Suamiku Jadul
Part 7
Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo.
"Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini.
"Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata.
Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja.
Pembawa acara mengambil alih mikrofon.
"Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut.
Semua mata memandang suami yang sudah duduk di dekatku lagi. Ah, suamiku memang jadul, selera musiknya ikut jadul. Dan ternyata banyak orang yang suka jadul ini.
Ketika mau pulang, kami berpapasan dengan abangku yang tertua, ternyata dia juga diundang. Kakak iparku langsung tertawa melihat penampilan kami.
"Kau pakai gamis tapi tel4njang," kata kakak ipar.
"Apa maksudnya tel4njang?" suamiku menjawab, tak biasanya suami bicara, biasanya dia hanya diam kalau kami bicara.
"Kau mana ngerti, Parlin, itu bahasa sarkas," jawab kakak ipar.
Suami terlihat bingung, kuajak dia segera pulang, aku tak ingin suami makin bertambah banyak pertanyaan.
"Kenapa Adek dibilang tel4njang? pakaian begini dibilang tel4njang, yang tel4njang itu dia, pakai rok panjang tapi belahannya sampai paha," gerutu Bang Parlin ketika kami di perjalanan pulang.
"Udah, Bang, udah, gak usah ditanggapi," kataku.
"Tidak bisa, Abang gak terima adek dibilang tel4njang, seperti tak mampu saja Abang beli pakaian," di luar dugaan suara suami mengeras baru kali ini suami seperti membentak.
Aku menghentikan motor, ini harus dijelaskan dari pada suami tak tenang.
"Gini, Bang, tel4njang maksudnya gak pake perhiasan, kalau orang ke pesta gak pakai perhiasan, dibilang tel4njang, itu bahasa emak-emak, gak usah ditanggapi," kataku kemudian.
"Oh, begitu," jawab suami seraya manggut-manggut.
"Iya, Bang, bahasa kami memang kasar, itu sudah dari dulu, kata orang ciri khas, tau Abang kenapa aku dipanggil Niyet? si Rapi jadi Rapet, itu singkatan dari Nia monyet, Rapi monyet," sambungku lagi.
"Bar-bar sekali kalian, kami yang setiap hari bertemu monyet gak begitu," kata suami.
Duh, lagi-lagi aku merasa tertampar.
"Udah, Bang, kita pulang ya?" tanyaku lagi.
"Nanti dulu, Dek, ambil uang dulu ke ATM."
"Ngapain, Bang, uang kita masih banyak ini," jawabku.
"Abang mau beli perhiasan, Abang gak rela Adek disebut tel4njang," kata Bang Parlin.
Reflek aku memeluk suami seraya menangis, entah kenapa aku terharu sekali.
"Kebutuhan atau keinginan ini, Bang?"
"Kebutuhan, Dek, suami macam apa aku ini membiarkan istrinya tel4njang ke pesta," kata suami lagi.
Akhirnya kami singgah di ATM, kuambil sebanyak yang bisa diambil lewat ATM tersebut. Hanya bisa diambil sepuluh juta.
"Sepuluh juta Bang," laporku kemudian.
"Cukup? ini tambahnya," kata Bang Parlin seraya memberikan uang segepok.
Akhirnya kami singgah di toko emas, aku senang sekali, untuk pertama kali dalam hidupku aku masuk toko emas, selama ini aku tak pernah beli emas.
Kami beli kalung, gelang dan anting dari emas murni, ketika uangnya kurang, kuberikan kartu ATM tersebut, ternyata bisa digesek di toko itu. Tak dapat kulukiskan betapa bahagianya aku saat itu, bukan karena emasnya, akan tetapi karena perhatian suami. Eh, aku bohong, memang karena emasnya.
Sampai di rumah, langsung kucoba emas tersebut, seraya berdiri di depan cermin melihat diri ini. Ah, aku harus berhias untuk menyenangkan suami. Suamiku memang jadul, akan tetapi seiring waktu dia akan makin berubah. Apalagi nanti orang tahu tentang suami, pelakor akan mengincarnya. Ketika asyik melihat dan memuji diri di depan cermin, tetangga datang.
"Mbak Nia, pinjam gergaji," teriak tetangga dari pintu. Aku segera mencari di kotak peralatan suami. Dan memberikan kepada tetangga itu.
"Waw, baru beli emas, ya?" kata tetangga ini. Duh, aku lupa membukanya tadi.
"Hehehe, iya, Bu," jawabku singkat.
"Cantik sekali, berapa Gram ini? pasti mahal ya," kata tetangga itu lagi.
"Hanya sedikit, Bu," jawabku seraya berharap dia cepat pergi.
Dia malah duduk dengan gergaji masih di tangannya. "Aku juga dulu punya yang begini, tapi udah dijual tuk bayar sewa rumah," katanya lagi.
"Oh, semoga cepet dapet gantinya," jawabku basa-basi.
"Kalian berapa sewanya ini?" tanyanya lagi.
Duh, tentu saja aku tak tahu, aku mau bilang ini rumah kami saja, tapi teringat perkataan suami untuk slow saja, akan tetapi berapa kubilang? nanti beda sama rumah dia?
"Kalian berapa, Bu?" tanyaku akhirnya.
"Delapan juta satu tahun."
"Oh, kamipun segitu," jawabku.
"Wah, gak adil itu, masa sama, rumah kalian kan paling pinggir, lebih besar lagi, ada halaman di samping, masa sama?" kata ibu tetangga ini.
