? Bagi mereka Bang Parlin itu laki-laki yang sempurna, yang bisa mengangkat derajat keluarganya."Kami semua pernah kau bantu, Parlin, kami jadi begini karena kau," kata Bang Parta lagi. "Coba tanyakan karena siapa Bang Parlin bisa sukses?" kataku kemudian."Ka
ParliNia 2Part 6Kedua anakku seperti kompak, mereka terus buat ulah yang tidak masuk akal semenjak kubilang akan berpisah."Mak, jangan pergi lah, Mak, mamak kan kepala desa, kalau ada yang minta tanda tangan bagaimana?" kata Butet pagi itu. Saat itu aku mulai menyusun pakaian. Aku akan berangkat pagi itu. Mobil travel telah kupesan."Kamu belum ngerti, Tet, nanti kamu akan ngerti juga, soal tanda tangan, ada sekdes," kataku kemudian."Aku akan hidup tanpa Ibu, akhirnya nanti jadi anak nakal, berakhir di penjara," kata Butet."Kau ikut Mamak,""Ayah?""Kita tinggalkan,"Tapi aku sayang Ayah,""Ya, udah sama ayah saja dulu,""Mamak gak sayang aku," "Bukan begitu, Butet, seumur hidup itu terlalu lama, nanti setelah kau dewasa kau akan paham,""Tidak, aku tak akan pernah paham," kata Butet seraya masuk kamar.Anak gadisku itu menangis, entah dia sengaja menangis dengan keras aku tak tahu, akan tetapi tangisannya sampai terdengar ke luar rumah.Kutemui Ucok yang sedari tadi tidak mau b
ParliNia 2Part 6"Kami tunggu konfirmasinya, Bu, jika bisa hadir, silahkan hubungi ke nomor ini, katanya lagi dari seberang.Akhirnya aku katakan berpikir dulu, karena senin yang dia maksud berarti enam hari lagi."Kita menang keluarga teladan tingkat kabupaten," kataku setelah selesai bertelepon."Wah, alhamdulillah, akhirnya terpilih juga," kata Bang Parlin."Abang yang daftar?" tanyaku penuh selidik."Bukan daftar, Dek, mereka datang survey," kata Bang Parlin."Tentu karena didaftarkan makanya mereka datang," kataku kemudian."Ah, terserah Adek lah, curigaan terus, memangnya jika benar pun kudaftarkan apa salahnya, ada hadiahnya lo, hadiahnya nanti mau kusumbangkan ke mesjid," kata Bang Parlin."Keluarga teladan?" kataku lagi.Miris memang, dilihat dari luar kami memang terlihat Keluarga bahagia, hanya dua anak sesuai anjuran pemerintah. Akan tetapi di dalam keluarga kami ibarat api dalam sejam, ada api tersembunyi.Pembicaraan Torkis tadi sempat terhenti, padahal aku masih ingin
ParliNia 2Part 8Di sisi jalan, ada pintu kecil yang menghubungkan dengan jembatan penyeberangan, dulu saat remaja, kami sering melewati ini. Masuk jalan tol lewat sisi jembatan, berbahaya memang."Ayo, Cok, Tet," ajakku sekali lagi, tapi dua anakku itu tetap tidak mau turun dari mobil. "Ok, aku pergi sendiri," kataku akhirnya."Cok, sana jaga mamak kau, nanti diculik orang pula," perintah Bang Parlin.Ucok turun dari mobil, sedangkan Butet tetap tidak mau turun, dia justru tetap memilih bersama ayahnya. Aku dan ucok lalu menyelinap ke jembatan penyeberangan, lalu keluar ke jalan, segera kupanggil becak, kami pun jalan.Akan tetapi aku tidak tahu mau pergi ke mana, jika ke rumah kami pasti akan bertemu Bang Parlin, sementara aku masih belum mau bertemu dia. Akhirnya kutelepon Rapi."Rapet, aku mau datang ke rumah kau ini," kataku langsung saja."Apa, Niyet, gak salah dengar aku ini?" jawab Rapi."Tidak, aku mau datang, terus aku lapar, tolong masak Indomie," kataku lagi. "Assiap,
ParliNia 2Part 9Ucok masih lima belas tahun, akan tetapi dia seperti bicara layaknya pria dewasa saja. Pemikirannya memang lebih dewasa dari usianya. Akan tetapi Ucok seperti tidak paham yang terjadi denganku. Ataukah karena dia tidak tahu semuanya. Sudah bisakah anakku ini jadi teman curhat?"Cok, mamak mau cerita," kataku kemudian."Iya, Mak, keluarkan semua yang di hati mamak, aku siap jadi pendengar yang baik, aku tahu mamak butuh teman curhat," kata Ucok. Lagi-lagi aku takjub dengan anakku ini. Akhirnya aku utarakan semua."Kau tahu, Cok, pertama nikah sama ayahmu, sebelum kalian lahir, pikirannya terus ke Rara rambutnya gobel juga karena Rara, dia baik juga karena Rara, saat itu mamak masih bisa maklum, mungkin Rara memang banyak jasanya pada ayahmu." Aku menarik napas panjang, sesak rasanya untuk bercerita."Yang membuat mamak sakit hati, Ayahmu diam-diam teleponan sama Rara, pergi jenguk Rara gak bilang-bilang, bahkan mau calon dewan pun karena Rara, sampai ayahmu mau dono
ParliNia 2Part 10"Tet, mamak belum bisa pulang, baik-baik Butet ya, jangan nakal, jangan pecat ayahmu," kataku kemudian.Butet justru makin menangis, "Gak mau, pulanglah, Mak, lihat itu ayah sudah nangis lagi, kasihan ayah, Mak," kata Butet.Ah, ternyata dia hanya kasihan lihat ayahnya. "Oh, berarti Butet gak sayang mamak, ya?" Aku coba memancing."Sayanglah, Mak, justru karena sayang ayah mau kupecat jadi orang tua,""Hahaha," tawaku pecah juga, perkataan anakku ini kadang memang di luar perkiraan."Mamak pun kalau gak pulang juga kupecat jadi orang tua," kata Butet lagi, membuat tawaku terhenti."Udah, Tet, mamak mau healing dulu," kataku akhirnya."Tapi mamak sakit perut,""Sudah baikan, tunggu, dari mana kamu tahu mamak sakit perut, ayahmu bilang ya?""Mamak lucu, tapi mamak sendiri yang bilang tadi, kau buat aku sakit perut gitu," "Oh, ya,""Makanya, Mak, cepat pulang, baru dua hari mamak pergi dah linglung," kata Butet."Iya, Tet, mamak healing dulu ya,""Ya, Mak, aku sayan