Suamiku Jadul
Part 14
Ayah mertua tak menginap, langsung pulang sore harinya juga. Berbagai cara kulakukan untuk menahan, akan tetapi Ayah mertua tetap ngotot pulang, alasannya tinggal sawit, tinggal kambing peliharaan Ayah mertua.
Kubelikan oleh-oleh khas Medan untuk Ayah mertua. Bika ambon dan bolu gulung. Sebelum pulang Ayah mertua berbicara lama dengan Bang Parlin, aku sedikit kesal karena mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumenengerti, ingin ikut bicara tapi tak tahu apa yang dibahas.
Setelah Ayah mertua pergi, segera kukeluarkan uang dalam tas kresek itu. "Kita hitung ya, Bang," tanyaku pada Bang Parlin.
"Jumlahnya dua ratus lima puluh juta, itu hasil empat bulan," kata suami.
"Dari mana Abang tau?"
"Ayah yang bilang, Dek,"
"Banyak juga ya,"
"Iya, Alhamdulillah,"
"Kita apain ini uang, Bang?" tanyaku lagi.
"Ya, disimpan, Dek, keluarkan dua setengah persen untuk
Suamiku JadulPart 16Perkataan Rapi selalu terngiang di telinga ini, dia benar-benar meracuni otakku. Aku terus berpikir ke depan. "Suami itu kalau gak diambil Tuhan ya diambil pelakor" perkataannya itu terus membuat aku was-was. Aku memang harus punya harta sendiri, aku ingin punya rumah atas nama sendiri juga."Bang aku mau buka usaha, boleh?" kataku di suatu malam, saat itu kami lagi tiduran di kamar setelah selesai ..."Mau usaha apa, Dek?""Apa saja, Bang, adek capek lo di rumah terus,""Sebaiknya gak usah, Dek, usaha kita banyak, kok, ada sawit, sapi, apa mau tambah lagi? ""Tapi, aku capek, Bang, di rumah terus, gak ada kegiatan.""Sebenarnya Abang gak setuju, Dek, tapi kalau itu maunya Adek ya, silakan saja,""Gak jadi Bang, kalau Abang gak ridho.""Kalau Adek bosan di rumah terus, kita jalan-jalan, Dek,""Jalan-jalan?""Iya, Dek, terserah Adek mau ke mana, Abang ngikut aja
Suamiku JadulPart 17Tiba waktunya pesta, segera kuberitahu semua saudaraku, bahwa kami akan pesta besar sekali lagi. Pas kubilang kakak ipar langsung bilang tidak bisa."Kami tidak bisa ikut, jauh kali ke sana," Begitu kata kakak ipar."Kok langsung bilang gak bisa sih, Ma?" Abangku langsung meyela."Ya gak bisa, di jalan saja sudah dua belas jam, memang Papa bisa?""Bisa tidak bisa aku yang putuskan, Mama itu melangkahi Papa, ini adikku lo yang mau pesta," kata Abangku.Aku terkesima dengan perkataan Abang itu, apakah dia sudah sadar kalau selama ini diatur istri? Apa-apa selalu kakak ipar yang memutuskan. Baru kali ini kulihat abang protes."Aku juga sepertinya tidak bisa," kata adik laki-lakiku yang paling bungsu."Aku juga harus kerja," kata adikku satu lagi,"Aku ikut, Kak," kata Ria--adik perempuanku."Sayang sekali ya, padahal semua biaya kami yang tanggung
Suamiku JadulPart 18"Hubungi dulu Bang Parta, Dek?" perintah suami. Bang Parta adalah panggilan Bang Partaonan, yang tinggal di Kalimantan, juragan sawit juga. Segera kuambil HP jadul Bang Parlin, memeriksa nomor serta mengetik nomor tersebut di HP-ku. "Assalamu'alaikum, Bang, ini Nia, istrinya Bang Parlin," salam dan sapaku ketika hubungan tersambung. "Waalaikumsalam, apa kabar?""Baik saja, Bang, kami mau datang ke sana kalau boleh,""Kalian mau datang ke Kalimantan?" "Iya, Bang, ada nomor WA, Bang," "Ada, kakakmu ada WA-nya, mau naik apa kalian biar kami pesan tiket,""Naik pesawat lah, Bang, kami di Bandung,""Apa? Di Bandung, memang yang jajok lah si Parlin ini.""Bukan jajok, Bang, mau keliling Indonesia katanya, sekalian silaturahmi," "Ya, iya, jajok lah itu, mana dia?" "Ini, Bang," kataku seraya menyerahkan HP ke Bang Parlin. "Pakai bahasa Indonesia, Adek mau denger," bisikku pada Bang Parlin. Akan tetapi mereka tetap pakai bahasa Batak juga, sebel! Akhirnya aku
Suamiku JadulPart 19Perjalanan yang benar-benar melelahkan sekaligus mengasikkan. Pemandangan indah melewati hutan dan perkebunan sawit. Selama tiga belas jam perjalanan Bang Parlin dan Bang Parta terus berbincang-bincang. Pembicaraan mereka membosankan, kubilang membosankan karena aku tak mengerti sama sekali yang mereka ceritakan. Bahasa yang mereka pakai adalah bahasa Batak Angkola/Mandailing."Hargai kami napa? pakai bahasa persatuan," celutuk istri Bang Parta. "Iya, setuju, jangan pakai bahasa planet," sambungku. "Udahlah, kalian kaum hawa jadi pendengar saja sekali ini, sekali setahun belum tentu aku bisa berbahasa kami," kata Bang Parta. Aku akhirnya tertidur, kemudian terbangun karena guncangan yang cukup keras, kulihat keluar jalan yang sangat jelek, ternyata perjalanan ke sini lebih sulit dari pada perjalanan ke kebun Bang Parlin. Kulihat istri Bang Parta sudah tertidur lelap. Kutatap ke depan dan ke belakang tak ada kenderaan lain. Kiri kanan perkebunan kelapa sawit. T
Suamiku JadulPart 20.Bang Parlin terus saja melirik HP-ku, mungkin dia ingin melihat komentar juga. Kutunjukkan padanya komentar para temanku. Semuanya kubalas dengan keterangan status tersebut bukan aku yang buat, tapi suami. "Jadi ingin juga Abang punya Facebook," kata suami. "Jangan, Bang, jangan," jawabku kemudian. "Memang kenapa, Dek?""Facebook ini ibarat pisau dapur, Bang," "Kok pisau dapur?""Gitulah, Bang, bisa berguna untuk iris bawang tapi bisa juga nikam orang, bahkan nikam diri sendiri pun bisa.""Tumben bicaranya kek gitu, Dek," kata suami, nada suaranya kedengeran serius. "Itu hanya perumpaan, Bang.""Iya, Abang tahu itu perumpamaan, tapi kenapa? Apakah Adek gak percaya sama Abang?" suami kok malah serius menanggapinya. "Bukan gak percaya, Bang, pelakor banyak bergentayangan di Facebook," "Sama yang gak jelas saja Abang setia sampai belasan tahun, apalagi yang nyata ada di depan mata,"."Siapa yang gak jelas, Rara lagi kan, Bang?""Iya, Abang bisa setia padahal
Suamiku JadulPart 21Perjalanan dari Rokan Hilir menuju Jambi lama juga, akan tetapi lebih santai karena jalan yang cukup bagus. Tujuan kami adalah kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di sinilah Bang Nyatan berkebun sawit dan beternak sapi. Setelah lima belas jam perjalanan darat, kami akhirnya sampai juga. Perkebunan Bang Nyatan mirip punya Bang Parlin, kebun sawit dan ternak sapi. Bang Nyatan sudah punya anak tiga, istrinya orang dari kampung juga yang dibawanya ke Jambi. Di sini kami benar-benar dijamu bak raja dan ratu. Kambing Bang Nyatan disembelih, kami makan kambing guling di bawah pokok sawit. "Tak disangka kalian mau juga datang kemari," kata Bang Nyatan. "Ini yang punya ide, Bang," kataku seraya menunjuk Bang Parlin. "Iya, dia memang selalu jadi panutan, aku yang abangnya merasa seperti adik, pada dia aku banyak belajar tentang kehidupan," kata Bang Nyatan. Kami hanya dua hari di tempat itu, kembali melakukan perjalanan darat pulang ke tanah kelahiran suami. Rina dan Dame
Suamiku JadulPart 22Bisa-bisanya Bang Parlin bercanda, telepon dari Rani dia bilang dari Rara. Kalau ini siasat nya biar aku buka pintu, dia berhasil. "Apa kata si Rara, eh, si Rina?" tanya suami seraya menutup mulut menahan tawa. "Gak ada, Bang, dia bilang terima kasih untuk Abang," kataku, memang Rina menelepon hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membuat Dame bisa berubah. Semenjak aku hamil, Bang Parlin makin memanjakanku, apapun mauku dia turuti, tak dikasih kerja, kadang aku merasa dia terlalu, masa menyapu pun aku tak boleh. Uang kami seperti tak habis-habis, sudah pergi keliling tiga pulau, bukannya berkurang, malah bertambah, karena para saudara suami selalu memberikan uang, jika ongkos hanya dua juta, mereka beri empat juta, tentu saja jadi bertambah. Ditambah lagi hasil panen sawit yang kami bawa dari kampung. Aku kembali teringat perkataan Rapi, harus ada harta yang atas namaku, bukan karena tidak percaya pada suami, akan tetapi untuk jaga-jaga. "Bang,
Suamiku JadulPart 23Yang kupercaya mengurus sapi itu benar-benar hilang, tak ada jejak sama sekali. Akan tetapi ternyata Bang Parlin diam-diam mencari juga. Aku tahu karena datang Rapi beserta dua orang lelaki paruh baya. "Ini orang tua kedua pemuda itu, Niyet," kata Rapi sambil menunjuk kedua orang tersebut. "Kami akan melapor ke polisi di Mandailing sana, jadi selamanya anak bapak akan jadi buronan, sebaiknya hubungi saja, biar kita selesaikan secara kekeluargaan," kata Bang Parlin. "Betul, aku juga jadi ikut merasa bersalah, karena aku yang rekomendasikan, niatku hanya membantunya, malahan jadi begini," sambung Rapi. "Mau bagaimana lagi, Pak, mereka memang tak bisa dihubungi, entah sudah berada di mana mereka," kata salah satu bapak tersebut. "Kalau tak ada penyelesaian dari kalian, akan kusebarkan di Facebook dan Twitter," ancamku kemudian. "Baik, akan terus kami coba hubungi, tapi kami tak bisa janji," kata bapak itu lagi. "Mereka sudah dewasa, perbuatan mereka tanggung