Duh, aku salah omong lagi, "aku kurang tahu pasti, suami yang bayar hari itu," kataku kemudian. Sementara suami lagi di kamar mandi.
Aku lega, akhirnya tetangga itu pergi juga, masih sempat dia bertanya suamiku kerja apa sebelum dia pergi, aku jawab saja petani.
Segera kubuka perhiasan tersebut, kusimpan di lemari, seketika mataku tertuju kee HP jadul suami, kulihat ada dua SMS belum terbaca. Bang Parlindungan sangat jarang memakai HP tersebut, tak pernah bunyi juga.
Iseng kubuka HP jadul itu, membuka SMS yang masuk, ternyata hanya pesan dari nomor tak dikenal. Tulisannya pun bahasa daerah. Akan tetapi aku penasaran isinya, begini tulisannya.
(Si Nunung marun, dung do kehe Abang, seteres ia, mulak jolo, Bang, ligi si Nunung)
Begitu isi SMS tersebut. Wah, apa artinya? siapa si Nunung? Jangan-jangan? Pikiran buruk bergelantungan di kepala ini. Teringat perkataan suami tentang orang dari masa lalu. Jangan-jangan dia punya istri di kampung, Jangan-jangan aku istri kedua, Jangan-jangan jadul itu hanya modus?
Kufotokan isi sms tersebut, akan kutanyakan pada orang yang mengerti bahasa daerah Tapanuli Selatan.
Aku langsung teringat si Rapi, dia orang Batak, mungkin dia mengerti, kukirim dia foto tersebut seraya bertanya.
(Tolong translate ini, Rapet)
Sedetik dua detik, belum ada balasan, suami masih di kamar mandi. Lalu ...
(Artinya kira-kira begini, Si Nunung sakit, semenjak Abang pergi, dia stres, pulanglah, lihat si Nunung)
Begitu balasan si Rapi.
Duh, aku makin curiga saja.
.
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
Suamiku JadulPart 10Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. "Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. "Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. "Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. "Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. "Kok benci Abang, emang Abang salah apa?""Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju.""Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,""Lo, Abang kan gak salah?""Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,""Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. Kami pun pulang ... Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam h
Suamiku JadulPart 11Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin
Suami JadulPart 12Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh juta setengah, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah d
Suamiku JadulPart 13"Dek, rambutku hilang, Dek," kata suami lagi, dia tampak panik. Badannya masih bersabun ketika membangunkan aku."Mungkin digigit tikus, Bang," kataku sekenanya."Mana mungkin, Dek.""Mungkin si Rara sudah ikhlas, Bang," kataku lagi."Ini sudah dua puluh tahun, Dek, selalu kujaga tetap seperti ini," kata suami seraya memegang belakang kepalanya."Baik, Bang, aku ngaku aja, aku yang gunting, cemburu aku, Bang, ternyata Abang berambut seperti itu karena orang, cewek pula," kataku akhirnya."Adek kok gitu, sih, egois kamu, Dek." kata suami seraya kembali ke kamar mandi.Wah, dia marah, baru kali ini kulihat suamiku marah. Secinta itukah dia sama Rara? Kudatangi Bang Parlin ke kamar mandi, dia masih menatap wajahnya di cermin."Maafkan Adek, Bang, Abang sih buat adek cemburu saja," kataku seraya memeluknya dari belakang."Perlu dua tahun biar
Suamiku JadulPart 15Suami melirikku, aku mengerti lirikannya, ya, aku memang salah, sempat aku cerita ke Rapi soal kami mau bayarkan zakat ke satu orang. Mungkin dialah yang cerita ke kakak iparku, sehingga kakak ipar berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi ramah dan tiba-tiba bawa oleh-oleh. "Dalam agama juga dianjurkan supaya memberi ke orang terdekat dahulu," kata kakak ipar lagi. "Tapi itu zakat, Kak." Bang Parlin akhirnya bicara. "Iya, gak apa-apa, zakat pun jadi," abangku tampak semangat."Apakah Abang merasa orang yang berhak menerima zakat?" kata Bang Parlin lagi. Abang dan kakak iparku terdiam, mereka menunduk. "Karena kebetulan Kakak singgung soal agama, menurut agama kita orang yang berhak menerima zakat adalah. Fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, Gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil, itu kata Allah dalam al-quran, surat At-Taubah ayat 60. Jadi pertanyaanku adakah diantara yang delapan itu termasuk Abang, apakah Abang fakir, apakah Abang miskin, atau mualaf, ata
Suamiku JadulPart 14Ayah mertua tak menginap, langsung pulang sore harinya juga. Berbagai cara kulakukan untuk menahan, akan tetapi Ayah mertua tetap ngotot pulang, alasannya tinggal sawit, tinggal kambing peliharaan Ayah mertua.Kubelikan oleh-oleh khas Medan untuk Ayah mertua. Bika ambon dan bolu gulung. Sebelum pulang Ayah mertua berbicara lama dengan Bang Parlin, aku sedikit kesal karena mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumenengerti, ingin ikut bicara tapi tak tahu apa yang dibahas.Setelah Ayah mertua pergi, segera kukeluarkan uang dalam tas kresek itu. "Kita hitung ya, Bang," tanyaku pada Bang Parlin."Jumlahnya dua ratus lima puluh juta, itu hasil empat bulan," kata suami."Dari mana Abang tau?""Ayah yang bilang, Dek,""Banyak juga ya,""Iya, Alhamdulillah,""Kita apain ini uang, Bang?" tanyaku lagi."Ya, disimpan, Dek, keluarkan dua setengah persen untuk