Suamiku Jadul
Keesokan harinya kami ke bank, suami mau mencairkan uang lima puluh juta, katanya mau beli motor baru untukku. Tentu saja aku senang sekali. Motor Mio-ku sudah benar-benar buluk Umurnya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi aku heran, kenapa suami tak punya kenderaan? Tak inginkah dia punya motor atau mobil?
Setelah uangnya kami ambil, langsung kami ke showroom motor. Suami suruh aku milih-milih, sedangkan dia hanya duduk. Sebenarnya aku ingin motor matic besar keluaran terbaru. Jika bertemu si Rapi lagi aku bisa membusungkan dada. Akan tetapi teringat perkataan suami untuk beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Akhirnya aku pilih yang standar saja yang harganya dua puluhan juta.
"Ini depenya tiga jutaan, kreditnya sejutaan perbulan," kata seorang penjaga toko.
"Kami mau beli kontan," jawab suami.
Wanita penjaga toko itu justru melihat suami dengan pandangan aneh, mungkin dia tak menyangka suamiku bisa beli tunai. Melihat penampilan suami yang seperti tukang bangunan saja.
"Ini harganya dua puluhan juta, lo, Pak?" kata wanita itu lagi.
"Iya, boleh beli kontan kan?" tanya suami.
"Boleh, boleh," kata wanita itu.
Aku bingung antara pilih Vario atau scoopy, sementara suami hanya mendampingi, membiarkan aku memilih. Mungkin karena terlalu lama aku memilih, si penjaga toko kesal.
"Mau beli nggak sih?" katanya ketus.
Beli Vario atau Scoopy, Bang, aku bingung," tanyaku pada suami.
"Udah, dari pada bingung, beli aja dua-duanya," jawab suami.
Penjaga toko itu seperti heran, "beli dua, tunai?" tanyanya seperti tak percaya.
"Iya, boleh kan?" tanya suami.
"Bolehlah,"
Aku ingin beli keduanya, akan tetapi lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja. Akhirnya aku pilih vario. Si wanita penjaga melihat kami dengan mata melotot ketika suami bayar motor tersebut dengan tunai. Ketika kami mau pulang, kulihat wanita itu berbicara dengan suami, entah apa yang dia bicarakan aku tak tahu.
Kami pulang, motor baru akan mereka antar ke rumah.
"Itu cewek tadi bilang apa sama Abang?" tanyaku penasaran.
"Dia minta nomor W*, aku bilang gak ada, dia gak percaya," jawab suami.
Wah, bibit pelakor itu. Ternyata betul juga kata orang, pelakor ada di mana-mana, berani sekali dia minta nomor W* suamiku di depan mataku pula.
Ayah akhirnya jadi berangkat ke tanah suci, tiket dan segalanya sudah diurus, sebelum berangkat beliau minta kami semua berkumpul di rumah orang tua. Acara makan bersama melepas Ayah pergi umroh.
"Motor baru kau, Nia?" kata kakak ipar begitu kami sampai, belum sempat juga kami turun dari motor.
"Iya, Kak," jawabku singkat.
"Ambil kredit berapa tahun?" tanyanya lagi.
"Beli kes, Kak," jawabku jujur.
"Waw, hebat kau ya," kata Kakak ipar.
Aku hanya tersenyum, kami tinggalkan dia yang terus memperhatikan motor Vario baruku.
Ketika kami masuk rumah, para saudaraku lagi berunding tentang komsumsi. "Hei, Nia, sini dulu kau," panggil abangku yang tertua.
"Begini Nia, entah kenapa akhir-akhir ini Ayah kita banyak permintaan, tadi dia minta sop kepala kambing, serta kari kambing untuk kita makan semua. Dari mana uangnya, dah berapa itu." terang abangku yang nomor dua.
"Memang berapaan?" tanyaku kemudian.
"Kita semua dua belas orang, tambah Ayah dan anak-anak, semua dua puluh satu orang, berarti butuh dua puluh satu porsi, dikali dua puluh lima ribu udah lima ratus lebih lebih, sup kepala kambing lagi," kata abangku yang nomor dua.
"Entah kenapa Ayah begitu, makin tua makin seperti anak-anak saja," sambung kakak ipar.
Kulihat suami, dia mengangguk seperti paham yang yang ingin kukatakan, dia lalu mengeluarkan dompetnya, memberikan uang merah sepuluh lembar.
"Ini, ayo kita makan-makan," kata suami seraya meletakkan uang tersebut di atas meja.
Semua saudaraku terdiam. Mereka saling pandang. Kemudian disepakati adik laki-lakiku dan suamiku yang pergi beli makanannya.
Sepeninggal mereka, aku diinterogasi para saudara dan iparku.
"Nia, jika dilihat tampang suamimu itu dari dulu aku sudah curiga padanya," kata Kakak ipar.
"Curiga bagaimana?" tanyaku.
"Lihat saja wajahnya, dingin, jarang bicara, jarang senyum," sambung abangku yang tertua.
"Terus?"
"Jujur sajalah, Nia, dia itu mencurigakan, kalau bukan kelompok begal, dia pasti pelihara tuyul atau babi ngepet," kata Kakak ipar.
"Hahaha, hahaha," tawaku justru pecah.
"Ketawa pula kau, Nia, ini serius, lihat ini, artikel ini," kata kakak ipar seraya menunjukkan HP-nya.
Aku justru makin tertawa, tak tertarik melihat artikel yang dia tunjukkan.
"Orang kampung itu banyak yang seperti itu, Nia, apalagi dari Mandailing sana, gak kerja tapi banyak duit, dari mana duitnya coba, lihat itu mudah kali dia berikan satu juta, pasti kan karena mudah datangnya," sambung Abang tertua.
"Gak lah, souzon kalian," kataku masih berusaha menahan tawa.
"Kerjamu jaga lilin kan tiap malam?" kata kakak ipar lagi.
"Hahaha, hahaha," entah kenapa aku merasa lucu, kutinggalkan mereka dan menemui Ayah di kamarnya.
"Ayah!"
"Eh, kau Nia, Ayah lagi teringat ibumu, Nak," kata Ayah seraya memandang foto almarhumah Ibu.
"Ibu sudah tenang di sana, Yah," kataku kemudian.
"Iya, Nak, Ayah bentar lagi juga nyusul ibumu,"
Semenjak Ibu meninggal dua tahun lalu, Ayah memang banyak berubah, banyak permintaan, suka panggil kami semua untuk berkumpul.
"Di mana Ayah kenal Bang Parlin?" tanyaku seraya duduk di dekat Ayah.
"Dia anak temanku Pardomuan, teman masa muda Ayah, dia berhasil mendidik anak-anaknya."
"Ayah tahu sapinya banyak?"
"Tidak tau, yang Ayah tahu sawitnya luas, tapi bukan karena itu kau kujodohkan dengannya, tapi karena keserhanaannya, di jaman sekarang sulit cari orang seperti dia."
Wah, ternyata selain punya sapi yang banyak, kebun sawit lagi luas, mungkin itu maksud suami, sapi itu sampingan, usaha utama adalah kebun sawit. Wah, aku istri juragan sawit?
Suamiku JadulKetika mengantar Ayah ke bandara, ayah memeluk kami satu persatu, beliau menangis seperti mau pisah selamanya saja, padahal hanya mau umroh. "Tugas Ayah selesai, kalian semua sudah berumah tangga, yang rukun ya, Anak-anakku jangan saling iri," kata Ayah. Memang ketika aku belum menikah Ayah seperti merasa masih ada beban, setiap jumpa selalu ditanya kapan nikah. Aku memang terlambat nikah, bukan karena gak laku, tapi memang gak ada yang mau, entah kenapa setiap aku menjalin hubungan dengan seseorang itu selalu kandas sebelum ke pelaminan sampai akhirnya aku lelah sendiri, pasrah menunggu nasib. Siapa sangka di usia tiga puluh dua tahun bertemu jodoh usia tiga puluh enam tahun, tajir pula. Setelah Ayah berangkat kami semua kembali ke rumah masing-masing, tinggal adikku yang paling bungsu tinggal di rumah orang tua. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Anak pertama laki-laki, baru yang kedua perempuan, baru aku, dan tiga adikku dua laki-laki dan satu
Suamiku JadulDalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah. Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami. "Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami. "Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi. "Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian. Ada notifikasi dari WA lagi, kakak iparku kembali kirim pesan. (Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk) Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Cob
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
Suamiku JadulPart 10Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. "Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. "Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. "Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. "Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. "Kok benci Abang, emang Abang salah apa?""Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju.""Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,""Lo, Abang kan gak salah?""Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,""Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. Kami pun pulang ... Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam h
Suamiku JadulPart 11Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin
Suami JadulPart 12Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh juta setengah, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah d