Suamiku JadulPart 30Pov Parlin 1Sebagai anak yang lahir dan besar di desa, hidupku tak jauh dari lumpur, rumput dan lembu. Kebetulan desa kami adalah desa peternak lembu dan kerbau. Sejak umur sepuluh tahun aku sudah biasa menggembala ternak. Waktu itu menggembala ternak milik orang. Gajinya waktu itu seratus rupiah per sapi perhari. Sepulang sekolah langsung keluarkan sapi dari kandang, membawanya ke padang rumput yang luas di daerah kami. Kehidupan kami berubah setelah ada puskesmas di desa, dokternya dari kota, kebetulan pula bangun rumah tepat di depan rumah kami. Anak Pak dokter ini ada yang sebayaku, Rara namanya. Dia baik, sering kasih aku makanan dari kota. Selepas tamat SD, aku dimasukkan ke pesantren yang jauh dari desa, pulang hanya dua Minggu sekali. Sehingga jarang bertemu Rara. Jika pulang, kami akan bertemu, beramai-ramai nonton VCD di rumah Rara, di desa kami hanya Rara yang punya VCD. Rara suka sekali film India, apalagi yang pemerannya Sanjay Dut. Jika kami berm
Suamiku JadulPart 31Pov Parlin 2Alat komunikasi yang baru kubeli rasanya percuma, selain karena di tempatku tak dapat sinyal, nomor Rara pun aku tak tahu. Sementara itu usaha sapi dan sawit makin maju. Bang Parta yang merantau ke Kalimantan pulang kampung karena butuh modal. Penghasilan sapi satu tahun keberikan padanya dengan sistem pinjaman. Biarpun saudara harus tetap ada surat perjanjian kalau tak dia bayar selama lima tahun, harta warisan bagiannya menjadi milikku. Menyusul Bang Nyatan, dia juga butuh modal mau ternak sapi di Jambi, kuberikan juga dengan perjanjian yang sama. Adikku Dame juga akhirnya pergi merantau. Dia gigih, tak butuh modal usaha, dia lakukan seperti yang kulakukan. Sistem bapak angkat. Begitulah akhirnya kami berempat jadi petani sawit. Kesuksesan datang, dalam sepuluh tahun aku sudah punya ratusan sapi, berpenghasilan ratusan juta sebulan. Akan tetapi semua rasanya hampa, karena Rara tak kunjung pulang. Sering aku bertanya pada orang yang mungkin kenal
Suamiku JadulPart 32Selalu saja ada orang bertanya suamiku kerja apa, memang bisa dimaklumi, seharian di rumah terus, tapi uangnya selalu banyak. Dermawan lagi. Pernah suatu pagi ada pemulung masuk ke dalam pekarangan rumah kami, pemulung itu mengambil sepatu boot dan alat penyiram tanaman yang ada di halaman rumah.Saat itu masih subuh, ada tetangga memergoki dan meneriaki maling. Kontan saja kami terkejut, kami langsung keluar. Pemulung tersebut adalah seorang remaja, dia sudah ditangkap tetangga. Barang bukti sepatu boot dan alat penyiram bunga ada di dalam karung besar yang dia bawa."Kasih pelajaran dulu, pantasan barang sering hilang, ternyata dia yang ambil," kata seorang tetangga. Tetangga yang lain melemparkan botol air mineral ke anak remaja tersebut."Tunggu dulu," kata Bang Parlin seraya merangkul anak remaja tersebut, mungkin mencegah amukan warga.Bang Parlin justru mengajak pemulung itu masuk rumah, p
Suamiku JadulPart 33(Niyet, si Danu dan Ilham sudah pulang)Pesan WA dari Rapi siang itu. Danu dan Ilham adalah dua sepupunya yang melarikan sapiku. Segera kubalas chat Rapi tersebut.(Rapet, tahan dulu mereka, kami mau buat perhitungan)(Itulah, mereka mau datang ke rumahmu, katanya mau bayar utang, lelah juga mereka jadi buronan) Balas Rapi lagi.(Ya, Udah, silakan datang)Segera kuberitahu pada Bang Parlin, Bang Parlin justru seperti tidak percaya, menurutnya itu sesuatu yang tidak mungkin, karena kedua orang tersebut belum setahun pergi, menurutnya mereka pulang karena uang telah habis."Siapa tahu masih rezeki kita, Bang," kataku kemudian.Benar juga, kedua orang itu datang bersama Rapi, akan tetapi orang tua mereka tidak ikut."Maafkan kami, Kak Nia," kata Danu seraya menyalami aku dan Bang Parlin. Ilham juga menyalami kami seraya minta maaf.
