Suamiku Jadul
Dalam hati aku bersorak, mulut nyinyir saudara akan kubungkam, rumah besar akan kubeli, mobil pun akan kubeli. Akan tetapi bila kulakukan itu apa bedanya aku dengan mereka? mereka rela terjebak riba demi terlihat wah.
Lagi-lagi aku teringat perkataan suami, beli yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan. Kami baru berdua, anak pun belum ada, rumah besar rasanya belum butuh, rumah yang kami tempati saja kamarnya sudah dua. Terus mobil? Apakah memang aku butuh? Bawa mobil saja aku tak pandai, entah dengan suami.
"Udah, Bang, gak usah lagi, yang kita butuhkan hanya tempat berteduh, rumah ini sudah cukup," kataku pada suami.
"Benar, Dek? Abang gak terima bila adek dihina," kata suami lagi.
"Benar, Bang, gak usah," kataku kemudian.
Ada notifikasi dari W* lagi, kakak iparku kembali kirim pesan.
(Pilih-pilih tebu, akhirnya terpilih yang busuk)
Ini untukku lagi, dia pasti sindir aku yang menurut mereka terlalu pemilih dalam hal jodoh, akhirnya dapat orang kampung. Coba ku abaikan saja.
"Jangan melayang karena dipuji-puji, Dek, jangan pula tumbang bila dihina," itu prinsip yang pernah dikatakan seseorang padaku. kata suami.
"Oh, iya, ya, Bang," kataku seraya mengetik di WAG keluarga.
(Tak akan tumbang karena hinaan, tak akan terbang karena pujian) tulisku kemudian.
(Hebat, itu baru kakakku) Balas adik perempuanku.
"Oh, ya, Bang, siapa yang bilang begitu sama Abang?" tanyaku kemudian.
"Seseorang, Dek, seseorang dari masa lalu."
"Wah, siapa dia?" entah kenapa aku cemburu suami bilang seseorang dari masa lalu.
"Udahlah, Dek, kubilang pun tak kenalnya adek itu," suami seperti mengalihkan pembicaraan.
Hari H pesta si Rapi tiba, aku ragu hendak pergi, akan kumpul nanti semua satu geng, kami ada sepuluh berteman mulai SMA, si Rapi inilah yang terakhir menikah.
"Hari ini kan pesta itu, gak pigi kita, Dek?" suami justru mengingatkan, padahal aku sudah pura-pura lupa.
"Gak, Bang, malas,"
"Gak baik gitu, Dek, diundang orang kita harus pergi,"
"Malas, Bang, temanku gak ada yang waras, nanti Abang diledek, aku gak bisa terima bila Abang yang dihina," kataku membalikkan ucapannya.
"Udah, aku mau dipermak, asal jangan rambut ini," kata suami.
"Benar, Bang?"
"Iya, benar,"
"Oke Abangku sayang, kita ke mall dulu ya, beli baju untuk Abang," kataku seraya memeluknya dari belakang.
Akhirnya kami ke mall, seperti biasa bila naik motor, aku yang bawa, kata suami dia gugup jalan di tempat ramai, ditambah dia gak punya SIM.
"Dunia terbalik ya, istri yang pegang kemudi," celutuk tetangga sebelah rumah ketika kami hendak pergi.
Hanya kutanggapi dengan senyuman.
Ketika kami tiba di mall, yang terjadi justru sebaliknya, tadinya kami kemari mau beli baju untuk suami, akan tetapi akulah akhirnya yang beli baju dan sepatu. Ternyata untuk pakaian suami sangat pemilih, tak ada yang cocok katanya. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gerai pakaian.
"Itu baru cocok," kata suami seraya menunjuk pakaian cowboy.
Akhirnya kami beli celana jeans dan kameja kotak-kotak serta topi Cowboy untuk suami. Niat hati ingin mengubah kejadulan suami, yang terjadi malah makin jadul.
Akan tetapi ketika dia memakai pakaian itu, aku terpana melihatnya, dia tampak gagah dengan pakaian cowboy, yang jadi masalah kini rambut gobelnya. Aku menawarkan diri menyisir rambut gobel tersebut, ketika kuikat ke belakang, dia justru makin kelihatan gagah.
Akhirnya kami berangkat menuju pesta, pakaian kami terlihat kontras, aku memakai gamis, dia memakai pakaian cowboy
Begitu kami sampai di pesta tersebut, dugaanku tepat, semua teman sudah kumpul di sana dengan pasangan masing-masing.
"Lama hilang kau, Niyet, begitu muncul sudah bawa cowboy," celutuk temanku seraya memyalami kami.
"Kau merantau ke Amerika ya?" goda temanku yang lain.
Ketika waktu makan tiba, kulihat suami diam seraya melihat nasi di piringnya.
"Kok gak makan, Bang?" Tanyaku.
"Mana cuci tangannya?"
Duh, dasar suami jadul, pesta begini dia minta cuci tangan.
"Pakai sendok, Bang," kataku kemudian seraya menunjuk sendok di piringnya.
"Aku gak pande, Dek,"
Ya, Tuhan, ya Robbi, di jaman sekarang ini masih ada orang dewasa yang gak pandai pakai sendok? Aku harus bagaimana lagi, apakah akan kubiarkan suami makan pakai tangan di tengah pesta begini?
Akhirnya aku menemui Ibunya Rapi, membisikkan masalah yang kuhadapi, Alhamdulillah beliau mengerti biarpun dia terlihat menahan tawa. Kami akhirnya di berikan tempat untuk makan di dalam rumah. Ribetnya punya suami jadul ini.
"Dari mana aja kau Niyet, dari tadi dicariin," kata satu temanku ketika kami kembali ke pesta tersebut.
"Ada yang mau dibuang tadi, emang ada apa cari aku, Nyet?"
"Itu, tuh, kau diajak nyanyi," katanya seraya menunjuk ke pentas. Di pentas, salah satu temanku sedang memegang mikrofon, lalu ...
"Teman-teman, saya sekalian ingin memperkenalkan suami Niyet, dia pergi merantau ke Amerika, pulangnya bawa cowboy kita tak diundang, saya minta kepada tuan cowboy untuk menyumbangkan sebuah lagu sebagai perkenalan," kata temanku itu.
Semua mata melihat ke arah suami, duh, apa yang akan terjadi? mereka seperti sengaja ingin mempermalukan aku. Teman yang lain mendorong Bang Parlin menuju pentas.
"Jangan mau, Bang, itu mantanku, dia sengaja mau buat Abang malu." bisikku pada suami.
Suami justru naik ke pentas setelah mendengar bisikanku.
Dadaku berdebar-debar menunggu lagu apa yang akan dinyanyikan suami. Apakah dia tahu musik, soalnya belum pernah kudengar dia menyanyi.
Kulihat Bang Parlin berbicara dengan tukang keyboard-nya, lalu tukang keyboard itu memberikan seruling. Wah, seruling?
"Karena cowboy yang dipanggil, saya akan menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan cowboy padang lawas, namanya ungut-ungut,, lagu yang biasa dinyanyikan anak gembala di padang rumput," kata suami.
Sujurus kemudian, Bang Parlin sudah memainkan seruling. Duhai, suaranya mendayu-dayu, semua pengunjung terdiam mendengar suara seruling itu, musik justru tak main, yang terdengar hanya suara seruling. Lalu suami menyanyi, aku tak mengerti dia sedang menyanyikan lagu apa, akan tetapi suaranya sangat menyayat hati, nadanya seperti suara seruling itu. Setelah menyanyi sebait, baru seruling lagi, menyanyi lagi, seruling lagi, begitu seterusnya. Suasana pesta jadi hening, ini sesuatu yang langka terjadi di pesta.
Selesai menyanyi, semua pengunjung pesta bertepuk tangan, aku justru menitikkan air mata, entah apa yang sedih itu aku tak tahu. Ah, suami jadulku, aku makin sayang padamu.
Suamiku JadulPart 7Bang Parlin lalu menyerahkan kembali seruling tersebut, sementara para temanku masih melongo. "Kau dapat di mana tu laki? manis sekali," kata teman yang duduk di sampingku seraya menyenggol bahu ini. "Aku merantau ke Amerika, pulangnya bawa laki," jawabku sekenanya, karena begitu temanku ini tadi berkata. Bang Parlin turun dari panggung, masih disambut antusias oleh pengunjung pesta. Mereka berteriak "Tambah, tambah," tapi suamiku tetap turun seraya melambaikan tangan. Ah, gayanya, bak penyanyi terkenal saja. Pembawa acara mengambil alih mikrofon."Sekedar informasi, lagu yang baru kita dengarkan tersebut adalah ungut-ungut, kesenian khas Tapanuli Selatan. Biasanya dinyanyikan orang ketika menggembala ternak atau menidurkan bayi. Saya cukup terkejut masih ada orang yang bisa menyanyi begitu, karena kesenian itu hampir punah, terakhir saya mendengar orang menyanyikan lagu tersebut dua puluh tahun lalu," kata pembawa acara tersebut. Semua mata memandang suami y
Suamiku JadulPart 8Perasaanku tak tenang, aku terus berpikir siapa itu Nunung? Aku menikah dengannya memang bagaikan membeli kucing dalam karung, hanya karena percaya pada Ayah aku terima lamaran mereka. Tak tahu dia bagaimana, bagaimana sifatnya, adakah mantannya? Bahkan aku tak kenal saudaranya, aku hanya tahu mereka empat orang bersaudara. Laki-laki semua, akan tetapi tak pernah kenal dengan saudaranya itu katanya jauh. Kuletakkan HP itu di tempat semula, ketika suami datang dari kamar mandi, dia bukannya lihat HP-nya, dia justru ke belakang lihat ayam jagonya. Kuikuti dia dari belakang. "Apa, Dek?" tanyanya ketika aku terus memgukutinya. "Apa gunanya HP kalau gak dilihat?" tanyaku. "Siapa pula mau nelepon Abang, Dek, di tempat kami gak ada sinyal, kalau mau nelepon jalan dulu dulu puluh kilometer," kata suami. "Entah si Nunung misalnya," kataku seraya memperhatikan reaksi lewat wajah suami. "Kenapa si Nunung?" suami seketika serius, wajahnya kelihatan tegang. "Makanya kubi
Suamiku JadulPart 9Ternyata biarpun banyak kotoran sapi tapi di tempat ini tidak bau-bau amat, ada pekerja yang khusus mengumpulkan kotoran tersebut, diolah jadi pupuk. Sapi tak boleh keluar dari lahan, kecuali dibawa pekerja. Sekeliling kebun dipagar dengan kawat berduri. Penasaran juga aku seperti apa si Nunung ini, tapi kata Mertua sapinya cemburuan, baru kali ini kudengar ada sapinya yang bisa cemburu. "Bang, aku mau lihat si Nunung," kataku pada suami. "Jangan dekat-dekat ya, dari jauh bolehlah," jawab suami. Kami akhirnya pergi, kandangnya tidak jauh dari rumah utama. Aku terkejut dan terpana ketika melihat sapi yang sangat besar. Baru kali ini kulihat sapi sebesar ini, ini mungkin si Nunung. "Ini si Nunung?" tanyaku kemudian. "Bukan, itu Jokowi, anaknya si Nunung, si Nunung sapi betina.""Ya, Allah, Abang menamai sapi dengan nama Presiden, gak boleh itu, Bang,""Bukan Abang, Dek, tapi orang yang bilang begitu, kalau kubawa sapi ini jalan, dibilang orang sapi jokowi, yang
Suamiku JadulPart 10Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan suami juga tak ingin kehilangan saudara. Ini hanya salah paham. Akan tetapi para saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi. "Ayo, Dek!" kata suami lagi, tangannya masih terulur. "Maafkan aku, Kak, Bang, adikku semua, aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi. "Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata suami ketika kami sudah di atas motor. "Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian. "Kok benci Abang, emang Abang salah apa?""Pas kita dijodohkan pun abang dan kakakku gak setuju.""Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,""Lo, Abang kan gak salah?""Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,""Udah, gak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga gak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian. Kami pun pulang ... Kami tetap datang tahlilan, aku antar suami malam h
Suamiku JadulPart 11Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin
Suami JadulPart 12Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh juta setengah, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah d
Suamiku JadulPart 13"Dek, rambutku hilang, Dek," kata suami lagi, dia tampak panik. Badannya masih bersabun ketika membangunkan aku."Mungkin digigit tikus, Bang," kataku sekenanya."Mana mungkin, Dek.""Mungkin si Rara sudah ikhlas, Bang," kataku lagi."Ini sudah dua puluh tahun, Dek, selalu kujaga tetap seperti ini," kata suami seraya memegang belakang kepalanya."Baik, Bang, aku ngaku aja, aku yang gunting, cemburu aku, Bang, ternyata Abang berambut seperti itu karena orang, cewek pula," kataku akhirnya."Adek kok gitu, sih, egois kamu, Dek." kata suami seraya kembali ke kamar mandi.Wah, dia marah, baru kali ini kulihat suamiku marah. Secinta itukah dia sama Rara? Kudatangi Bang Parlin ke kamar mandi, dia masih menatap wajahnya di cermin."Maafkan Adek, Bang, Abang sih buat adek cemburu saja," kataku seraya memeluknya dari belakang."Perlu dua tahun biar
Suamiku JadulPart 15Suami melirikku, aku mengerti lirikannya, ya, aku memang salah, sempat aku cerita ke Rapi soal kami mau bayarkan zakat ke satu orang. Mungkin dialah yang cerita ke kakak iparku, sehingga kakak ipar berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi ramah dan tiba-tiba bawa oleh-oleh. "Dalam agama juga dianjurkan supaya memberi ke orang terdekat dahulu," kata kakak ipar lagi. "Tapi itu zakat, Kak." Bang Parlin akhirnya bicara. "Iya, gak apa-apa, zakat pun jadi," abangku tampak semangat."Apakah Abang merasa orang yang berhak menerima zakat?" kata Bang Parlin lagi. Abang dan kakak iparku terdiam, mereka menunduk. "Karena kebetulan Kakak singgung soal agama, menurut agama kita orang yang berhak menerima zakat adalah. Fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, Gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil, itu kata Allah dalam al-quran, surat At-Taubah ayat 60. Jadi pertanyaanku adakah diantara yang delapan itu termasuk Abang, apakah Abang fakir, apakah Abang miskin, atau mualaf, ata