Suamiku Jadul
"Emang Abang mau jual sapi siapa?" tanyaku seraya menatap matanya penuh selidik.
"Ya, sapi kita, Dek?"
"Memang Abang punya sapi?"
"Iya, Dek, hanya usaha sampingan."
Sampingan? Wah, usaha sampingan saja sudah bisa memberangkatkan orang tua ke Mekkah. Berarti usaha pokoknya lebih lagi. Apakah suamiku juragan sapi? Ayah dulu bilang, Bang Parlindungan itu petani, waktu itu aku tak tanya lagi petani apa, yang kupikirkan saat itu aku menikah dengan pilihan orang tua, karena sudah lelah disebut perawan tua. Ditambah lagi wajah suamiku ini teduh, mirip Rano Karno jaman dahulu. Bila kulihat suami, aku selalu teringat sinetron kesukaanku waktu kecil dulu. Si Doel Anak Sekolahan.
"Kenapa Abang gak pernah bilang punya sapi?"
"Lo, adek kan gak pernah tanya."
"Hmmm, masa sama istri sembunyikan usaha."
"Bukan maksud mau sembunyikan, Dek, memang gitu, gak usah pamer ya, Dek, gak usah bilang-bilang," kata suami lagi.
Suami benar-benar memberikan uang dua puluh dua juta ke orang tuaku. Aku melongo melihat uang tersebut dengan mudahnya dia berikan. Sedangkan abangku saja hanya beri satu juta.
"Aku tetap yakin kita dikerjai Ayah," kata kakakku yang nomor dua ketika kami kembali berkumpul.
"Iya, aku juga yakin begitu, pikir pakai logika, mana mungkin orang seperti itu bisa berikan uang dua puluh dua juta sama mertuanya? Gak logis," sambung adikku yang paling bungsu seraya mulutnya menunjuk ke Bang Parlin yang seperti biasa di halaman.
"Dikerjai bagaimana?" tanyaku.
"Gini, Nia, kan si Parlin itu pilihan Ayah, Ayah mau tunjukkan pada kami bahwa pilihannya benar, uang itu ayah berikan ke Parlin dulu, baru pura-pura Parlin yang kasih," kata abang yang nomor dua.
Ingin rasanya aku bilang kalau suamiku juragan sapi, akan tetapi teringat perkataan suami supaya hidup slow saja, gak usah bilang-bilang. Tak tahan mendengar mereka terus bicarakan suami, kutemui suami di halaman. Dia mencabut rumput seperti biasa.
"Kenapa sih Abang suka cabut rumput?" tanyaku seraya ikut gabung dengannya.
"Kebiasaan, Dek, aku sudah ambil rumput sejak masih SD, bila melihat rumput begini, rasanya ingin kusabit atau kucabut," jawab suami.
Ya, Tuhan, suami macam apa ini, bila suami orang hobby main game, hobby main catur, dia justru hobby cabut rumput.
"Berapa sapi Abang? Kenapa gak pernah Abang ajak aku lihatnya," tanyaku lagi.
"Cuma sedikit, Dek, sekitar dua ratus lima belas, itu kebanyakan sapi biasa yang harganya balasan juta," jawab suami.
Dua ratus lima belas? dan dia bilang itu sedikit, aku mulai berhitung, dua ratus kali sepuluh juta saja sudah dua milyar, dan itu baru usaha sampingan? Aku istri milyarder?
"Ajak aku ke sana, Bang," kataku lagi.
"Gak sanggup kau itu, Dek, di sana gak ada sinyal, memang sanggup Adek gak pegang HP?" jawab suami.
Gak ada sinyal? Ah, tak terbayangkan hidup di tempat yang gak ada sinyal, setelah belasan tahun ketergantungan HP.
"Terus kenapa kita ngontrak rumah, itu sapi jual sepuluh dulu napa? Biar kita beli rumah?" kataku seraya melirik suami.
"Kita gak ngontrak, Dek,"
"Gak ngontrak kata Abang, itu rumah siapa? Itukan rumah kontrakan?"
"Apa pernah Adek bayar kontrakan? Atau apa pernah lihat Abang bayar kontrakan?"
Wah, aku baru ingat, memang tak pernah, ketika kami baru menikah, aku langsung diboyong ke rumah itu. Suami memang tak bilang itu rumah kontrakan, secara kan baru nikah, pasti tinggalnya di rumah kontrakan, rumah kami juga rumah petak, berdampingan dengan lima pintu lainnya.
"Jadi ...?"
"Ya, itu rumah kita, Dek, enam pintu itu, selama ini dikontakkan, karena aku sudah menikah ya, kita tempati satu."
Sudah menikah tiga bulan, baru kali ini aku tahu tentang suami, ternyata dia banyak menyimpan rahasia.
"Kenapa sih sama istri sendiri rahasia segala?"
"Gak ada rahasia, Dek, orang adek gak pernah tanya,"
"Tapi tetangga bilang rumah itu rumah kontrakan, mana mungkin dia gak tahu pemilik rumah yang dia kontrak?" tanyaku lagi bergaya bak penyidik.
"Memang dia gak tau, Dek, karena gak pernah kubilang, Abang gak pernah datang minta uang kontrakan, semua itu diurus Bou,"
"Siapa Bou?"
"Saudara Ayah, itu yang waktu itu kit ke sana."
Oh, aku memang pernah dibawa ke tempat bounya, katanya itu satu-satunya saudara dia di kota ini.
Ternyata pilihan Ayah benar, suamiku seorang milyarder yang gak kenal HP andorid. Ah, ingin juga rasanya aku pamer, ingin kubungkam mulut abang dan ipar yang terus merendahkan suami.
Suatu hari Abangku yang sulung datang ke rumah. Waktu dia datang, suami lagi di teras membuat kandang ayam dari bambu.
"Parlin, ada rumah bagus di sana, rumah subsidi, DP-nya hanya sepuluh juta, bulanannya satu jutaan, kau jual sawah kalian di kampung sana dulu, daripada kalian ngontrak terus," kata abangku.
"Kami gak ngontrak," aku keceplosan.
"Jadi kalian tinggal gratis, dasar mental gratisan," kata abangku.
Suami melirikku, lirikannya tajam, aku tahu maksudnya.
"Gak berani kami kredit rumah, Bang," jawab suami.
"Harus diberanikan, kami dulu juga begitu, aku beranikah diri, kerja yang lebih giat, alhamdulillah, akhirnya kami bisa kredit rumah, lima tahun lagi sudah lunas," kata Abangku lagi.
Aku tahu, usaha sampingan Abangku ini memang broker rumah, dia pasti menawarkan pada kami karena tergiur bonusnya.
"Tidak, Bang, terima kasih," kata suami.
"Itulah pikiran yang gak bisa maju itu, kalau gak dicoba mana tau kita sanggup atau gak sanggup, pakai ini sikit," kata abangku seraya menunjuk keningnya.
Andaikan abangku tahu suamiku seorang milyarder? Dia mungkin akan malu, akan tetapi entah kenapa suamiku ini, tak adakah keinginannya untuk sedikit pamer, biar tak direndahkan orang?
Akhirnya abangku pulang dengan kecewa, jawaban suami tetap tak berani. Setelah dia pulang kupasang muka judes pada suami.
"Abang kenapa sih, diam saja begitu, bilang aja jujur napa, biar kita gak direndahkan terus, aku capek, Bang," kataku kemudian.
"Sabar, Dek, gak ada untungnya pamer," kata suami.
"Ada, Bang, sama orang sombong kita harus sombong juga, baru kridit rumah sudah sok kaya," kataku makin sewot.
"Udah, Deket, udah, itu abangmu, lo."
"Gak mau, Bang," kataku seraya masuk kamar.
Entahlah dengan suamiku ini, sudahlah pendiam, sabarnya keterlaluan. Ah, aku harus poles suamiku, cukup sudah kami terus direndahkan. Yang pertama kulakukan akan kuubah penampilannya.
"Bang, Pinjam duit," kataku kemudian ketika suami menyusul ke kamar.
"Pinjam?"
"Iya, Bang,"
"Ada-ada aja kau, Dek, masa sama suami pinjam duit?"
"Ah, percuma punya suami juragan sapi?" kataku seraya berpaling.
"Dek, jangan bilang gitu napa, Abang bukan juragan, hanya peternak sapi, kebetulan sekarang sapinya agak banyak, jadi orang yang kerjakan semua, Abang mau hidup tenang, ingin menikmati hidup bersama istri yang cantik." kata suami.
"Istri cantik butuh belanja, Bang di mana-mana yang namanya wanita hobby belanja," kataku lagi.
"Ya, udah, ini, pakai," kata suami seraya menyerahkan kartu ATM.
Ternyata biar kuno, tak mengenal medsos, suamiku ini kenal ATM.
"Ayo, Bang, antar aku," kataku kemudian.
Yang pertama kukunjungi adalah salon pria, aku mau suami memotong rambut gobelnya.
Suamiku JadulMotor matic Mio punyaku akhirnya kukeluarkan kami akan pergi jalan-jalan. Kartu ATM beserta pin-nya sudah ada di tangan. Aku ingin merubah penampilan suami yang kuno itu. Yang pertama kami datangi adalah salon pria. "Mau ngapain kita di sini, Dek?" tanya suamiku begitu kami sampai di salon. "Dipermak dulu Abang," kataku kemudian. 'Permak bagaimana?""Ini, Bang, potong dulu ini, kek orang dari tahun delapan puluhan aja," kataku seraya meremas rambutnya. Rambutnya memang model kuno, ya, kuno sekali, rambut seperti itu hanya pernah kulihat di TV, film jadul tahun delapan puluhan. Rambut seperti kuncir kuda, bagian belakang lebih panjang dari bagian depan. "Jangan, Dek, rambutku sudah begini sejak dua puluh tahun lalu," kata suami. Dia tak juga mau masuk ke salon pria tersebut."Biar rapi, Bang, biar gak kuno gitu," kataku lagi seraya menarik tangannya masuk salon. Akhirnya aku berhasil menyeret suami masuk salon, suami langsung duduk di kursi salon. "Rapikan pinggirny
Suamiku JadulKeesokan harinya kami ke bank, suami mau mencairkan uang lima puluh juta, katanya mau beli motor baru untukku. Tentu saja aku senang sekali. Motor Mio-ku sudah benar-benar buluk Umurnya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi aku heran, kenapa suami tak punya kenderaan? Tak inginkah dia punya motor atau mobil? Setelah uangnya kami ambil, langsung kami ke showroom motor. Suami suruh aku milih-milih, sedangkan dia hanya duduk. Sebenarnya aku ingin motor matic besar keluaran terbaru. Jika bertemu si Rapi lagi aku bisa membusungkan dada. Akan tetapi teringat perkataan suami untuk beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Akhirnya aku pilih yang standar saja yang harganya dua puluhan juta. "Ini depenya tiga jutaan, kreditnya sejutaan perbulan," kata seorang penjaga toko. "Kami mau beli kontan," jawab suami. Wanita penjaga toko itu justru melihat suami dengan pandangan aneh, mungkin dia tak menyangka suamiku bisa beli tunai. Melihat penampilan suami yang seperti t
Suamiku JadulKetika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. "Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu
Suamiku JadulDalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. "Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. "Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. "Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. (Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Cob
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
Suamiku JadulPart 10Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. "Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. "Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. "Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. "Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. "Kok benci Abang, emang Abang salah apa?""Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju.""Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,""Lo, Abang kan gak salah?""Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,""Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. Kami pun pulang ... Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam h