Suamiku JadulPart 19Perjalanan yang benar-benar melelahkan sekaligus mengasikkan. Pemandangan indah melewati hutan dan perkebunan sawit. Selama tiga belas jam perjalanan Bang Parlin dan Bang Parta terus berbincang-bincang. Pembicaraan mereka membosankan, kubilang membosankan karena aku tak mengerti sama sekali yang mereka ceritakan. Bahasa yang mereka pakai adalah bahasa Batak Angkola/Mandailing."Hargai kami napa? pakai bahasa persatuan," celutuk istri Bang Parta. "Iya, setuju, jangan pakai bahasa planet," sambungku. "Udahlah, kalian kaum hawa jadi pendengar saja sekali ini, sekali setahun belum tentu aku bisa berbahasa kami," kata Bang Parta. Aku akhirnya tertidur, kemudian terbangun karena guncangan yang cukup keras, kulihat keluar jalan yang sangat jelek, ternyata perjalanan ke sini lebih sulit dari pada perjalanan ke kebun Bang Parlin. Kulihat istri Bang Parta sudah tertidur lelap. Kutatap ke depan dan ke belakang tak ada kenderaan lain. Kiri kanan perkebunan kelapa sawit. T
Suamiku JadulPart 20.Bang Parlin terus saja melirik HP-ku, mungkin dia ingin melihat komentar juga. Kutunjukkan padanya komentar para temanku. Semuanya kubalas dengan keterangan status tersebut bukan aku yang buat, tapi suami. "Jadi ingin juga Abang punya Facebook," kata suami. "Jangan, Bang, jangan," jawabku kemudian. "Memang kenapa, Dek?""Facebook ini ibarat pisau dapur, Bang," "Kok pisau dapur?""Gitulah, Bang, bisa berguna untuk iris bawang tapi bisa juga nikam orang, bahkan nikam diri sendiri pun bisa.""Tumben bicaranya kek gitu, Dek," kata suami, nada suaranya kedengeran serius. "Itu hanya perumpaan, Bang.""Iya, Abang tahu itu perumpamaan, tapi kenapa? Apakah Adek gak percaya sama Abang?" suami kok malah serius menanggapinya. "Bukan gak percaya, Bang, pelakor banyak bergentayangan di Facebook," "Sama yang gak jelas saja Abang setia sampai belasan tahun, apalagi yang nyata ada di depan mata,"."Siapa yang gak jelas, Rara lagi kan, Bang?""Iya, Abang bisa setia padahal
Suamiku JadulPart 21Perjalanan dari Rokan Hilir menuju Jambi lama juga, akan tetapi lebih santai karena jalan yang cukup bagus. Tujuan kami adalah kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di sinilah Bang Nyatan berkebun sawit dan beternak sapi. Setelah lima belas jam perjalanan darat, kami akhirnya sampai juga. Perkebunan Bang Nyatan mirip punya Bang Parlin, kebun sawit dan ternak sapi. Bang Nyatan sudah punya anak tiga, istrinya orang dari kampung juga yang dibawanya ke Jambi. Di sini kami benar-benar dijamu bak raja dan ratu. Kambing Bang Nyatan disembelih, kami makan kambing guling di bawah pokok sawit. "Tak disangka kalian mau juga datang kemari," kata Bang Nyatan. "Ini yang punya ide, Bang," kataku seraya menunjuk Bang Parlin. "Iya, dia memang selalu jadi panutan, aku yang abangnya merasa seperti adik, pada dia aku banyak belajar tentang kehidupan," kata Bang Nyatan. Kami hanya dua hari di tempat itu, kembali melakukan perjalanan darat pulang ke tanah kelahiran suami. Rina dan Dame
Suamiku JadulPart 22Bisa-bisanya Bang Parlin bercanda, telepon dari Rani dia bilang dari Rara. Kalau ini siasat nya biar aku buka pintu, dia berhasil. "Apa kata si Rara, eh, si Rina?" tanya suami seraya menutup mulut menahan tawa. "Gak ada, Bang, dia bilang terima kasih untuk Abang," kataku, memang Rina menelepon hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membuat Dame bisa berubah. Semenjak aku hamil, Bang Parlin makin memanjakanku, apapun mauku dia turuti, tak dikasih kerja, kadang aku merasa dia terlalu, masa menyapu pun aku tak boleh. Uang kami seperti tak habis-habis, sudah pergi keliling tiga pulau, bukannya berkurang, malah bertambah, karena para saudara suami selalu memberikan uang, jika ongkos hanya dua juta, mereka beri empat juta, tentu saja jadi bertambah. Ditambah lagi hasil panen sawit yang kami bawa dari kampung. Aku kembali teringat perkataan Rapi, harus ada harta yang atas namaku, bukan karena tidak percaya pada suami, akan tetapi untuk jaga-jaga. "Bang,
Suamiku JadulPart 23Yang kupercaya mengurus sapi itu benar-benar hilang, tak ada jejak sama sekali. Akan tetapi ternyata Bang Parlin diam-diam mencari juga. Aku tahu karena datang Rapi beserta dua orang lelaki paruh baya. "Ini orang tua kedua pemuda itu, Niyet," kata Rapi sambil menunjuk kedua orang tersebut. "Kami akan melapor ke polisi di Mandailing sana, jadi selamanya anak bapak akan jadi buronan, sebaiknya hubungi saja, biar kita selesaikan secara kekeluargaan," kata Bang Parlin. "Betul, aku juga jadi ikut merasa bersalah, karena aku yang rekomendasikan, niatku hanya membantunya, malahan jadi begini," sambung Rapi. "Mau bagaimana lagi, Pak, mereka memang tak bisa dihubungi, entah sudah berada di mana mereka," kata salah satu bapak tersebut. "Kalau tak ada penyelesaian dari kalian, akan kusebarkan di Facebook dan Twitter," ancamku kemudian. "Baik, akan terus kami coba hubungi, tapi kami tak bisa janji," kata bapak itu lagi. "Mereka sudah dewasa, perbuatan mereka tanggung
Suamiku JadulPart 24"Abang bohong lagi?" kataku di sela tawa. "Bohong di bagian mananya, Dek?""Ngapain Abang bilang kerja nyupiri istri juragan sawit?""Memang betul, Kok, untuk saat ini pekerjaan Abang memang hanya bawa-bawa istri juragan sawit, Abang kan gak bohong,""Abang memang bohong?""Ada juga memang bohong Abang tadi,""Yang mana, Bang,""Abang bilang bawa istri juragan cantik, padahal ... ""Padahal apa, Bang?" "Padahal bukan cuma cantik, tapi cantikkk sekali,"Kami sama-sama tertawa, kuelus perut yang sudah masuk delapan bulan, sebulan lagi aku akan melahirkan. Deg-degan juga menunggu, karena kata orang hamil di atas umur tiga puluh tahun itu sangat beresiko. Saat ini umurku sudah tiga puluh tiga. Aku lalu teringat perlengkapan bayi yang belum dibeli. "Bang supir, antar dulu nyonya beli perlengkapan bayi," kataku pada suami. "Siaaap, Bos," jawab suami seraya bergaya menghormat. Suami lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan aku naik dengan cara menjulurkan tangan
Suamiku JadulPart 25Akhirnya aku melahirkan secara normal, bayi laki-laki seberat tiga koma tiga kilo gram. Ketika Bang Parlin mengazankan bayi kami, suaranya sangat merdu sekali, sampai perawat menghentikan aktivitas mendengar suara azan Bang Parlin. Para keluarga datang menjenguk, Abangku yang tertua juga datang. Sepertinya abangku ini sudah berubah, dia tak lagi bicara merendahkan, tak juga bicara meminjam. Tak menyinggung soal kekayaan Bang Parlin sama sekali. "Suamimu membuat aku kena mental, Nia," kata abangku menjawab pertanyaan di hati. "Kena mental?""Iya, Nia, soal kebutuhan, soal keinginan, soal merendah, soal menilai orang dari penampilan, ah, aku banyak belajar dari dia," kata Abangku. Keesokan harinya Ayah mertua juga datang dari kampung. Beliau datang membawa oleh-oleh ulos khas batak. Bukan ulos baru, tapi ulos yang katanya sudah berusia enam puluh dua tahun, yang beliau dapat ketika lahir. Luar biasa, kain yang sudah enam puluh dua tahun masih kelihatan baik. D
Suamiku JadulPart 26Akhirnya kuajari juga suami main HP, katanya HP android sudah masuk kebutuhan, bukan lagi keinginan. Jaman sekarang apa-apa yang ditanya nomor WA, kalau kita gak punya WA, orang jarang menghubungi. Pertama kubuat nomorku dengan nama My Darling di HP-nya, dia justru protes, dan suruh diganti sama Umak Ucok. Akan tetapi kuantisipasi juga supaya dia tak berhubungan dengan Rara, entah kenapa aku selalu cemburu cara suami bicarakan Rara. Kumasukkan nomor Rara, baru kublokir, jahatnya aku. Tiba-tiba adik bungsuku memasukkan nomor Bang Parlin ke grup WA keluarga. Akhirnya itu saja yang dibahas Bang Parlin. "Dek, lihat ini, adik iparmu mau belanja pun pakai pengumuman," kata suami ketika ada pesan dari adik iparku di grup WA, pesannya begini. (Ke pasar dulu belanja, ada yang mau nitip gak) Duh, bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Bang Parlin? Ini sesuatu yang baru baginya, banyak yang akan dia temui yang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Setelah Bang Parl
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga