Suamiku Jadul
Ketika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh.
"Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah.
Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula.
Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka semua sudah punya anak, tinggal aku yang belum.
"Bang, aku pengen pulang ke kampung Abang," kataku di suatu sore. Saat itu suami sedang membuat bangku dari kayu. Memang begitu suamiku ini, ada saja yang dia kerjakan. Buat kandang ayam, buat kursi, buat meja, bahkan dia buat lemari untuk kami.
"Gak ada enaknya di kampung, Dek, Adek gak akan tahan, rumah terdekat jauhnya seratus meter, lembu banyak berkeliaran, bukan lembu yang dikandangkan lagi, tapi rumah yang dikandang, sementara lembu berkeliaran bebas." kata suami.
Aku justru makin penasaran dengan kampungnya, seperti apa kira-kira peternakan lembu dua ratus ekor?
"Abang punya kebun sawit ya?" tanyaku lagi.
"Sedikit, Dek."
"Ayah bilang luas?"
"Gini, Dek, Abang berikan gambaran tentang kampung Abang ya. Ada kebun sawit sepuluh hektar, sekeliling kebun ini dikandang, baru dilepas lembu di bawah sawit itu, di dalam kebun, ada rumah karyawan enam, sama rumah kita jadi tujuh, bisa bayangkan, Dek, seluas sepuluh hektar hanya ada tujuh keluarga. Jarak dari jalan besar ke kebun kita ada empat puluh kilometer, jalan belum bagus, kalau adek ke sana belum sampai udah pingsan duluan, hahaha," kata suami.
Baru kali ini suami tertawa lepas begitu, dia orang yang jarang tertawa betul kata kakakku bagi orang yang belum kenal dia orang akan mengira suamiku yang aneh-aneh.
"Aku tetap pengen, Bang," kataku lagi.
"Ya, udah, nanti kita ke sana, sekarang kita masih bulan madu," kata suami seraya melirikku nakal.
"Dah tiga bulan, masih bulan madu?" kataku sambil mencubit pinggangnya pelan.
"Iya, Dek, sebenarnya Abang ingin selamanya bulan madu, sudah lelah Abang yang kerja itu dua puluh tahun sudah, Abang ingin menikmati hidup dulu, ingin melihat dunia yang luas ini," kata suami.
"Emang bisa, Bang, selamanya bulan madu, gak diurus rupanya kebun dan sapi itu?"
"Orang yang urus, Dek, kita hanya terima hasil setahun sekali, panen lembu hanya Idul adha saja."
"Sawit?"
"Oh, itu Ayah yang urus, biar sudah tua Ayah masih sanggup urus."
"Bagaimana penghasilan sapi ini, Bang?" entah kenapa aku ingin tahu banyak.
"Begini, Dek, sapinya dibesarkan di lahan kita, pekerja dapat setengah, kita setengah, satu keluarga paling bisa urus sapi empat puluh, maksimal itu, bila sapinya beranak, bagi dua."
"Penghasilannya berapa setahun?"
"Tergantung, Dek, satu sapi betina beranak satu kali dalam satu tahun, kita memakai dua sistem, penggemukan dan pembibitan. Bila penggemukan, sapi bakalan dibeli dan dibesarkan di lahan sawit itu, setelah satu tahun baru dijual, keuntungan dari satu sapi penggemukan kira-kira sepuluh juta satu tahun, tergantung sapinya, bagi dua sama pekerja, jadi kita dapat lima juta, selama ini Abang yang kerjakan sendiri, sekarang abang sudah lelah, ingin menikmati hidup, capek kawinkan sapi terus, diri sendiri tidak kawin."
Aku mulai menghitung keuntungan, satu sapi lima juta, kali dua ratus sapi, dua ratus juta setahun, bagi dua belas bulan kira-kira lima belas juta sebulan. Itu baru dari penggemukan, ada lagi katanya pembibitan Wah, hebat suamiku, dia bergaji lima belas juta hanya duduk ongkang kaki di rumah.
"Kenapa Abang lama kawin?" tanyaku lagi.
Aneh memang kami bila dipikir-pikir, setelah tiga bulan menikah baru mulai ada komunikasi, mungkin ini yang dikatakan orang pacaran setelah menikah, saling mengenal pribadi pasangan setelah menikah.
"Gak ada yang mau, Dek, gak ada cewek yang mau sama tukang sapi, keahlianku hanya mengawinkan sapi, hingga lupa diri sendiri, udahlah, Dek, gak usah bahas itu, pokoknya kita bahagia, gak perlu kerja."
Pembicaraan kami terhenti karena ada tamu datang, ternyata si Rapi yang datang.
"Gimana sih kau, Niyet, ditelepon gak diangkat, di-W* gak dibaca, kirain kau sudah pindah ke kutub utara?" kata Rapi begitu dia buka helm.
Aku baru ingat, HP-ku kuletak di kamar, entah kenapa aku jadi terikut suami tak pegang HP.
"Emang ngapain kau cari aku, Rapet?"
"Ini nih, ngantar undangan, aku gak kayak kau, kawin gak undang teman," kata Rapi seraya memberikan undangan.
"Wah, laku juganya kau, ya, Rapet,"
"Ya, iyalah, datang kau ya, sekalian kita reuni, ajak si Rambo ini," kata Rapi sebelum dia akhirnya pergi.
Wah, reuni? Apa nanti kata teman satu gengku bila melihat suamiku yang jadul ini?
Rumah tanggaku jadi aneh, setidaknya begitu kata orang, kami lakukan semuanya bersama, belanja bersama, makan bersama-sama, bahkan mandi dan nyuci pun kami selalu bersama. Bersama suami aku mulai bisa mengurangi ketergantungan gatget, jadulnya seperti menular padaku. Kegiatan suami hanya mengurus ayam jago tiga ekor.
"Pagi, Mas, gak pergi kerja?" kudengar tetangga sebelah menyapa suamiku. Saat itu aku lagi nonton TV, sedangkan suami di luar menyapu halaman.
"Pagi juga, Mbak," jawab suami.
"Gak kerja, Mas?" tanyanya lagi.
"Ini lagi kerja," jawab suami.
"Eh, Mbak Nia, maaf ya, bukannya mau kepo, tapi cuma heran memang suaminya gak kerja?" tanyanya lagi, ketika aku keluar. Eh, ini tetangga katanya gak kepo, tapi kepo juga.
Aku tak tahu harus jawab apa, mungkin mereka sudah heran, suamiku selalu di rumah tiap hari. Gak pernah pergi ke mana-mana, kalau pergi kami selalu berdua.
"Lagi nganggur," jawabku akhirnya.
"Oh, kasihan sekali ya, nanti kutanya suami mana tau ada lowongan," kata tetangga ini.
Tetangga mulai banyak bertanya, penampilan suami yang seperti tukang kebun ditambah lagi rambut gobelnya membuat para tetangga menggunjing. Sering sampai terdengar telinga Ini mereka membicarakan suamiku.
"Bang, kita tak bisa begini terus berhentilah pura-pura miskin," kataku pada suami.
"Abang gak pernah pura-pura, Dek, memang begini adanya. Orang saja yang menganggap miskin."
"Kita pergi aja tiap hari, Bang, biar dikira tetangga pergi kerja,"
"Itu baru pura-pura, Dek,"
Ah, susah memang ngomong sama suamiku ini, dia bisa saja tenang jadi pembicaraan orang, dia tak peduli orang berkata apa. Pernah tetangga nyindir suami.
"Jadi laki gak tanggung jawab, kerjanya cuma ngurus ayam,"
Suamiku hanya membalasnya dengan senyuman. Ingin rasanya kubungkam mulut tetangga ini, tapi suami selalu melarang.
"Biar saja dianggap orang miskin, Dek, daripada dianggap kaya," begitu selalu kata suami.
Padahal di luaran sana banyak orang berlomba-lomba supaya dianggap kaya, nyicil mobil, nyicil motor, HP canggih.
Suatu hari aku panas melihat pesan kakak ipar di grup W* keluarga. Dia tulis begini;
(Hasil dari jaga lilin tak akan berkah, lihat saja rumah saja ngontrak, dikasih rumah kredit gak mau)
Aku tahu pesan itu ditujukan untukku.
(Bukan jaga lilin, tapi miara bocil, botak cilik)
Sambung istri dari adikku.
Aku makin panas, aku berteriak memanggil suami.
"Banggg ...!"
"Apa sih, Dek?"
. "Aku lelah selalu dihina, saudara sendiri pun menghina, aku mau tunjukkan pada mereka suamiku punya rumah, rumah itu hanya sepuluh sapi," kataku pada suami."Duh, ada apa, sih, Dek, yang hina siapa, kapan, perasaan kita gak ke mana-mana hari ini,"
"Di WAG keluarga, Bang," kataku.
"WAG itu apa?"
Duh, aku lupa suamiku berasal dari tahun delapan puluhan.
Ini, Bang, ini," kataku seraya menunjukkan HP-ku.
"Wah, menggosip pun bisa lewat HP ya," kata suami.
"Suami gak peka, gak ngerti perasaan istri," kataku seraya membalikkan badan.
"Aku juga manusia, Bang, sedikit pamer itu sudah kodrat manusia, ini tahun dua ribuan, bukan delapan puluhan," omelku lagi.
Saudara yang menghinaku, suami yang kumarahi.
"Udah, Dek, kita beli rumah dan mobil, telepon Bank, kita cairkan uang kita, bila kurang kita jual sapi," kata suami.
Ternyata ini kelemahan suami, dia tak terima bila istrinya yang dihina. Ah, aku makin cinta pada lelaki jadul ini.
Suamiku JadulDalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. "Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. "Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. "Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. (Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Cob
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
Suamiku JadulPart 10Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. "Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. "Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. "Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. "Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. "Kok benci Abang, emang Abang salah apa?""Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju.""Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,""Lo, Abang kan gak salah?""Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,""Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. Kami pun pulang ... Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam h
Suamiku JadulPart 11Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin
Suami JadulPart 12Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh juta setengah, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah d
Suamiku JadulPart 13"Dek, rambutku hilang, Dek," kata suami lagi, dia tampak panik. Badannya masih bersabun ketika membangunkan aku."Mungkin digigit tikus, Bang," kataku sekenanya."Mana mungkin, Dek.""Mungkin si Rara sudah ikhlas, Bang," kataku lagi."Ini sudah dua puluh tahun, Dek, selalu kujaga tetap seperti ini," kata suami seraya memegang belakang kepalanya."Baik, Bang, aku ngaku aja, aku yang gunting, cemburu aku, Bang, ternyata Abang berambut seperti itu karena orang, cewek pula," kataku akhirnya."Adek kok gitu, sih, egois kamu, Dek." kata suami seraya kembali ke kamar mandi.Wah, dia marah, baru kali ini kulihat suamiku marah. Secinta itukah dia sama Rara? Kudatangi Bang Parlin ke kamar mandi, dia masih menatap wajahnya di cermin."Maafkan Adek, Bang, Abang sih buat adek cemburu saja," kataku seraya memeluknya dari belakang."Perlu dua tahun biar