PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
Suamiku JadulNamamya kuno, Parlindungan, biasa dipanggil Parlin. Tak punya akun FB, apalagi IG. Nomor kontak di HP-nya hanya lima belas, semuanya keluarga. Itulah suamiku. Kakakku menyebutnya suami jadul yang hidup di tahun delapan puluhan. "Enak juga punya suami jadul ya, orang sibuk dengan HP-nya masing-masing, dia justru cabut rumput," kata kakakku seraya menunjuk suamiku yang lagi cabut rumput. Perkataan kakakku itu justru seperti hinaan untukku. Saat itu kami seperti biasa berkumpul, semacam arisan tak resmi, kami satu keluarga selalu berkumpul setiap bulan di rumah orang tua. Ya, memang begitu, ketika semua orang sibuk dengan hp-nya, suamiku justru membersihkan halaman rumah orang tua. Kadang aku malu juga, entah apa kelebihan suamiku ini, sehingga ayah dulu ngotot menjodohkan kami."Maklumi aja, orang kampung memang keahliannya cabut rumput," kata kakak iparku seraya tertawa. Kami keluarga besar berjumlah enam orang, aku nomor tiga, akan tetapi akulah yang terakhir menikah.
Suamiku Jadul"Emang Abang mau jual sapi siapa?" tanyaku seraya menatap matanya penuh selidik. "Ya, sapi kita, Dek?""Memang Abang punya sapi?""Iya, Dek, hanya usaha sampingan."Sampingan? Wah, usaha sampingan saja sudah bisa memberangkatkan orang tua ke Mekkah. Berarti usaha pokoknya lebih lagi. Apakah suamiku juragan sapi? Ayah dulu bilang, Bang Parlindungan itu petani, waktu itu aku tak tanya lagi petani apa, yang kupikirkan saat itu aku menikah dengan pilihan orang tua, karena sudah lelah disebut perawan tua. Ditambah lagi wajah suamiku ini teduh, mirip Rano Karno jaman dahulu. Bila kulihat suami, aku selalu teringat sinetron kesukaanku waktu kecil dulu. Si Doel Anak Sekolahan. "Kenapa Abang gak pernah bilang punya sapi?""Lo, adek kan gak pernah tanya.""Hmmm, masa sama istri sembunyikan usaha.""Bukan maksud mau sembunyikan, Dek, memang gitu, gak usah pamer ya, Dek, gak usah bilang-bilang," kata suami lagi. Suami benar-benar memberikan uang dua puluh dua juta ke orang tuaku.
Suamiku JadulMotor matic Mio punyaku akhirnya kukeluarkan kami akan pergi jalan-jalan. Kartu ATM beserta pin-nya sudah ada di tangan. Aku ingin merubah penampilan suami yang kuno itu. Yang pertama kami datangi adalah salon pria. "Mau ngapain kita di sini, Dek?" tanya suamiku begitu kami sampai di salon. "Dipermak dulu Abang," kataku kemudian. 'Permak bagaimana?""Ini, Bang, potong dulu ini, kek orang dari tahun delapan puluhan aja," kataku seraya meremas rambutnya. Rambutnya memang model kuno, ya, kuno sekali, rambut seperti itu hanya pernah kulihat di TV, film jadul tahun delapan puluhan. Rambut seperti kuncir kuda, bagian belakang lebih panjang dari bagian depan. "Jangan, Dek, rambutku sudah begini sejak dua puluh tahun lalu," kata suami. Dia tak juga mau masuk ke salon pria tersebut."Biar rapi, Bang, biar gak kuno gitu," kataku lagi seraya menarik tangannya masuk salon. Akhirnya aku berhasil menyeret suami masuk salon, suami langsung duduk di kursi salon. "Rapikan pinggirny