PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
Suamiku JadulNamamya kuno, Parlindungan, biasa dipanggil Parlin. Tak punya akun FB, apalagi IG. Nomor kontak di HP-nya hanya lima belas, semuanya keluarga. Itulah suamiku. Kakakku menyebutnya suami jadul yang hidup di tahun delapan puluhan. "Enak juga punya suami jadul ya, orang sibuk dengan HP-nya masing-masing, dia justru cabut rumput," kata kakakku seraya menunjuk suamiku yang lagi cabut rumput. Perkataan kakakku itu justru seperti hinaan untukku. Saat itu kami seperti biasa berkumpul, semacam arisan tak resmi, kami satu keluarga selalu berkumpul setiap bulan di rumah orang tua. Ya, memang begitu, ketika semua orang sibuk dengan hp-nya, suamiku justru membersihkan halaman rumah orang tua. Kadang aku malu juga, entah apa kelebihan suamiku ini, sehingga ayah dulu ngotot menjodohkan kami."Maklumi aja, orang kampung memang keahliannya cabut rumput," kata kakak iparku seraya tertawa. Kami keluarga besar berjumlah enam orang, aku nomor tiga, akan tetapi akulah yang terakhir menikah.
Suamiku Jadul"Emang Abang mau jual sapi siapa?" tanyaku seraya menatap matanya penuh selidik. "Ya, sapi kita, Dek?""Memang Abang punya sapi?""Iya, Dek, hanya usaha sampingan."Sampingan? Wah, usaha sampingan saja sudah bisa memberangkatkan orang tua ke Mekkah. Berarti usaha pokoknya lebih lagi. Apakah suamiku juragan sapi? Ayah dulu bilang, Bang Parlindungan itu petani, waktu itu aku tak tanya lagi petani apa, yang kupikirkan saat itu aku menikah dengan pilihan orang tua, karena sudah lelah disebut perawan tua. Ditambah lagi wajah suamiku ini teduh, mirip Rano Karno jaman dahulu. Bila kulihat suami, aku selalu teringat sinetron kesukaanku waktu kecil dulu. Si Doel Anak Sekolahan. "Kenapa Abang gak pernah bilang punya sapi?""Lo, adek kan gak pernah tanya.""Hmmm, masa sama istri sembunyikan usaha.""Bukan maksud mau sembunyikan, Dek, memang gitu, gak usah pamer ya, Dek, gak usah bilang-bilang," kata suami lagi. Suami benar-benar memberikan uang dua puluh dua juta ke orang tuaku.
Suamiku JadulMotor matic Mio punyaku akhirnya kukeluarkan kami akan pergi jalan-jalan. Kartu ATM beserta pin-nya sudah ada di tangan. Aku ingin merubah penampilan suami yang kuno itu. Yang pertama kami datangi adalah salon pria. "Mau ngapain kita di sini, Dek?" tanya suamiku begitu kami sampai di salon. "Dipermak dulu Abang," kataku kemudian. 'Permak bagaimana?""Ini, Bang, potong dulu ini, kek orang dari tahun delapan puluhan aja," kataku seraya meremas rambutnya. Rambutnya memang model kuno, ya, kuno sekali, rambut seperti itu hanya pernah kulihat di TV, film jadul tahun delapan puluhan. Rambut seperti kuncir kuda, bagian belakang lebih panjang dari bagian depan. "Jangan, Dek, rambutku sudah begini sejak dua puluh tahun lalu," kata suami. Dia tak juga mau masuk ke salon pria tersebut."Biar rapi, Bang, biar gak kuno gitu," kataku lagi seraya menarik tangannya masuk salon. Akhirnya aku berhasil menyeret suami masuk salon, suami langsung duduk di kursi salon. "Rapikan pinggirny
Suamiku JadulKeesokan harinya kami ke bank, suami mau mencairkan uang lima puluh juta, katanya mau beli motor baru untukku. Tentu saja aku senang sekali. Motor Mio-ku sudah benar-benar buluk Umurnya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi aku heran, kenapa suami tak punya kenderaan? Tak inginkah dia punya motor atau mobil? Setelah uangnya kami ambil, langsung kami ke showroom motor. Suami suruh aku milih-milih, sedangkan dia hanya duduk. Sebenarnya aku ingin motor matic besar keluaran terbaru. Jika bertemu si Rapi lagi aku bisa membusungkan dada. Akan tetapi teringat perkataan suami untuk beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Akhirnya aku pilih yang standar saja yang harganya dua puluhan juta. "Ini depenya tiga jutaan, kreditnya sejutaan perbulan," kata seorang penjaga toko. "Kami mau beli kontan," jawab suami. Wanita penjaga toko itu justru melihat suami dengan pandangan aneh, mungkin dia tak menyangka suamiku bisa beli tunai. Melihat penampilan suami yang seperti t
Suamiku JadulKetika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. "Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu
Suamiku JadulDalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. "Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. "Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. "Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. (Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Cob
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y