Suamiku Jadul
Part 33
(Niyet, si Danu dan Ilham sudah pulang)
Pesan WA dari Rapi siang itu. Danu dan Ilham adalah dua sepupunya yang melarikan sapiku. Segera kubalas chat Rapi tersebut.
(Rapet, tahan dulu mereka, kami mau buat perhitungan)
(Itulah, mereka mau datang ke rumahmu, katanya mau bayar utang, lelah juga mereka jadi buronan) Balas Rapi lagi.
(Ya, Udah, silakan datang)
Segera kuberitahu pada Bang Parlin, Bang Parlin justru seperti tidak percaya, menurutnya itu sesuatu yang tidak mungkin, karena kedua orang tersebut belum setahun pergi, menurutnya mereka pulang karena uang telah habis.
"Siapa tahu masih rezeki kita, Bang," kataku kemudian.
Benar juga, kedua orang itu datang bersama Rapi, akan tetapi orang tua mereka tidak ikut.
"Maafkan kami, Kak Nia," kata Danu seraya menyalami aku dan Bang Parlin. Ilham juga menyalami kami seraya minta maaf.
Suamiku JadulPart 34"Jadi, Abang ...?" tanyaku setengah percaya."Iya, Dek, udah janji gak boleh marah ya," jawab suami seraya menaik turunkan alisnya.Aku merasa yang jadul itu kini adalah aku, kukira Bang Parlin tak akan periksa sampai contreng dua kali itu. Padahal balasan pesanku sudah kuhapus duluan. Kukira aku yang mengerjai suami, ternyata aku yang dikerjai. Rasanya nano-nano, marah, kesal, malu. Akhirnya kupilih merajuk."Abang gitu ya, berarti Abang suka WA-an sama cewek," kataku seraya berdiri dan masuk rumah.Masih kulihat tatapan heran dari Ayah mertua sebelum aku menutup pintu kamar dengan keras."Dek, kan dah janji gak boleh marah," kata suami seraya mengetuk pintu kamar. Akan tetapi aku diam saja.Pagi harinya seluruh orang sudah sibuk, ketika aku keluar dari kamar bersama si ucok, tak ada lagi orang di rumah. Rumah panggung yang besar ini tinggal aku sendiri. Tak biasanya Ba
Suamiku JadulPart 35Panen sawit telah selesai, kami bersiap untuk pulang ke Medan. Perjalanan darat yang jauh sudah tak masalah lagi bagiku. Mungkin ini yang disebut orang "alah bisa karena biasa" makin sering ikut suami ke mana-mana. Makin terbiasa.Sampai di Medan kami dapat undangan aqiqah anak temanku. Aku selalu khawatir dengan pesta, karena Bang Parlin sangat sulit makan pakai sendok. Tak mungkin makan pakai tangan di tengah pesta."Bang, sini kuajari dulu Abang pakai sendok," kataku di suatu malam. Karena hari minggunya kami harus ke pesta, aku tak ingin suamiku malu. Karena di pesta ini akan hadir semua teman satu gengku."Ah, gak usah, Dek," jawab suami."Ayolah, Bang, biar gak malu kita,""Udah, Dek, kalau malu gak usah kita makan,""Ish, Abang, ngapain ke pesta kalau gak makan?""Ya, udah, gak usah kita ke pesta,""Sebel, adek kan mau nurut sama Abang, Abang pun har
Suamiku JadulPart 36Rencana perjalanan kami sudah matang. Liburan kali ini akan lebih berkesan, kami akan ke Sumatra Barat, kampung leluhur orang tuaku Menurut cerita Ayah, kakekku dulu merantau ke Medan. Lalu menikah dengan gadis Melayu Deli. Pernah juga aku di ajak pulang kampung, waktu itu aku masih SD. Dulunya Ayah bekerja sebagai penjahit, ibu juga penjahit. Tak ada yang menurun sama kami kepandaian orang tua. "Kita harus sewa supir, Dek, gak mungkin Abang yang nyetir terus," kata suami. "Iyalah, Bang, ini perjalanan jauh, sambil melihat-lihat lokasi," kataku kemudian. "Lokasi apa, Dek?""Adek mau seperti istri Bang Parta, ada CV-nya," "Kalau seluruh Sumatra sudah susah lokasi, Dek, musti ke Papua lah sekarang kalau mau cari lahan baru." "Adek bukan mau berkebun sawit tapi mau dirikan pabrik pengolahan minyak sawit jadi minyak goreng," kataku mantap. "Bukan sedikit itu modalnya, Dek? bisa habis uang kita semua," "Adek gak minta modal ke Abang, Adek akan menjalin kerjasa
Suamiku JadulPart 37Ternyata suami Rara yang dulu kini sudah berubah. Dia sudah bisa memahami keunikan hubungan Rara dan Bang Parlin. Akan tetapi aku masih sulit untuk memahami. Banyak pertanyaan dalam benakku. Bang Parlin selalu menyebut Rara sebagai orang dari masa lalunya. Orang yang menyemangati hidupnya, aku ingat perkataan Bang Parlin "Sama yang gak jelas saja aku bisa setia, apalagi yang jelas di depan mata," apa maksud kata setia-nya?Akan tetapi aku makin bingung, ternyata Rara itu sudah ditabalkan marga Siregar. Setahuku semarga itu tak boleh pacaran. Alasan penambalan marga untuk Rara juga masuk akal. Karena Bang Parlin sekeluarga tak ada anak perempuan. Sedangkan Rara ingin jadi orang Batak."Aku sudah kebal, biar saja, hubungan mereka unik dan positif. Tak mengurangi cinta pada pasangannya," kata suami Rara, "selama ini jika cerita kampung selalu Bang Parlin yang disebut, setalah kenal Bang Parlin baru aku paham." sambung suami
Suamiku jadulPart 38Perjalanan santai kami lanjut terus, kali ini kami singgah di kota Lubuk Sikaping, ibukota kabupaten Pasaman. Di kota ini kami cari tempat istirahat. Ada rumah makan yang menyediakan tempat solat dan tiduran."Uni, tempat wisata yang enak di sini di mana saja?" tanyaku pada seseorang wanita yang melayani kami makan."Oh, Bayang Aia, Air terjun Ciracai, terus ada Rimbo Panti," jawab wanita tersebut."Yang dekat mana, Uni?""Bayang Aia, hanya setengah jam dari sini, di sana enak, airnya jernih,""Oh, terima kasih, Uni," kataku kemudian. Ingin juga melihat Bayang Aia ini seperti apa."Dek, adek kenal wanita tadi?" tanya Bang Parlin, seraya bermain dengan anaknya."Gak, Bang, siapa pula yang kukenal di sini?""Kok adek tau namanya?""Mana adek tau, Bang,""Tapi adek tadi panggil Uni, namanya Uni ya?""Ya, Allah, Bang, Bang, Uni itu panggila
Suamiku JadulPart 39Musyawarah itu masih buntu, belum ada jalan keluar, masing-masing merasa punya hak untuk mengurus Ayah mereka di hari tuanya. Ada satu anak lagi, yaitu Pardamean, dia belum datang, padahal kata Rina, Dame juga sudah gelisah di sana. Sudah berencana mau ke Medan."Boleh bicara?" kataku seraya tunjuk tangan."Silakan," kata Bang Nyatan."Begini, menurutku digilir saja, dua bulan di sini, dua bulan di tempat Bang Parta, dua bulan lagi di tempat Bang Nyatan. Terus jangan lupa, masih ada yang paling bungsu, Dame," kataku kemudian."Gak bisa, Nia, Ayah sudah sakit begitu, mana mungkin dibawa perjalanan jauh lagi kami semua berjauhan, kecuali satu kota, mungkin bisa begitu," kata Bang Parta."Satu tahun di sana, satu tahun di sini," usulku lagi."Gak bisa juga, satu tahun itu waktu yang lama, bagaimana nanti Ayah tak sampai umurnya satu tahun lagi, aku tak bisa maafkan di
Part 40Hari berganti, aku mulai merasakan kejenuhan. Jenuh, karena tak ada kegiatan, seharian hanya berkutat dengan suami dan si Ucok kami. Akan tetapi suami malah enteng saja, dia seperti menikmati hidup. Pagi berkebun sayur di halaman rumah. Biarpun sayurnya lebih sering hilang. Aku merasa suamiku ini sudah berada di puncak kejayaannya. Ibarat mendaki dia sudah sampai puncak gunung tertinggi. Terbalik denganku yang masih punya ambisi banyak. Aku ingin bangun pabrik kelapa sawit. Akan tetapi suami seperti tak mendukung."Bang, rasanya jenuh juga tiap hari gini terus," kataku pada suami. Saat itu dia lagi mengayun anaknya. Salah satu kesukaannya memang mengayun anak seraya bernyanyi. Nyanyian selalu lagu jadul, saking judulnya aku tak tahu kapan lagu tersebut hit."Kalau bosan, jalan-jalan lagi," kata suami, dia menghentikan nyanyiannya sebentar lalu lanjut lagi."Kalau jalan-jalan terus sampai berapa lama uang kita tahan, Bang,"&
Suamiku JadulDeg-degan aku menunggu respon suami, chat itu sepertinya sudah terbaca. Akan tetapi dia sudah tertidur lelap. Aku tak dapat tidur. Fitnah itu sangat mengganggu pikiranku.Ini sepertinya orang dekat, sampai tahu jumlah mantanku, tapi siapa dia? Semua teman sudah keselidiki tak ada yang mengaku.Dulu, waktu remaja memang aku sering gonta-ganti pacar, tapi bukan berarti aku gak perawan lagi ketika menikah. Pacaran bagiku masih dalam hal yang wajar. Masa SMA saja aku sudah pernah dekat dengan tiga pria. Belum lagi masa kuliah, benar yang akun misterius itu, aku punya mantam sebelas orang. Tapi kan kadang hanya dua bulan, tak ada yang bertahan lama.Ketika subuh tiba, seperti biasa suami bangun dan mandi, lalu mendirikan salat subuh. Aku makin deg-degan, karena suami tak mengajakku salat. Biasanya kami salat subuh berjamaah. Apakah dia percaya dengan chat tersebut?"Dek, salat dulu," kata suami seraya menggoyang bahuku. P