Suamiku Jadul
Namamya kuno, Parlindungan, biasa dipanggil Parlin. Tak punya akun F*, apalagi I*. Nomor kontak di HP-nya hanya lima belas, semuanya keluarga. Itulah suamiku. Kakakku menyebutnya suami jadul yang hidup di tahun delapan puluhan.
"Enak juga punya suami jadul ya, orang sibuk dengan HP-nya masing-masing, dia justru cabut rumput," kata kakakku seraya menunjuk suamiku yang lagi cabut rumput. Perkataan kakakku itu justru seperti hinaan untukku.
Saat itu kami seperti biasa berkumpul, semacam arisan tak resmi, kami satu keluarga selalu berkumpul setiap bulan di rumah orang tua. Ya, memang begitu, ketika semua orang sibuk dengan hp-nya, suamiku justru membersihkan halaman rumah orang tua. Kadang aku malu juga, entah apa kelebihan suamiku ini, sehingga ayah dulu ngotot menjodohkan kami.
"Maklumi aja, orang kampung memang keahliannya cabut rumput," kata kakak iparku seraya tertawa.
Kami keluarga besar berjumlah enam orang, aku nomor tiga, akan tetapi akulah yang terakhir menikah. Ketika adik paling bungsu sudah punya anak, aku baru dapat jodoh, itupun dijodohkan ayah. Orang kampung, pengangguran pula. Aku bilang pengangguran karena memang dia tak kerja, seharian hanya di rumah. Akan tetapi dia rutin kasih uang belanja. Entah dia dapat dari mana aku tak tahu. Kami baru tiga bulan menikah. Aku bahkan belum tahu dia kerja apa?
Penampilannya juga memang kuno, masih setia dengan rambut gobel, masih setia dengan celana keeper. Di rumah seharian justru hanya pakai sarung.
"Gaul dikit napa, Bang?" kataku pada suami, ketika dia lagi sibuk membersihkan halaman. Kudatangi dia, karena tak tahan cibiran saudaraku sendiri.
"Gak percaya diri abang, Dek, cerita mereka urusan kantor terus, aku hanya tau rumput," jawab suami seraya terus mencabuti rumput.
"Udah kalau gitu aku ikut cabuti rumput," jawabku seraya duduk dan mulai kerja.
Perkenalan kami dulu sangat singkat sebelum menikah, hanya kenalan sepuluh hari baru akad nikah.
"Kau percaya pada Ayah, Nia?" begitu kata Ayah sewaktu mengenalkan kami.
"Tentu saja percaya, Ayah," jawabku.
"Menikahlah dengannya," kata Ayah lagi, seraya menunjuk pria jadul itu.
Saat itu aku hanya diberi waktu berpikir satu hari, kuterima dengan pertimbangan umur yang sudah kepala tiga, karena aku juga percaya pada Ayah, tak mungkin dia menjerumuskan putrinya sendiri. Kami menikah sepuluh hari kemudian. Aku bahkan belum pernah dibawa ke rumah mertua. Kenal mertua hanya ketika resepsi saja. Aneh kan? akan tetapi itulah hidupku.
Kami kumpul ketika makan siang, enam anak dan enam menantu semua berkumpul di meja makan. Ayah mulai bicara.
"Ayah berencana mau umroh, tapi uangnya tak ada, bersediakah kalian membantu Ayah?" tanya Ayah.
Semua kami terdiam dan saling berpandangan, belum pernah Ayah minta bantuan begini, selama ini beliaulah yang membantu kami, hampir semua anaknya diberi modal untuk usaha sendiri.
"Ayah tahu usaha lagi sepi, tapi kubantu juga satu juta," kata abangku yang tertua.
Satu juta? dia yang paling lumayan hidupnya hanya bantu satu juta, bagaimana yang lain.
"Aku juga satu juta," kata kakak yang nomor dua. Dan disambung saudara yang lain hanya bisa bantu lima ratus ribu.
Tinggal aku, kulihat suamiku yang seperti biasanya hanya diam saja.
"Batalkan saja, Ayah, hanya dapat empat juta, biaya umroh dah berapa?" kata abangku yang tertua.
"Sisanya aku yang talangi," kata suami tiba-tiba.
Semua mata mengarah ke suami, aku juga ikut melihat suamiku itu, bagaimana dia bisa bicara begitu, sedangkan rumah kami saja masih ngontrak, beli HP saja dia tak mampu?
"Bang?" kataku pada suami lebih tepatnya bertanya, ingin melihat kesungguhan.
"Iya, aku bayar semua," kata suami, nada suaranya kedengeran yakin sekali.
Ayah menutup pembicaraan dengan mengucapkan "Alhamdulillah" lalu beliau masuk kee kamarnya.
"Aku yakin Ayah prank ini," kata adik bungsuku.
"Kok kau bilang gitu?"
"Dia hanya menguji kita, aku yakin sekali, makanya si Parlin berani talangi semua, pasti ayah sudah bicara duluan dengan Parlin, Ayah kan akrab sama dia," kata abangku yang tertua.
"Beli bedakmu saja dia gak mampu, mau berangkatkan Ayah umroh lagi?" sambung kakakku yang nomor dua.
Kulirik suami, dia hanya diam seperti biasa. Ini suami macam apa, orang membicarakan dia di dekatnya sendiri dia diam.
"Andaipun benar, aku yakin itu uang ayah juga, pengangguran gitu dari mana dapat uang banyak?" sambung Adikku.
Segera kutarik tangan suami dari orang ramai, kuajak dia bicara berdua. Aku tak habis pikir, HP-nya saja masih HP Nokia jadul.
"Bang, apa benar?" tanyaku setelah kami berduaan.
"Iya, Dek, benar."
"Bang, kalau memang ada uang abang segitu, lebih baik beli motor baru, HP baru aja," kataku lagi.
"Lo, kok adek gitu? itu orang tuamu, Dek, mungkin ini keinginan terakhirnya."
"Baik, dari mana Abang ambil uang segitu?"
"Itu hanya satu sapi, Dek,"
"Satu sapi?"
"Iya, Dek, hanya seharga satu sapi."
Suamiku Jadul"Emang Abang mau jual sapi siapa?" tanyaku seraya menatap matanya penuh selidik. "Ya, sapi kita, Dek?""Memang Abang punya sapi?""Iya, Dek, hanya usaha sampingan."Sampingan? Wah, usaha sampingan saja sudah bisa memberangkatkan orang tua ke Mekkah. Berarti usaha pokoknya lebih lagi. Apakah suamiku juragan sapi? Ayah dulu bilang, Bang Parlindungan itu petani, waktu itu aku tak tanya lagi petani apa, yang kupikirkan saat itu aku menikah dengan pilihan orang tua, karena sudah lelah disebut perawan tua. Ditambah lagi wajah suamiku ini teduh, mirip Rano Karno jaman dahulu. Bila kulihat suami, aku selalu teringat sinetron kesukaanku waktu kecil dulu. Si Doel Anak Sekolahan. "Kenapa Abang gak pernah bilang punya sapi?""Lo, adek kan gak pernah tanya.""Hmmm, masa sama istri sembunyikan usaha.""Bukan maksud mau sembunyikan, Dek, memang gitu, gak usah pamer ya, Dek, gak usah bilang-bilang," kata suami lagi. Suami benar-benar memberikan uang dua puluh dua juta ke orang tuaku.
Suamiku JadulMotor matic Mio punyaku akhirnya kukeluarkan kami akan pergi jalan-jalan. Kartu ATM beserta pin-nya sudah ada di tangan. Aku ingin merubah penampilan suami yang kuno itu. Yang pertama kami datangi adalah salon pria. "Mau ngapain kita di sini, Dek?" tanya suamiku begitu kami sampai di salon. "Dipermak dulu Abang," kataku kemudian. 'Permak bagaimana?""Ini, Bang, potong dulu ini, kek orang dari tahun delapan puluhan aja," kataku seraya meremas rambutnya. Rambutnya memang model kuno, ya, kuno sekali, rambut seperti itu hanya pernah kulihat di TV, film jadul tahun delapan puluhan. Rambut seperti kuncir kuda, bagian belakang lebih panjang dari bagian depan. "Jangan, Dek, rambutku sudah begini sejak dua puluh tahun lalu," kata suami. Dia tak juga mau masuk ke salon pria tersebut."Biar rapi, Bang, biar gak kuno gitu," kataku lagi seraya menarik tangannya masuk salon. Akhirnya aku berhasil menyeret suami masuk salon, suami langsung duduk di kursi salon. "Rapikan pinggirny
Suamiku JadulKeesokan harinya kami ke bank, suami mau mencairkan uang lima puluh juta, katanya mau beli motor baru untukku. Tentu saja aku senang sekali. Motor Mio-ku sudah benar-benar buluk Umurnya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi aku heran, kenapa suami tak punya kenderaan? Tak inginkah dia punya motor atau mobil? Setelah uangnya kami ambil, langsung kami ke showroom motor. Suami suruh aku milih-milih, sedangkan dia hanya duduk. Sebenarnya aku ingin motor matic besar keluaran terbaru. Jika bertemu si Rapi lagi aku bisa membusungkan dada. Akan tetapi teringat perkataan suami untuk beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Akhirnya aku pilih yang standar saja yang harganya dua puluhan juta. "Ini depenya tiga jutaan, kreditnya sejutaan perbulan," kata seorang penjaga toko. "Kami mau beli kontan," jawab suami. Wanita penjaga toko itu justru melihat suami dengan pandangan aneh, mungkin dia tak menyangka suamiku bisa beli tunai. Melihat penampilan suami yang seperti t
Suamiku JadulKetika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. "Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu
Suamiku JadulDalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. "Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. "Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. "Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. (Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Cob
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga