Suamiku JadulPart 11Kulirik Bang Parlin, dia terlihat masih berusaha menahan tawa. Tak disangka suamiku yang pendiam ini bisa juga bercanda, candaannya juga tidak tanggung-tanggung, Ngepet. Apa yang akan kukatakan lagi? Abang ipar ini sepertinya serius, kasihan juga Abang iparku, kakakku memang terkenal tukang ngutang, bahkan sama almarhum ayah kami pun sudah sering utang. Semua demi gaya hidup. Mereka mencicil rumah di kawasan tergolong elit, akhirnya mereka jadi terlilit utang. Suaminya bekerja sebagai security, sedangkan kakakku dulunya guru honorer, akan tetapi sekarang tak mau mengajar lagi karena tak kunjung naik jadi ASN. "Aku sudah putus asa, Parlin, tak tahu mau bagaimana lagi, sekiranya dapat pun warisan itu masih kurang untuk bayar utang. Mulai dari koperasi, sampai pinjol," kata Abang iparku lagi. Terus kutatap Bang Parlin, menunggu apa yang akan dia katakan, dia justru menatap aku balik, kuangkat kedua bahu dan membuka kedua tangan tanda terserah. Apakah Bang Parlin
Suami JadulPart 12Setelah semua selesai, nasi berkat sudah dibagikan. Para undangan pun sudah berpulangan, tinggal kami sekeluarga di rumah. Bang Julham-abangku yang tertua kembali mengajak mufakat. 'Seperti kita tahu, rumah ini akan dibayar oleh Nia, harganya tiga ratus dua puluh juta. Kita bagi yang laki-laki dapat masing-masing tujuh juta setengah, yang perempuan sisanya. Karena kami lagi butuh uang, saya minta supaya Nia memberikan uangnya, biar kita bagi," kata Abangku yang tertua. "Uangnya sudah ada, tapi aku minta suratnya beres dulu baru kami bayar," kata Bang Parlin. "Berapa lama pula itu, kami lagi butuh uang ini," kata kakakku. "Masa sih sama saudara sendiri gak percaya?" sambung adikku. "Biarpun saudara, kalau jual beli tetap seperti itu," kata Bang Parlin. "Udah, kami minjam dulu sebelum suratnya beres," kata Abangku. "Boleh, tapi harus ada hitam di atas putih," kata suami. Kenapa tiba-tiba suami jadi perhitungan begini? "Kau memang aneh, Parlin, kasih Ayah d
Suamiku JadulPart 13"Dek, rambutku hilang, Dek," kata suami lagi, dia tampak panik. Badannya masih bersabun ketika membangunkan aku."Mungkin digigit tikus, Bang," kataku sekenanya."Mana mungkin, Dek.""Mungkin si Rara sudah ikhlas, Bang," kataku lagi."Ini sudah dua puluh tahun, Dek, selalu kujaga tetap seperti ini," kata suami seraya memegang belakang kepalanya."Baik, Bang, aku ngaku aja, aku yang gunting, cemburu aku, Bang, ternyata Abang berambut seperti itu karena orang, cewek pula," kataku akhirnya."Adek kok gitu, sih, egois kamu, Dek." kata suami seraya kembali ke kamar mandi.Wah, dia marah, baru kali ini kulihat suamiku marah. Secinta itukah dia sama Rara? Kudatangi Bang Parlin ke kamar mandi, dia masih menatap wajahnya di cermin."Maafkan Adek, Bang, Abang sih buat adek cemburu saja," kataku seraya memeluknya dari belakang."Perlu dua tahun biar
Suamiku JadulPart 15Suami melirikku, aku mengerti lirikannya, ya, aku memang salah, sempat aku cerita ke Rapi soal kami mau bayarkan zakat ke satu orang. Mungkin dialah yang cerita ke kakak iparku, sehingga kakak ipar berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi ramah dan tiba-tiba bawa oleh-oleh. "Dalam agama juga dianjurkan supaya memberi ke orang terdekat dahulu," kata kakak ipar lagi. "Tapi itu zakat, Kak." Bang Parlin akhirnya bicara. "Iya, gak apa-apa, zakat pun jadi," abangku tampak semangat."Apakah Abang merasa orang yang berhak menerima zakat?" kata Bang Parlin lagi. Abang dan kakak iparku terdiam, mereka menunduk. "Karena kebetulan Kakak singgung soal agama, menurut agama kita orang yang berhak menerima zakat adalah. Fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, Gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil, itu kata Allah dalam al-quran, surat At-Taubah ayat 60. Jadi pertanyaanku adakah diantara yang delapan itu termasuk Abang, apakah Abang fakir, apakah Abang miskin, atau mualaf, ata
Suamiku JadulPart 14Ayah mertua tak menginap, langsung pulang sore harinya juga. Berbagai cara kulakukan untuk menahan, akan tetapi Ayah mertua tetap ngotot pulang, alasannya tinggal sawit, tinggal kambing peliharaan Ayah mertua.Kubelikan oleh-oleh khas Medan untuk Ayah mertua. Bika ambon dan bolu gulung. Sebelum pulang Ayah mertua berbicara lama dengan Bang Parlin, aku sedikit kesal karena mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumenengerti, ingin ikut bicara tapi tak tahu apa yang dibahas.Setelah Ayah mertua pergi, segera kukeluarkan uang dalam tas kresek itu. "Kita hitung ya, Bang," tanyaku pada Bang Parlin."Jumlahnya dua ratus lima puluh juta, itu hasil empat bulan," kata suami."Dari mana Abang tau?""Ayah yang bilang, Dek,""Banyak juga ya,""Iya, Alhamdulillah,""Kita apain ini uang, Bang?" tanyaku lagi."Ya, disimpan, Dek, keluarkan dua setengah persen untuk
Suamiku JadulPart 16Perkataan Rapi selalu terngiang di telinga ini, dia benar-benar meracuni otakku. Aku terus berpikir ke depan. "Suami itu kalau gak diambil Tuhan ya diambil pelakor" perkataannya itu terus membuat aku was-was. Aku memang harus punya harta sendiri, aku ingin punya rumah atas nama sendiri juga."Bang aku mau buka usaha, boleh?" kataku di suatu malam, saat itu kami lagi tiduran di kamar setelah selesai ..."Mau usaha apa, Dek?""Apa saja, Bang, adek capek lo di rumah terus,""Sebaiknya gak usah, Dek, usaha kita banyak, kok, ada sawit, sapi, apa mau tambah lagi? ""Tapi, aku capek, Bang, di rumah terus, gak ada kegiatan.""Sebenarnya Abang gak setuju, Dek, tapi kalau itu maunya Adek ya, silakan saja,""Gak jadi Bang, kalau Abang gak ridho.""Kalau Adek bosan di rumah terus, kita jalan-jalan, Dek,""Jalan-jalan?""Iya, Dek, terserah Adek mau ke mana, Abang ngikut aja
Suamiku JadulPart 17Tiba waktunya pesta, segera kuberitahu semua saudaraku, bahwa kami akan pesta besar sekali lagi. Pas kubilang kakak ipar langsung bilang tidak bisa."Kami tidak bisa ikut, jauh kali ke sana," Begitu kata kakak ipar."Kok langsung bilang gak bisa sih, Ma?" Abangku langsung meyela."Ya gak bisa, di jalan saja sudah dua belas jam, memang Papa bisa?""Bisa tidak bisa aku yang putuskan, Mama itu melangkahi Papa, ini adikku lo yang mau pesta," kata Abangku.Aku terkesima dengan perkataan Abang itu, apakah dia sudah sadar kalau selama ini diatur istri? Apa-apa selalu kakak ipar yang memutuskan. Baru kali ini kulihat abang protes."Aku juga sepertinya tidak bisa," kata adik laki-lakiku yang paling bungsu."Aku juga harus kerja," kata adikku satu lagi,"Aku ikut, Kak," kata Ria--adik perempuanku."Sayang sekali ya, padahal semua biaya kami yang tanggung
Suamiku JadulPart 18"Hubungi dulu Bang Parta, Dek?" perintah suami. Bang Parta adalah panggilan Bang Partaonan, yang tinggal di Kalimantan, juragan sawit juga. Segera kuambil HP jadul Bang Parlin, memeriksa nomor serta mengetik nomor tersebut di HP-ku. "Assalamu'alaikum, Bang, ini Nia, istrinya Bang Parlin," salam dan sapaku ketika hubungan tersambung. "Waalaikumsalam, apa kabar?""Baik saja, Bang, kami mau datang ke sana kalau boleh,""Kalian mau datang ke Kalimantan?" "Iya, Bang, ada nomor WA, Bang," "Ada, kakakmu ada WA-nya, mau naik apa kalian biar kami pesan tiket,""Naik pesawat lah, Bang, kami di Bandung,""Apa? Di Bandung, memang yang jajok lah si Parlin ini.""Bukan jajok, Bang, mau keliling Indonesia katanya, sekalian silaturahmi," "Ya, iya, jajok lah itu, mana dia?" "Ini, Bang," kataku seraya menyerahkan HP ke Bang Parlin. "Pakai bahasa Indonesia, Adek mau denger," bisikku pada Bang Parlin. Akan tetapi mereka tetap pakai bahasa Batak juga, sebel! Akhirnya aku