Suamiku Jadul
Part 43
Feeling Bang Parlindungan di bidang usaha memang selalu tepat. Tanah yang kami beli untung besar. Abangku yang memang kerja sampingan broker tanah juga dapat untung. Baru dua bulan sudah hampir habis terjual. Keuntungannya bagi dua dengan kami, kami hanya terima beres.
"Tinggal tiga pertapakan lagi yang belum terjual," kata abangku, saat itu dia datang ke rumah mengantar uang penjualan. Modal sudah kembali, untung juga sudah ada, tinggal tiga pertapakan kecil ukuran delapan kali sepuluh meter.
"Oke, Bang, lancar juga ya," kata suami.
"Iya, Parlin, yang tiga itu belum laku juga,"
"Gini aja, Bang, kita kan sudah dapat untung, yang tiga itu bagi untuk Abang dan adik kita itu aja, Bang," jawab Bang Parlindungan.
Kulihat Bang Parlindungan, ingin melihat keseriusan di matanya, masa sih tiga pertapakan perumahan mau dikasihkan? Tiga saudaraku memang belum punya rumah. Abangku masih tinggal di rum
Suamiku JadulPart 44Ternyata sekolah yang kami dirikan sudah mulai tercoreng. Ada guru yang jatuh cinta pada pengurus sekolah. Padahal kakakku yang bertugas sebagai ketua yayasan, suaminya hanya bantu-bantu. Tak disangka ada guru yang jatuh cinta pada suami kakakku tersebut."Kak, ada masalah ya?" tanyaku pada kakak lewat sambungan telepon."Iya, Nia, sepertinya di sini kekurangan laki-laki, laki orang pun mau dia ambil," jawab kakakku, suaranya terdengar berat."Pecat saja, Kak,""Dipecat pun percuma, kalau memang dia suka lakiku mau dibilang apa,""Jadi kakak mau diduakan?""Gak lah, Nia, tunggu respon dari abangmu, semua tergantung laki-laki, kalau dia mau poligami, ya, cerai, tapi katanya dia gak tahu menahu, padahal gosipnya sudah heboh di sini," kata kakak lagi."Ohh, tapi sepertinya wanita itu tidak baik ya Kak?""Baik, dia guru yang baik, murid suka padanya, entahlah,
Suamiku JadulPart 45Kami terpaksa melakukan perjalanan lagi, Ayah mertua tak mungkin bisa sendirian, perawatnya tak mau menunggu barang satu bulan lagi pun. Entah apa masalah dia aku tidak tahu.Adikku, suaminya Risda kami ajak ikut, kebetulan dia tidak kerja, jadi bisa gantikan Bang Parlindungan nyupir. Perjalanan yang akan kami tempuh bisa dua belas jam.Dari Medan ke Tanjung Morawa, terus ke Lubuk Pakam. Di Pasar Bengkel kami singgah untuk beli oleh-oleh. Lanjut terus ke Tebing Tinggi. Kami pilih jalan lintas timur, melewati Kabupaten Asahan, Labuhan Batu Utara-, Labuhan Batu, terus Labuhan Batu Selatan. Baru memasuki kabupaten Padang Lawas Utara di sinilah tujuan kami. Sebuah desa yang terletak sekitar tujuh kilo meter dari jalan lintas.Begitu kami sampai, Perawat itu sudah menunggu, dia bahkan sudah menyusun pakaiannya. Kami salim ke Ayah mertua, beliau tampak heran dengan kedatangan kami."Ada masalah apa, De
Suamiku JadulPart 46Kembali ke Medan, kota tempat aku lahir dan dibesarkan, kota yang jadi pilihan tempat tinggal kami. Sampai di Medan, ternyata suami kasih suprise, kejutan yang tak kusangka-sangka."Siapa ini, Bang?" tanyaku pada suami. Begitu melihat seorang wanita setengah tua menunggu di depan rumah kami."Ini bahasa halusnya temanmu di sini, bahasa keren ya Asisten rumah tangga," kata Bang Parlindungan."Bahasa kasarnya pembantu," sambung wanita tersebut seraya menyalamiku."Kapan Abang cari ini?" aku masih bingung."Itulah gunanya ini, Dek, dipergunakan dengan baik, bukan untuk menggosip," kata suami seraya menunjukkan HP barunya."Kok ...?""Begini, Dek, si Ucok kan lagi lasak-lasaknya, si Dede mau datang, adek pasti kerepotan, makanya Abang ajak ibu ini," kata Bang Parlin seraya membuka pintu dan mempersilahkan masuk.Ibu tersebut masuk seraya membantu me