Suamiku JadulPart 34"Jadi, Abang ...?" tanyaku setengah percaya."Iya, Dek, udah janji gak boleh marah ya," jawab suami seraya menaik turunkan alisnya.Aku merasa yang jadul itu kini adalah aku, kukira Bang Parlin tak akan periksa sampai contreng dua kali itu. Padahal balasan pesanku sudah kuhapus duluan. Kukira aku yang mengerjai suami, ternyata aku yang dikerjai. Rasanya nano-nano, marah, kesal, malu. Akhirnya kupilih merajuk."Abang gitu ya, berarti Abang suka WA-an sama cewek," kataku seraya berdiri dan masuk rumah.Masih kulihat tatapan heran dari Ayah mertua sebelum aku menutup pintu kamar dengan keras."Dek, kan dah janji gak boleh marah," kata suami seraya mengetuk pintu kamar. Akan tetapi aku diam saja.Pagi harinya seluruh orang sudah sibuk, ketika aku keluar dari kamar bersama si ucok, tak ada lagi orang di rumah. Rumah panggung yang besar ini tinggal aku sendiri. Tak biasanya Ba
Suamiku JadulPart 35Panen sawit telah selesai, kami bersiap untuk pulang ke Medan. Perjalanan darat yang jauh sudah tak masalah lagi bagiku. Mungkin ini yang disebut orang "alah bisa karena biasa" makin sering ikut suami ke mana-mana. Makin terbiasa.Sampai di Medan kami dapat undangan aqiqah anak temanku. Aku selalu khawatir dengan pesta, karena Bang Parlin sangat sulit makan pakai sendok. Tak mungkin makan pakai tangan di tengah pesta."Bang, sini kuajari dulu Abang pakai sendok," kataku di suatu malam. Karena hari minggunya kami harus ke pesta, aku tak ingin suamiku malu. Karena di pesta ini akan hadir semua teman satu gengku."Ah, gak usah, Dek," jawab suami."Ayolah, Bang, biar gak malu kita,""Udah, Dek, kalau malu gak usah kita makan,""Ish, Abang, ngapain ke pesta kalau gak makan?""Ya, udah, gak usah kita ke pesta,""Sebel, adek kan mau nurut sama Abang, Abang pun har
Suamiku JadulPart 36Rencana perjalanan kami sudah matang. Liburan kali ini akan lebih berkesan, kami akan ke Sumatra Barat, kampung leluhur orang tuaku Menurut cerita Ayah, kakekku dulu merantau ke Medan. Lalu menikah dengan gadis Melayu Deli. Pernah juga aku di ajak pulang kampung, waktu itu aku masih SD. Dulunya Ayah bekerja sebagai penjahit, ibu juga penjahit. Tak ada yang menurun sama kami kepandaian orang tua. "Kita harus sewa supir, Dek, gak mungkin Abang yang nyetir terus," kata suami. "Iyalah, Bang, ini perjalanan jauh, sambil melihat-lihat lokasi," kataku kemudian. "Lokasi apa, Dek?""Adek mau seperti istri Bang Parta, ada CV-nya," "Kalau seluruh Sumatra sudah susah lokasi, Dek, musti ke Papua lah sekarang kalau mau cari lahan baru." "Adek bukan mau berkebun sawit tapi mau dirikan pabrik pengolahan minyak sawit jadi minyak goreng," kataku mantap. "Bukan sedikit itu modalnya, Dek? bisa habis uang kita semua," "Adek gak minta modal ke Abang, Adek akan menjalin kerjasa
Suamiku JadulPart 37Ternyata suami Rara yang dulu kini sudah berubah. Dia sudah bisa memahami keunikan hubungan Rara dan Bang Parlin. Akan tetapi aku masih sulit untuk memahami. Banyak pertanyaan dalam benakku. Bang Parlin selalu menyebut Rara sebagai orang dari masa lalunya. Orang yang menyemangati hidupnya, aku ingat perkataan Bang Parlin "Sama yang gak jelas saja aku bisa setia, apalagi yang jelas di depan mata," apa maksud kata setia-nya?Akan tetapi aku makin bingung, ternyata Rara itu sudah ditabalkan marga Siregar. Setahuku semarga itu tak boleh pacaran. Alasan penambalan marga untuk Rara juga masuk akal. Karena Bang Parlin sekeluarga tak ada anak perempuan. Sedangkan Rara ingin jadi orang Batak."Aku sudah kebal, biar saja, hubungan mereka unik dan positif. Tak mengurangi cinta pada pasangannya," kata suami Rara, "selama ini jika cerita kampung selalu Bang Parlin yang disebut, setalah kenal Bang Parlin baru aku paham." sambung suami
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga