Suamiku Jadul
Motor matic Mio punyaku akhirnya kukeluarkan kami akan pergi jalan-jalan. Kartu ATM beserta pin-nya sudah ada di tangan. Aku ingin merubah penampilan suami yang kuno itu. Yang pertama kami datangi adalah salon pria.
"Mau ngapain kita di sini, Dek?" tanya suamiku begitu kami sampai di salon.
"Dipermak dulu Abang," kataku kemudian.
'Permak bagaimana?"
"Ini, Bang, potong dulu ini, kek orang dari tahun delapan puluhan aja," kataku seraya meremas rambutnya.
Rambutnya memang model kuno, ya, kuno sekali, rambut seperti itu hanya pernah kulihat di TV, film jadul tahun delapan puluhan. Rambut seperti kuncir kuda, bagian belakang lebih panjang dari bagian depan.
"Jangan, Dek, rambutku sudah begini sejak dua puluh tahun lalu," kata suami. Dia tak juga mau masuk ke salon pria tersebut.
"Biar rapi, Bang, biar gak kuno gitu," kataku lagi seraya menarik tangannya masuk salon.
Akhirnya aku berhasil menyeret suami masuk salon, suami langsung duduk di kursi salon. "Rapikan pinggirnya saja," kata suami begitu tukang pangkas memasang baju khusus.
"Potong pendek, Bang, kek gini," kataku seraya menunjuk foto seorang aktor korea yang ada di dinding.
"Gak, rapikan pinggirnya saja," kata suami lagi. Bisa ditebak, tukang pangkas tentu saja menuruti perkataan orang yang dia pangkas, bukan perkataanku. Sebel juga.
Ketika suami dipangkas, aku keluar dari salon tersebut, ada ATM dekat situ. Iseng-iseng aku ingin memeriksa saldonya. Pin-nya sudah ada di tangan. Katanya dia pakai ATM baru tiga bulan, sebelumnya selalu uang tunai.
Kumasukkan kartu tersebut, ketik pin dan terus ke informasi saldo. Ya, Tuhan, jantungku rasanya mau copot demi melihat angka di ATM, ada banyak digit, aku hanya menghitung digitnya, sembilan digit, dimulai dari angka lima, berarti isinya lima ratus juta lebih, itu berarti setengah milyar. Tanganku seketika bergetar ketika mengambil kembali kartu tersebut.
Ketika aku keluar dari ATM, ternyata suami sudah selesai pangkas, dia tampak rapi. Kumisnya juga sudah terlihat klimis.
"Sudah diambil?" tanya suami.
'Belum, Bang, berapa diambil?" tanyaku kemudian, seraya mencoba menyembunyikan gemetarku.
"Ambil berapa perlu, Dek," jawab suami.
"ATM hanya bisa ambil lima juta, Bang,"
"Memang perlu berapa, Dek?"
"Aku perlu dua ratus juta, aku ingin beli mobil, beli motor, beli skincare mahal," gerutuku dalam hati.
"Ambil seperlunya saja, Dek, belanja sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan, kebutuhan itu ada batasnya, keinginan tidak terbatas," kata suami lagi.
Ini suami seperti bisa membaca hatiku saja, ah, akan tetapi kata-katanya justru seperti menamparku, betapa selama ini aku selalu belanja sesuai keinginan, niatnya beli sampo malah beli ini beli itu yang tidak diperlukan.
"Udah, Abang aja yang ambil," kataku akhirnya.
"Gak pande aku, Dek,"
Suami yang benar-benar kuno, ambil uang di ATM pun dia tak pandai, jadi selama ini uang di ATM untuk apa?
"Jadi kalau abang ambil uang bagaimana?" tanyaku heran.
"Ini baru tiga bulan, Dek, belum pernah diambil, Abang masukkan uang ke bank seminggu sebelum kita nikah, repot bawa-bawa uang sekoper, itu penjualan lima puluh sapi, pas hari raya kurban itu, niatnya mau modal nikah, ternyata banyak sisanya," kata suami.
Ya, Tuhan, tau begitu dulu kubilang maharku satu milyar, menyesal aku bilang dulu hanya tiga puluh juta. Ah, Ayahku pun tak bilang kalau menantunya juragan sapi. Aku masih ingat perkataan ayah dulu, "dia lelaki yang baik, ayahnya teman akrab ayah," seandainya dulu ayah bilang gini misalnya "dia juragan sapi, sapinya banyak," kan lain ceritanya.
"Kok malah bengong, Dek," kata suami seraya mengacak rambutku.
Akhirnya aku ambil hanya dua setengah juta, sudah cukup kalau hanya untuk belanja hari ini, aku dapat pelajaran berharga. Belanja sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Ah, dasar suami jadul, membuat aku makin cinta saja.
Aku bawa dia ke restoran Amerika, aku yakin suamiku pasti senang, dia pasti belum pernah makan ayam krispy. Akan tetapi apa yang terjadi, dia tak makan sama sekali, hanya minum saja, kesal juga, akhirnya bagiannya kuhabiskan semua.
"Kok gak mau makan, Bang?"
"Itu ayam tak sehat yang dipaksa cepat besar dengan obat-obatan," jawab suami.
"Ah, masa!"
"Iya, Dek, kami tak makan ayam begitu, di desa kami hanya makan ayam kampung."
Ya, Tuhan, aku lupa dia ini peternak, pasti tahu banyak soal ternak. Ke mana lagi suami kubawa untuk membuat dia terkesan?
Ketika kami berjalan menuju matic jadulku di parkiran, tiba-tiba ada klakson panjang dari motor di belakang kami. Ketika aku mau marah, kaca helm itu terbuka, ternyata si Rapi, teman lamaku.
"Hei Niyet, masih setia juga kau sama Mio bulukmu itu ya?" katanya seraya tertawa. Kami berteman memang begitu, suka memelesetkan nama, namaku sudah bagus "Nia, malah diplesetkan jadi Niyet.
" Kau itu, Rapet, masih hidup kau rupanya," jawabku kemudian.
"Siapa Rambo ini?" tanya Rapi lagi.
"Ini suamiku,"
"Kau memang teman laknak, nikah gak bilang-bilang, gak undang-undang," katanya lagi.
Suami menyalami Rapi seraya memperkenalkan diri, dia lalu pergi menuju parkiran motor.
"Kau dapat di mana itu Rambo, di Zimbabwe ya?" tanya Rapi.
"Ah, udahlah, aku duluan ya," kataku seraya menyusul suami.
"Ambil uangnya lagi, Dek, beli motor yang gitu," kata suami ketika kami di parkiran, dia tunjuk motor N max, yang ada di di parkiran tersebut.
'Tapi, kebutuhan cuma tranportasi, Bang,"
"Abang merasa terhina si Rapet itu hina motormu, dia bilang motor buluk," kata suami.
Hatiku berbunga-bunga, suamiku keren, dia bisa terima bila dirinya dihina, akan tetapi tak terima bila istrinya yang dihina.
Suamiku JadulKeesokan harinya kami ke bank, suami mau mencairkan uang lima puluh juta, katanya mau beli motor baru untukku. Tentu saja aku senang sekali. Motor Mio-ku sudah benar-benar buluk Umurnya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi aku heran, kenapa suami tak punya kenderaan? Tak inginkah dia punya motor atau mobil? Setelah uangnya kami ambil, langsung kami ke showroom motor. Suami suruh aku milih-milih, sedangkan dia hanya duduk. Sebenarnya aku ingin motor matic besar keluaran terbaru. Jika bertemu si Rapi lagi aku bisa membusungkan dada. Akan tetapi teringat perkataan suami untuk beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Akhirnya aku pilih yang standar saja yang harganya dua puluhan juta. "Ini depenya tiga jutaan, kreditnya sejutaan perbulan," kata seorang penjaga toko. "Kami mau beli kontan," jawab suami. Wanita penjaga toko itu justru melihat suami dengan pandangan aneh, mungkin dia tak menyangka suamiku bisa beli tunai. Melihat penampilan suami yang seperti t
Suamiku JadulKetika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. "Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu
Suamiku JadulDalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. "Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. "Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. "Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. (Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Cob
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
Suamiku JadulPart 10Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. "Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. "Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. "Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. "Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. "Kok benci Abang, emang Abang salah apa?""Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju.""Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,""Lo, Abang kan gak salah?""Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,""Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. Kami pun pulang ... Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam h
Suamiku JadulPart 11Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin