Suamiku JadulPart 23Yang kupercaya mengurus sapi itu benar-benar hilang, tak ada jejak sama sekali. Akan tetapi ternyata Bang Parlin diam-diam mencari juga. Aku tahu karena datang Rapi beserta dua orang lelaki paruh baya. "Ini orang tua kedua pemuda itu, Niyet," kata Rapi sambil menunjuk kedua orang tersebut. "Kami akan melapor ke polisi di Mandailing sana, jadi selamanya anak bapak akan jadi buronan, sebaiknya hubungi saja, biar kita selesaikan secara kekeluargaan," kata Bang Parlin. "Betul, aku juga jadi ikut merasa bersalah, karena aku yang rekomendasikan, niatku hanya membantunya, malahan jadi begini," sambung Rapi. "Mau bagaimana lagi, Pak, mereka memang tak bisa dihubungi, entah sudah berada di mana mereka," kata salah satu bapak tersebut. "Kalau tak ada penyelesaian dari kalian, akan kusebarkan di Facebook dan Twitter," ancamku kemudian. "Baik, akan terus kami coba hubungi, tapi kami tak bisa janji," kata bapak itu lagi. "Mereka sudah dewasa, perbuatan mereka tanggung
Suamiku JadulPart 24"Abang bohong lagi?" kataku di sela tawa. "Bohong di bagian mananya, Dek?""Ngapain Abang bilang kerja nyupiri istri juragan sawit?""Memang betul, Kok, untuk saat ini pekerjaan Abang memang hanya bawa-bawa istri juragan sawit, Abang kan gak bohong,""Abang memang bohong?""Ada juga memang bohong Abang tadi,""Yang mana, Bang,""Abang bilang bawa istri juragan cantik, padahal ... ""Padahal apa, Bang?" "Padahal bukan cuma cantik, tapi cantikkk sekali,"Kami sama-sama tertawa, kuelus perut yang sudah masuk delapan bulan, sebulan lagi aku akan melahirkan. Deg-degan juga menunggu, karena kata orang hamil di atas umur tiga puluh tahun itu sangat beresiko. Saat ini umurku sudah tiga puluh tiga. Aku lalu teringat perlengkapan bayi yang belum dibeli. "Bang supir, antar dulu nyonya beli perlengkapan bayi," kataku pada suami. "Siaaap, Bos," jawab suami seraya bergaya menghormat. Suami lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan aku naik dengan cara menjulurkan tangan
Suamiku JadulPart 25Akhirnya aku melahirkan secara normal, bayi laki-laki seberat tiga koma tiga kilo gram. Ketika Bang Parlin mengazankan bayi kami, suaranya sangat merdu sekali, sampai perawat menghentikan aktivitas mendengar suara azan Bang Parlin. Para keluarga datang menjenguk, Abangku yang tertua juga datang. Sepertinya abangku ini sudah berubah, dia tak lagi bicara merendahkan, tak juga bicara meminjam. Tak menyinggung soal kekayaan Bang Parlin sama sekali. "Suamimu membuat aku kena mental, Nia," kata abangku menjawab pertanyaan di hati. "Kena mental?""Iya, Nia, soal kebutuhan, soal keinginan, soal merendah, soal menilai orang dari penampilan, ah, aku banyak belajar dari dia," kata Abangku. Keesokan harinya Ayah mertua juga datang dari kampung. Beliau datang membawa oleh-oleh ulos khas batak. Bukan ulos baru, tapi ulos yang katanya sudah berusia enam puluh dua tahun, yang beliau dapat ketika lahir. Luar biasa, kain yang sudah enam puluh dua tahun masih kelihatan baik. D
Suamiku JadulPart 26Akhirnya kuajari juga suami main HP, katanya HP android sudah masuk kebutuhan, bukan lagi keinginan. Jaman sekarang apa-apa yang ditanya nomor WA, kalau kita gak punya WA, orang jarang menghubungi. Pertama kubuat nomorku dengan nama My Darling di HP-nya, dia justru protes, dan suruh diganti sama Umak Ucok. Akan tetapi kuantisipasi juga supaya dia tak berhubungan dengan Rara, entah kenapa aku selalu cemburu cara suami bicarakan Rara. Kumasukkan nomor Rara, baru kublokir, jahatnya aku. Tiba-tiba adik bungsuku memasukkan nomor Bang Parlin ke grup WA keluarga. Akhirnya itu saja yang dibahas Bang Parlin. "Dek, lihat ini, adik iparmu mau belanja pun pakai pengumuman," kata suami ketika ada pesan dari adik iparku di grup WA, pesannya begini. (Ke pasar dulu belanja, ada yang mau nitip gak) Duh, bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bang Parlin? Ini sesuatu yang baru baginya, banyak yang akan dia temui yang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Setelah Bang Parl
Suamiku JadulPart 27Menyesal juga aku mengajari Bang Parlin main medsos, setiap hari ada-ada saja yang baru ulahnya. Ulah orang yang memanfaatkan kelemahannya. Mulai dari pengumpulan donasi, zakat, sampai pedagang online. Hari ini aku terkejut dengan kedatangan paket. "Ini rumah Parlindungan Siregar?" tanya orang yang mengantar paket. "Iya, benar, ada paket apa ya?" "Ini, Bu, COD ya, Bu, enam ratus lima puluh ribu." Segera kupanggil suami yang sedang berada di belakang rumah. "Apa ini, Bang?" tanyaku seraya membayar paket tersebut. "Buka saja, Dek, itu hadiah untuk adek," kata suami. Kucoba baca tulisan di kemasan, ternyata isinya paket skincare. Duh... "Untuk apa Abang beli yang gini, aku sudah punya, itu banyak," kataku sedikit kesal. "Lo, bukannya berterima kasih," "Kuambil HP Bang Parlin, kulihat isi percakapan dia dengan pedagang online tersebut. Aku terharu, ternyata orang itu butuh bantuan, yang ini aku yakin sekali real, bukan modus, dia menolak ketika Bang Parlin m
Suamiku JadulPart 28Selama di desa, aku benar-benar jadi beban, kini kakiku sudah terkilir, sakit dibawa jalan. Akan tetapi Bang Parlin tetap setia mengurus bayi kami. Di sini aku diperlakukan bagaikan ratu, tak boleh masak. Terakhir aku baru tahu, aku tak boleh masak karena masakanku tak pernah cocok di lidah mereka. Ayah mertua ternyata jauh lebih jadul dari Bang Parlin. Mungkin jadul ini adalah keturunan. Aku sangat terkejut melihat Ayah mertua gosok gigi pakai pasir. Saat itu kami lagi makan bersama di pinggir sungai. Pasir dan air dimasukkan ke mulut, baru digosok pakai jari telunjuk. Gigi memang putih, akan tetapi tak berbahayakah itu? Bagaimana kalau pasir tertelan? "Ini sikat gigi, Mang Boru," kataku kemudian. "Ayah gak pernah pakai sikat gigi," kata Bang Parlin. "Haaa?""Iya, ayahku orang jadul level akut, Ayah bahkan tak pernah pakai sabun jika mandi." kata Bang Parlin lagi. "Jadi pakai apa?" "Pakai batu,"Ya, Allah, di jaman serba canggih begini masih ada orang yang
Suamiku JadulPart 29Adikku benar-benar sakit keras, perutnya seperti bengkak, dia demam juga. Aku tahu karena kami akhirnya mengunjungi rumah mereka. "Dia terus ngingau panggil nama kakak makanya kakak kutelepon," lapor istrinya. "Periksa dulu lemari kalian, apa ada barang kami di situ," perintah Bang Parlin pada istri adikku. Dia segera bongkar lemarii mereka, benar saja, ada kain sarung motif ulos dia simpan di situ. Itu punya Bang Parlin. "Kembalikan semua yang kau curi biar kau sembuh," kataku seraya menggoyang tubuh adikku. Aku geram, malu, sekaligus kasihan lihat adikku ini, dia mencuri barang kami mungkin karena sakit hati karena gak dikasih modal. "Su ... dah di ... jual, ke Sambu," kata adikku dengan terbata-bata. "Siapa yang jual?""Bo ... Lok,"Bolok, aku kenal pemuda itu, dia teman sepermainan adikku, orangnya bandel."Bawa, ke rumah sakit, Mira." pesanku pada istri adikku sebelum kami pergi, tujuanku adalah rumah Bolok. Aku kenal rumahnya, bahkan kenal sama orang
Suamiku JadulPart 30Pov Parlin 1Sebagai anak yang lahir dan besar di desa, hidupku tak jauh dari lumpur, rumput dan lembu. Kebetulan desa kami adalah desa peternak lembu dan kerbau. Sejak umur sepuluh tahun aku sudah biasa menggembala ternak. Waktu itu menggembala ternak milik orang. Gajinya waktu itu seratus rupiah per sapi perhari. Sepulang sekolah langsung keluarkan sapi dari kandang, membawanya ke padang rumput yang luas di daerah kami. Kehidupan kami berubah setelah ada puskesmas di desa, dokternya dari kota, kebetulan pula bangun rumah tepat di depan rumah kami. Anak Pak dokter ini ada yang sebayaku, Rara namanya. Dia baik, sering kasih aku makanan dari kota. Selepas tamat SD, aku dimasukkan ke pesantren yang jauh dari desa, pulang hanya dua Minggu sekali. Sehingga jarang bertemu Rara. Jika pulang, kami akan bertemu, beramai-ramai nonton VCD di rumah Rara, di desa kami hanya Rara yang punya VCD. Rara suka sekali film India, apalagi yang pemerannya Sanjay Dut. Jika kami berm