PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
Suamiku JadulNamamya kuno, Parlindungan, biasa dipanggil Parlin. Tak punya akun FB, apalagi IG. Nomor kontak di HP-nya hanya lima belas, semuanya keluarga. Itulah suamiku. Kakakku menyebutnya suami jadul yang hidup di tahun delapan puluhan. "Enak juga punya suami jadul ya, orang sibuk dengan HP-nya masing-masing, dia justru cabut rumput," kata kakakku seraya menunjuk suamiku yang lagi cabut rumput. Perkataan kakakku itu justru seperti hinaan untukku. Saat itu kami seperti biasa berkumpul, semacam arisan tak resmi, kami satu keluarga selalu berkumpul setiap bulan di rumah orang tua. Ya, memang begitu, ketika semua orang sibuk dengan hp-nya, suamiku justru membersihkan halaman rumah orang tua. Kadang aku malu juga, entah apa kelebihan suamiku ini, sehingga ayah dulu ngotot menjodohkan kami."Maklumi aja, orang kampung memang keahliannya cabut rumput," kata kakak iparku seraya tertawa. Kami keluarga besar berjumlah enam orang, aku nomor tiga, akan tetapi akulah yang terakhir menikah.
Suamiku Jadul"Emang Abang mau jual sapi siapa?" tanyaku seraya menatap matanya penuh selidik. "Ya, sapi kita, Dek?""Memang Abang punya sapi?""Iya, Dek, hanya usaha sampingan."Sampingan? Wah, usaha sampingan saja sudah bisa memberangkatkan orang tua ke Mekkah. Berarti usaha pokoknya lebih lagi. Apakah suamiku juragan sapi? Ayah dulu bilang, Bang Parlindungan itu petani, waktu itu aku tak tanya lagi petani apa, yang kupikirkan saat itu aku menikah dengan pilihan orang tua, karena sudah lelah disebut perawan tua. Ditambah lagi wajah suamiku ini teduh, mirip Rano Karno jaman dahulu. Bila kulihat suami, aku selalu teringat sinetron kesukaanku waktu kecil dulu. Si Doel Anak Sekolahan. "Kenapa Abang gak pernah bilang punya sapi?""Lo, adek kan gak pernah tanya.""Hmmm, masa sama istri sembunyikan usaha.""Bukan maksud mau sembunyikan, Dek, memang gitu, gak usah pamer ya, Dek, gak usah bilang-bilang," kata suami lagi. Suami benar-benar memberikan uang dua puluh dua juta ke orang tuaku.
Suamiku JadulMotor matic Mio punyaku akhirnya kukeluarkan kami akan pergi jalan-jalan. Kartu ATM beserta pin-nya sudah ada di tangan. Aku ingin merubah penampilan suami yang kuno itu. Yang pertama kami datangi adalah salon pria. "Mau ngapain kita di sini, Dek?" tanya suamiku begitu kami sampai di salon. "Dipermak dulu Abang," kataku kemudian. 'Permak bagaimana?""Ini, Bang, potong dulu ini, kek orang dari tahun delapan puluhan aja," kataku seraya meremas rambutnya. Rambutnya memang model kuno, ya, kuno sekali, rambut seperti itu hanya pernah kulihat di TV, film jadul tahun delapan puluhan. Rambut seperti kuncir kuda, bagian belakang lebih panjang dari bagian depan. "Jangan, Dek, rambutku sudah begini sejak dua puluh tahun lalu," kata suami. Dia tak juga mau masuk ke salon pria tersebut."Biar rapi, Bang, biar gak kuno gitu," kataku lagi seraya menarik tangannya masuk salon. Akhirnya aku berhasil menyeret suami masuk salon, suami langsung duduk di kursi salon. "Rapikan pinggirny
Suamiku JadulKeesokan harinya kami ke bank, suami mau mencairkan uang lima puluh juta, katanya mau beli motor baru untukku. Tentu saja aku senang sekali. Motor Mio-ku sudah benar-benar buluk Umurnya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi aku heran, kenapa suami tak punya kenderaan? Tak inginkah dia punya motor atau mobil? Setelah uangnya kami ambil, langsung kami ke showroom motor. Suami suruh aku milih-milih, sedangkan dia hanya duduk. Sebenarnya aku ingin motor matic besar keluaran terbaru. Jika bertemu si Rapi lagi aku bisa membusungkan dada. Akan tetapi teringat perkataan suami untuk beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Akhirnya aku pilih yang standar saja yang harganya dua puluhan juta. "Ini depenya tiga jutaan, kreditnya sejutaan perbulan," kata seorang penjaga toko. "Kami mau beli kontan," jawab suami. Wanita penjaga toko itu justru melihat suami dengan pandangan aneh, mungkin dia tak menyangka suamiku bisa beli tunai. Melihat penampilan suami yang seperti t
Suamiku JadulKetika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. "Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu