Suamiku Jadul
Part 35
Panen sawit telah selesai, kami bersiap untuk pulang ke Medan. Perjalanan darat yang jauh sudah tak masalah lagi bagiku. Mungkin ini yang disebut orang "alah bisa karena biasa" makin sering ikut suami ke mana-mana. Makin terbiasa.
Sampai di Medan kami dapat undangan aqiqah anak temanku. Aku selalu khawatir dengan pesta, karena Bang Parlin sangat sulit makan pakai sendok. Tak mungkin makan pakai tangan di tengah pesta.
"Bang, sini kuajari dulu Abang pakai sendok," kataku di suatu malam. Karena hari minggunya kami harus ke pesta, aku tak ingin suamiku malu. Karena di pesta ini akan hadir semua teman satu gengku.
"Ah, gak usah, Dek," jawab suami.
"Ayolah, Bang, biar gak malu kita,"
"Udah, Dek, kalau malu gak usah kita makan,"
"Ish, Abang, ngapain ke pesta kalau gak makan?"
"Ya, udah, gak usah kita ke pesta,"
"Sebel, adek kan mau nurut sama Abang, Abang pun har
Suamiku JadulPart 36Rencana perjalanan kami sudah matang. Liburan kali ini akan lebih berkesan, kami akan ke Sumatra Barat, kampung leluhur orang tuaku Menurut cerita Ayah, kakekku dulu merantau ke Medan. Lalu menikah dengan gadis Melayu Deli. Pernah juga aku di ajak pulang kampung, waktu itu aku masih SD. Dulunya Ayah bekerja sebagai penjahit, ibu juga penjahit. Tak ada yang menurun sama kami kepandaian orang tua. "Kita harus sewa supir, Dek, gak mungkin Abang yang nyetir terus," kata suami. "Iyalah, Bang, ini perjalanan jauh, sambil melihat-lihat lokasi," kataku kemudian. "Lokasi apa, Dek?""Adek mau seperti istri Bang Parta, ada CV-nya," "Kalau seluruh Sumatra sudah susah lokasi, Dek, musti ke Papua lah sekarang kalau mau cari lahan baru." "Adek bukan mau berkebun sawit tapi mau dirikan pabrik pengolahan minyak sawit jadi minyak goreng," kataku mantap. "Bukan sedikit itu modalnya, Dek? bisa habis uang kita semua," "Adek gak minta modal ke Abang, Adek akan menjalin kerjasa
Suamiku JadulPart 37Ternyata suami Rara yang dulu kini sudah berubah. Dia sudah bisa memahami keunikan hubungan Rara dan Bang Parlin. Akan tetapi aku masih sulit untuk memahami. Banyak pertanyaan dalam benakku. Bang Parlin selalu menyebut Rara sebagai orang dari masa lalunya. Orang yang menyemangati hidupnya, aku ingat perkataan Bang Parlin "Sama yang gak jelas saja aku bisa setia, apalagi yang jelas di depan mata," apa maksud kata setia-nya?Akan tetapi aku makin bingung, ternyata Rara itu sudah ditabalkan marga Siregar. Setahuku semarga itu tak boleh pacaran. Alasan penambalan marga untuk Rara juga masuk akal. Karena Bang Parlin sekeluarga tak ada anak perempuan. Sedangkan Rara ingin jadi orang Batak."Aku sudah kebal, biar saja, hubungan mereka unik dan positif. Tak mengurangi cinta pada pasangannya," kata suami Rara, "selama ini jika cerita kampung selalu Bang Parlin yang disebut, setalah kenal Bang Parlin baru aku paham." sambung suami
Suamiku jadulPart 38Perjalanan santai kami lanjut terus, kali ini kami singgah di kota Lubuk Sikaping, ibukota kabupaten Pasaman. Di kota ini kami cari tempat istirahat. Ada rumah makan yang menyediakan tempat solat dan tiduran."Uni, tempat wisata yang enak di sini di mana saja?" tanyaku pada seseorang wanita yang melayani kami makan."Oh, Bayang Aia, Air terjun Ciracai, terus ada Rimbo Panti," jawab wanita tersebut."Yang dekat mana, Uni?""Bayang Aia, hanya setengah jam dari sini, di sana enak, airnya jernih,""Oh, terima kasih, Uni," kataku kemudian. Ingin juga melihat Bayang Aia ini seperti apa."Dek, adek kenal wanita tadi?" tanya Bang Parlin, seraya bermain dengan anaknya."Gak, Bang, siapa pula yang kukenal di sini?""Kok adek tau namanya?""Mana adek tau, Bang,""Tapi adek tadi panggil Uni, namanya Uni ya?""Ya, Allah, Bang, Bang, Uni itu panggila
Suamiku JadulPart 39Musyawarah itu masih buntu, belum ada jalan keluar, masing-masing merasa punya hak untuk mengurus Ayah mereka di hari tuanya. Ada satu anak lagi, yaitu Pardamean, dia belum datang, padahal kata Rina, Dame juga sudah gelisah di sana. Sudah berencana mau ke Medan."Boleh bicara?" kataku seraya tunjuk tangan."Silakan," kata Bang Nyatan."Begini, menurutku digilir saja, dua bulan di sini, dua bulan di tempat Bang Parta, dua bulan lagi di tempat Bang Nyatan. Terus jangan lupa, masih ada yang paling bungsu, Dame," kataku kemudian."Gak bisa, Nia, Ayah sudah sakit begitu, mana mungkin dibawa perjalanan jauh lagi kami semua berjauhan, kecuali satu kota, mungkin bisa begitu," kata Bang Parta."Satu tahun di sana, satu tahun di sini," usulku lagi."Gak bisa juga, satu tahun itu waktu yang lama, bagaimana nanti Ayah tak sampai umurnya satu tahun lagi, aku tak bisa maafkan di
Part 40Hari berganti, aku mulai merasakan kejenuhan. Jenuh, karena tak ada kegiatan, seharian hanya berkutat dengan suami dan si Ucok kami. Akan tetapi suami malah enteng saja, dia seperti menikmati hidup. Pagi berkebun sayur di halaman rumah. Biarpun sayurnya lebih sering hilang. Aku merasa suamiku ini sudah berada di puncak kejayaannya. Ibarat mendaki dia sudah sampai puncak gunung tertinggi. Terbalik denganku yang masih punya ambisi banyak. Aku ingin bangun pabrik kelapa sawit. Akan tetapi suami seperti tak mendukung."Bang, rasanya jenuh juga tiap hari gini terus," kataku pada suami. Saat itu dia lagi mengayun anaknya. Salah satu kesukaannya memang mengayun anak seraya bernyanyi. Nyanyian selalu lagu jadul, saking judulnya aku tak tahu kapan lagu tersebut hit."Kalau bosan, jalan-jalan lagi," kata suami, dia menghentikan nyanyiannya sebentar lalu lanjut lagi."Kalau jalan-jalan terus sampai berapa lama uang kita tahan, Bang,"&
Suamiku JadulDeg-degan aku menunggu respon suami, chat itu sepertinya sudah terbaca. Akan tetapi dia sudah tertidur lelap. Aku tak dapat tidur. Fitnah itu sangat mengganggu pikiranku.Ini sepertinya orang dekat, sampai tahu jumlah mantanku, tapi siapa dia? Semua teman sudah keselidiki tak ada yang mengaku.Dulu, waktu remaja memang aku sering gonta-ganti pacar, tapi bukan berarti aku gak perawan lagi ketika menikah. Pacaran bagiku masih dalam hal yang wajar. Masa SMA saja aku sudah pernah dekat dengan tiga pria. Belum lagi masa kuliah, benar yang akun misterius itu, aku punya mantam sebelas orang. Tapi kan kadang hanya dua bulan, tak ada yang bertahan lama.Ketika subuh tiba, seperti biasa suami bangun dan mandi, lalu mendirikan salat subuh. Aku makin deg-degan, karena suami tak mengajakku salat. Biasanya kami salat subuh berjamaah. Apakah dia percaya dengan chat tersebut?"Dek, salat dulu," kata suami seraya menggoyang bahuku. P
Suamiku JadulPart 42Ternyata Risda, adik iparku sendiri, istri dari adikku yang nomor dua dari bawah. Sejak dia gagal pinjam uang dari suami, Risda memang tak pernah datang ke rumah lagi. Selalu nyindir di grup keluarga.Harus kuakui ketenangan suami, aku sudah kalang kabut mencari tahu, dia justru tenang, cukup temui hacker. Ah kenapa tak terpikirkan olehku seperti itu."Ini sudah fitnah, Bang, harus diberi pelajaran," kataku pada suami."Udah, Dek, biarin aja, capek dia cerita, Abang gak percaya, kok, soal mantan itu wajar, Abang juga punya mantan,""Tapi, Bang ...?" getaran kecil di HP suami menghentikan bicaraku. Ada pesan baru lagi, kulihat jam sudah menunjukkan angka dua belas.(Kasihannya dirimu, Niyet itu selingkuh) begitu isi pesan tersebut.Wah, ini sudah keterlaluan, harus diberi pelajaran. Kuketik balasan.(Aku bayar sepuluh juta bila kamu bisa buktikan Nia selingkuh)&nbs
Suamiku JadulPart 43Feeling Bang Parlindungan di bidang usaha memang selalu tepat. Tanah yang kami beli untung besar. Abangku yang memang kerja sampingan broker tanah juga dapat untung. Baru dua bulan sudah hampir habis terjual. Keuntungannya bagi dua dengan kami, kami hanya terima beres."Tinggal tiga pertapakan lagi yang belum terjual," kata abangku, saat itu dia datang ke rumah mengantar uang penjualan. Modal sudah kembali, untung juga sudah ada, tinggal tiga pertapakan kecil ukuran delapan kali sepuluh meter."Oke, Bang, lancar juga ya," kata suami."Iya, Parlin, yang tiga itu belum laku juga,""Gini aja, Bang, kita kan sudah dapat untung, yang tiga itu bagi untuk Abang dan adik kita itu aja, Bang," jawab Bang Parlindungan.Kulihat Bang Parlindungan, ingin melihat keseriusan di matanya, masa sih tiga pertapakan perumahan mau dikasihkan? Tiga saudaraku memang belum punya rumah. Abangku masih tinggal di rum
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga