ParliNia 2Part 11Guru dan murid itu menghentikan perkelahian mereka. Aku sudah berdiri di antara mereka seraya mengangkat dua tangan. "Ada apa dengan kalian?" kataku kemudian."Murid durhaka!" teriak Bang Parlin seraya menunjuk Torkis."Guru yang zalim," balas Torkis."Kau murid durhaka, kuajari kau semua, malah melawan, tapi aku bangga padamu, Torkis, mau melawan kejahatan biarpun dilakukan oleh guru sendiri, semoga makin banyak orang seperti kau," kata Bang Parlin, seraya menepuk pundak Torkis.Dua pria kekar itu lalu berpelukan. Ah, sebel juga, mereka tadi sudah marah-marahan, adu mulut dan adu jotos, kini sudah berpelukan."Terima kasih sudah jaga Bu Nia," kata Bang Parlin lagi."Iya, Pak, jika kudengar Bu Nia disakiti, aku akan bertindak, awas saja, Pak," kata Torkis."Iya, itu yang membuat aku salut padamu, kau bisa melawan guru zalim," kata Bang Parlin."Sebentar-sebentar," potongku kemudian."Iya, Dek,""Jadi Abang sudah ngaku zalim?" tanyaku kemudian."Ummm, itu, oh, apa
ParliNiaPart 12Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam, Bang Parlin juga lebih fokus ke jalanan. Butet justru yang banyak bicara."Ma, kata ayah hari Senin ini kita mau terima penghargaan dari bupati," kata Butet."Iya," jawabku singkat saja."Kita keluarga teladan," kata Butet lagi."Iya, keluarga teladan yang berantam," Ucok ikut bicara."Memang ada keluarga yang tidak pernah ribut?" tanya Bang Parlin."Ada, Bang Torkis, mereka yang pantas dapat penghargaan itu," kata Ucok."Ah, kau, Cok, tahu apa, kau masih remaja, biar tau kau ya, Cok, keluarga yang baik itu bukan keluarga yang tak pernah ribut, yang tak pernah bermasalah, tapi keluarga yang jika ada masalah diselesaikan bersama dengan kepala dingin, bukan dengan kabur," kata Bang Parlin.Lah, dia sindir aku, aku lagi malas untuk berdebat, sementara Ucok terus bicara pada ayahnya."Kita memang tak pantas dapat gelar itu," kata Ucok lagi."Heh, Cok, yang nilai itu orang dari BKKBN, mereka punya penilaian sendiri," kata
Part 13"Butet, sini dulu mamak bilang," kataku pada Butet seraya memeluk pundak putriku tersebut."Iya, Mak," jawab Butet."Jangan suka nguping pembicaraan orang dewasa, ya, gak boleh itu, Nak," kataku lagi."Aku gak nguping kok, orang mamak aja yang suaranya keras," kilah Butet."Iya, Tet, jika ayah dan mamak bicara, apalagi dalam kamar, gak usah dengarin," kataku lagi. "Iya, Mak, iya, aku pun malasnya dengarnya, bilang ayah jika bicara suaranya pelan, macam bicara di pasar saja kalian, didengar orang, eh, orang yang dengar dituduh nguping," Butet justru mengomel. Tampak sekali anak ini keturunan mamaknya.Lima hari kutinggal, sudah banyak berkas yang harus ditandatangani, akan tetapi karena hari Minggu tak juga kukerjakan, aku justru beberes rumah dibantu Ucok dan Butet."Cok, ayahmu mana?" tanyaku pada Ucok yang lagi sibuk bantu nyapu. Sebenarnya aku sudah tahu Bang Parlin ke kebun, hanya basa-basi dengan Ucok."Ke kebun, Mak," jawab Ucok."Cok, bagaimana menurutmu, kita terima g
ParliNiaPart 14Aku yang berdiri di samping Bang Parlin tak tahu harus bagaimana bersikap, haruskah kuutarakan isi hati di depan orang ramai begini?"Manis sekali!" teriak seseorang yang duduk paling depan.Suara gemuruh tepuk tangan justru membuat aku makin sakit hati, dalam acara begini pun nama Rara masih disebut. Pengunjung pun memuji Bang Parlin. Lalu migrofon kembali ke tangan Pak Bupati. "Semua orang punya idola, jika Parlindungan Siregar mengidolakan dokter, saya justru mengidolakan Pak Parlin, dia lelaki hebat yang pernah kukenal," kata Pak Bupati lagi. Tepuk tangan pun kembali bergemuruh."Tahukah kalian, selain guru ngaji, mantan politikus, Pak Parlin ini juga seorang seniman, dia piawai memainkan seruling, dia jago menyanyikan lagu ungut-ungut. Kesenian daerah yang hampir punah, mungkin di dunia ini tinggal tiga lagi yang bisa menyanyikan ungut-ungut tersebut, Pak Parlin ini salah satunya," kata Pak walikota lagi.Bang Parlin yang dulu tidak mau dipuji, kini seperti g
ParliNiaPart 15Keesokan harinya, Niyet benar-benar dijual, uangnya cukup banyak juga, hampir lima puluh juta."Dek, ini uangnya, kita belikan apa?" tanya Bang Parlin di sore itu."Terserah, Bang," jawabku."Jangan gitulah, Dek, biasanya kau yang selalu punya ide," kata Bang Parlin lagi."Terserah, Bang, bukannya Abang bilang hari itu untuk mesjid" kataku kemudian."Iya, memang, tapi mana tau kau butuh atau punya ide lain," kata Bang Parlin."Gak, Bang," jawabku. Sebenarnya aku kecewa, karena selama ini setiap ada uang yang nganggur, akulah yang pegang, disimpan di rekeningku, akan tetapi kali ini Bang Parlin justru bertanya dibelikan apa. Apa karena uang hasil penjualan sapi pemberian Rara?Hambar, itulah yang terjadi sekarang, semua terasa hambar. Bahkan makan pun rasanya tidak enak lagi. Kerja pun tidak bergairah. Semangat hidupku rasanya sudah turun drastis.Sementara itu tahapan pemilihan kepala desa sudah dimulai, panitia sudah dibentuk. Para panitia ini sudah ikut pendidikan d
a 2Part 16Bang Parlin benar-benar membuat tempat ini jadi spesial. Aku jadi teringat tempat wisata tangga seribu yang ada di kabupaten Tapanuli Tengah. Mirip seperti itu, bedanya jika yang tangga seribu, di puncak bukit ada kuburan wali, yang ini justru ada batu."Sampai sekarang, batu ini masih misterius, Mak," kata Ucok seraya menunjuk batu besar tersebut."Misteri bagaimana, Cok?""Bagaimana bisa batu besar begini di atas bukit? Siapa yang angkat kemari," kata Ucok."Semua misteri kalau dipikir-pikir, Cok, macam danau Toba siapa yang gali itu, tapi itulah fenomena alam, Cok," kataku coba menjelaskan."Ayah cerita, batu ini dulu milik raksasa, raksasa itu lagi bertempur dengan manusia memperebutkan seorang pangeran," "Sebentar, Pangeran?""Iya, Mak, raksasanya perempuan, dibalik bukit itu tempat raksasa, di balik sana lagi tempat manusia, raksasa itu mengamuk, dia mengangkat batu besar, tapi sebelum dia sempat melemparkan batu itu, sudah dipanah orang pakai panah beracun, jadi
ParliNia 2Part 17Tahapan pemilihan kepala desa terus berjalan. Masyarakat desa justru jadi terbelah, ada yang dukung Bang Parlin, ada yang dukung aku. Dengan majunya kami berdua, tiga orang yang sudah mendaftar pun mengundurkan diri. Tinggal kami berdua yang akan maju. Sementara itu hubungan rumah tangga kami makin panas dingin, Bang Parlin sepertinya sudah menyerah, dia kini tak pernah menyentuhku lagi. Ada juga sedikit rasa bersalah, akan tetapi aku memang harus memberikan pelajaran untuk Bang Parlin.Pagi itu Ria datang ke rumah, begitu datang justru langsung marah-marah."Ada apa dengan kalian, Kak, makin ke sini kalian makin seperti anak-anak, masa suami istri sama-sama calon kepala desa," kata adik kandungku tersebut."Entah, aku juga tidak tahu, Ria, aku mau cerai," jawabku."Cerai?'"Iya," "Kenapa, alasannya?""Sulit untuk dijelaskan, Ria, pokoknya aku mau cerai, aku sakit hati selama ini," kataku lagi."Ya, ampun, Kak, segitu baiknya, Bang Parlin, kakak mau cerai," kata
ParliNia Part 18Bang Parlin ternyata serius, dia menyusun beberapa barang ke mobil. Padahal jarak rumah dan kebun hanya sekitar dua puluh lima kilometer. Akan tetapi ini seperti perpisahan yang menyedihkan.Tiga orang guru mengaji sudah datang, Bang Parlin memberikan wejangan panjang lebar."Kuserahkan pada kalian urusan sekolah ini, kalian yang bertanggungjawab penuh. Kau ketuanya, kau wakil, dan kau sekretaris merangkap bendahara. Terserah kalian mau buat seperti apa sekolah ini. Satu yang pasti, jangan pernah mengutip uang dari orang tua murid," kata Bang Parlin. Belakangan ini memang sekolah mengaji itu sudah diurus oleh tiga anak angkat Bang Parlin, dia hanya ikut mengajar sesekali. Kini resmi dia serahkan ke anak angkatnya."Ucok, kau kini kepala rumah tangga, kau laki-laki paling besar, ingat ya, jangan sembarangan pakai ilmu itu," kata Bang Parlin pada Ucok."Siap, Ayah, perintah siap dilaksanakan," kata Ucok bergaya bak tentara saja."Kau, Butet, udah dewasa kau, jangan ce