Suamiku JadulPart 47Tak kuberitahu pada Bang Parlin, kenapa ustaz itu tiba-tiba berubah, tak juga dia bertanya, ingin juga rasanya aku menyombongkan diri, kalau saja gini-gini, aku juga bisa jadi pahlawan.Ustaz itu sampai beberapa kali menelepon suami, ingin juga aku suami periksa isi inbox, akan tetapi tidak dia periksa juga. Si ustaz pun mungkin tidak memberi tahu karena malu."Ustaz itu padahal teman Abang, kami besar bersama, sekolah di pesantren yang sama, bedanya dia sampai tamat, abang tidak," kata suami di suatu sore. Saat itu kami lagi berjalan sore-sore sambil bawa si Ucok."Mungkin maksudnya baik, Bang, dia kira mungkin Amang Boru benar ditelantarkan," jawabku kemudian."Kok adek gitu sekarang?""Gitu kek mana, Bang?""Tumben berprasangka baik, biasanya adek yang duluan marah?"Ah, suamiku ini tak tahu saja, ustaz itu sudah habis kumarahi di inbox, karena kumarahilah makanya di
Suamiku JadulPart 48Lebaran di kampung suami sungguh memberikan kesan tersendiri. Tiap hari kami harus masak besar, lima keluarga yang harus makan. Setiap makan harus selalu makan bersama. Kadang bila ada yang belum datang akan ditunggu supaya bisa makan bersama.Adikku pulang lebih dulu, dua hari lebaran mereka sudah pulang ke Medan. Tinggal Siregar empat bersaudara bersama Ayah mertua. Selama lebaran perawat Ayah mertua juga pulang kampung. Ini kesempatan bagi Bang Parta, Bang Nyatan mengurus orang tua mereka. Aku sampai terharu melihat seorang bos besar begitu telatan mengurus orang tua."Maen, berapa lagi uang Amang Boru?" tanya Ayah mertua di suatu pagi, di empat hari lebaran. Aku memang dipercaya memegang uang Ayah mertua, menggaji perawat dan membeli obat."Masih tetap segitu, Mang Boru," jawabku. Memang uang yang disimpan Ayah mertua lewat aku tidak berkurang, karena Bang Nyatan dan Bang Parta rutin mengirim setiap bulan
Suamiku JadulPart 49Kemalangan di desa ini membuat aku benar-benar salut dan angkat jempol. Begitu Jenazah Almarhum Ayah mertua sampai di desa. Langsung diumumkan di Masjid, yang suaranya terdengar sampai ke seluruh desa. Sesaat kemudian, datang bapak-bapak muda dan beberapa pemuda. Tampa dikomando mereka sudah pergi ambil perlengkapan tenda dari rumah kepala desa.Ibu-ibu mulai berdatangan, setiap Ibu-ibu yang datang membawa beras. Beras itu dikumpulkan di goni yang diletakkan dekat pintu. Baru dua jam, sudah hampir satu goni penuh. Malam harinya pelayat terus saja berdatangan."Siapa di antara kalian yang pegang uang?" tanya seorang pria tua."Aku, Pak," kataku seraya tunjuk tangan.Pria itu tersenyum, "bukan kamu, Nak, di antara empat orang ini, siapa yang jadi bendaharanya, soalnya kami mau berikan uang STM satu desa," katanya.Oh, begitu, langsung kutunjuk Bang Nyatan, dia yang paling tua. Pria itu
Suamiku JadulPart 50Sepulang dari klinik bersalin, suami benar-benar mempersiapkan parsiduduan tersebut. Rempah-rempah khusus dibakar di atas baskom seng. Aromanya unik, yang paling terasa adalah bau sre dibakar. Entah apa saja ramuannya aku tak tahu.Suami menuntunku turun dari ranjang. Lalu berdiri ngangkang di atas bara api, dengan hanya memakai sarung. Rasanya memang hangat."Awas sarungnya terbakar, Dek," kata suami."Iya, Bang, iya," kataku.Aku masih berpegangan pada suami sambil ngangkang."Berapa lama ini, Bang?""Tiga jam, Dek,""Apaaaa, aku harus ngangkang gini tiga jam?""Hahaha, Abang bercanda, Dek, lima menit saja," kata suami.Setelah selesai marsidudu rasanya badan lebih ringan. Benar juga pengobatan tradisional ini masih manjur, jaman boleh maju, akan tetapi pengobatan seperti ini tetap dipertahankan.Biarpun kami sudah punya ART, akan teta
Suamiku JadulPart 51Makin bahagia rasanya setelah kelahiran anakku yang kedua. Pengobatan parsiduduan atau ratus itu juga sangat manjur. Badan jadi ringan."Bang, adek mau diet," kataku pada suami di suatu hari. Saat itu kami lagi makan bersama."Diet?""Iya, Bang, badan makin besar aja,""Gak kok, Dek, perasaan Abang tetap segitu kok,"Memang benar, berat badanku tak pernah naik, naik hanya lima kilogram, itupun waktu hamil tua. Akan tetapi aku merasa badan sudah terlalu besar. Ingin juga langsing seperti orang-orang."Kok gak makan, Dek?""Kan sudah kubilang, Bang, adek mau diet,""Begini sudah bagus, Dek, ngapain diet,""Iyalah, Bang, biar makin cantik, biar Abang makin senang.""Hahaha,""Ketawa, Bang?""Abang suka sapi gemuk, kalau gak gemuk, kasihan aja lihatnya,""Aku bukan sapi, Bang,""Yang bilang sapi siapa, Dek?"