ParliNiaPart 14Aku yang berdiri di samping Bang Parlin tak tahu harus bagaimana bersikap, haruskah kuutarakan isi hati di depan orang ramai begini?"Manis sekali!" teriak seseorang yang duduk paling depan.Suara gemuruh tepuk tangan justru membuat aku makin sakit hati, dalam acara begini pun nama Rara masih disebut. Pengunjung pun memuji Bang Parlin. Lalu migrofon kembali ke tangan Pak Bupati. "Semua orang punya idola, jika Parlindungan Siregar mengidolakan dokter, saya justru mengidolakan Pak Parlin, dia lelaki hebat yang pernah kukenal," kata Pak Bupati lagi. Tepuk tangan pun kembali bergemuruh."Tahukah kalian, selain guru ngaji, mantan politikus, Pak Parlin ini juga seorang seniman, dia piawai memainkan seruling, dia jago menyanyikan lagu ungut-ungut. Kesenian daerah yang hampir punah, mungkin di dunia ini tinggal tiga lagi yang bisa menyanyikan ungut-ungut tersebut, Pak Parlin ini salah satunya," kata Pak walikota lagi.Bang Parlin yang dulu tidak mau dipuji, kini seperti g
ParliNiaPart 15Keesokan harinya, Niyet benar-benar dijual, uangnya cukup banyak juga, hampir lima puluh juta."Dek, ini uangnya, kita belikan apa?" tanya Bang Parlin di sore itu."Terserah, Bang," jawabku."Jangan gitulah, Dek, biasanya kau yang selalu punya ide," kata Bang Parlin lagi."Terserah, Bang, bukannya Abang bilang hari itu untuk mesjid" kataku kemudian."Iya, memang, tapi mana tau kau butuh atau punya ide lain," kata Bang Parlin."Gak, Bang," jawabku. Sebenarnya aku kecewa, karena selama ini setiap ada uang yang nganggur, akulah yang pegang, disimpan di rekeningku, akan tetapi kali ini Bang Parlin justru bertanya dibelikan apa. Apa karena uang hasil penjualan sapi pemberian Rara?Hambar, itulah yang terjadi sekarang, semua terasa hambar. Bahkan makan pun rasanya tidak enak lagi. Kerja pun tidak bergairah. Semangat hidupku rasanya sudah turun drastis.Sementara itu tahapan pemilihan kepala desa sudah dimulai, panitia sudah dibentuk. Para panitia ini sudah ikut pendidikan d
a 2Part 16Bang Parlin benar-benar membuat tempat ini jadi spesial. Aku jadi teringat tempat wisata tangga seribu yang ada di kabupaten Tapanuli Tengah. Mirip seperti itu, bedanya jika yang tangga seribu, di puncak bukit ada kuburan wali, yang ini justru ada batu."Sampai sekarang, batu ini masih misterius, Mak," kata Ucok seraya menunjuk batu besar tersebut."Misteri bagaimana, Cok?""Bagaimana bisa batu besar begini di atas bukit? Siapa yang angkat kemari," kata Ucok."Semua misteri kalau dipikir-pikir, Cok, macam danau Toba siapa yang gali itu, tapi itulah fenomena alam, Cok," kataku coba menjelaskan."Ayah cerita, batu ini dulu milik raksasa, raksasa itu lagi bertempur dengan manusia memperebutkan seorang pangeran," "Sebentar, Pangeran?""Iya, Mak, raksasanya perempuan, dibalik bukit itu tempat raksasa, di balik sana lagi tempat manusia, raksasa itu mengamuk, dia mengangkat batu besar, tapi sebelum dia sempat melemparkan batu itu, sudah dipanah orang pakai panah beracun, jadi
ParliNia 2Part 17Tahapan pemilihan kepala desa terus berjalan. Masyarakat desa justru jadi terbelah, ada yang dukung Bang Parlin, ada yang dukung aku. Dengan majunya kami berdua, tiga orang yang sudah mendaftar pun mengundurkan diri. Tinggal kami berdua yang akan maju. Sementara itu hubungan rumah tangga kami makin panas dingin, Bang Parlin sepertinya sudah menyerah, dia kini tak pernah menyentuhku lagi. Ada juga sedikit rasa bersalah, akan tetapi aku memang harus memberikan pelajaran untuk Bang Parlin.Pagi itu Ria datang ke rumah, begitu datang justru langsung marah-marah."Ada apa dengan kalian, Kak, makin ke sini kalian makin seperti anak-anak, masa suami istri sama-sama calon kepala desa," kata adik kandungku tersebut."Entah, aku juga tidak tahu, Ria, aku mau cerai," jawabku."Cerai?'"Iya," "Kenapa, alasannya?""Sulit untuk dijelaskan, Ria, pokoknya aku mau cerai, aku sakit hati selama ini," kataku lagi."Ya, ampun, Kak, segitu baiknya, Bang Parlin, kakak mau cerai," kata
ParliNia Part 18Bang Parlin ternyata serius, dia menyusun beberapa barang ke mobil. Padahal jarak rumah dan kebun hanya sekitar dua puluh lima kilometer. Akan tetapi ini seperti perpisahan yang menyedihkan.Tiga orang guru mengaji sudah datang, Bang Parlin memberikan wejangan panjang lebar."Kuserahkan pada kalian urusan sekolah ini, kalian yang bertanggungjawab penuh. Kau ketuanya, kau wakil, dan kau sekretaris merangkap bendahara. Terserah kalian mau buat seperti apa sekolah ini. Satu yang pasti, jangan pernah mengutip uang dari orang tua murid," kata Bang Parlin. Belakangan ini memang sekolah mengaji itu sudah diurus oleh tiga anak angkat Bang Parlin, dia hanya ikut mengajar sesekali. Kini resmi dia serahkan ke anak angkatnya."Ucok, kau kini kepala rumah tangga, kau laki-laki paling besar, ingat ya, jangan sembarangan pakai ilmu itu," kata Bang Parlin pada Ucok."Siap, Ayah, perintah siap dilaksanakan," kata Ucok bergaya bak tentara saja."Kau, Butet, udah dewasa kau, jangan ce
ParliNia 2Part 18Bang Parlin masih sempat bilang tidak mau ke rumah sakit, akan tetapi aku sudah geram dan kesal. Kuangkat paksa ke dalam mobil bak terbuka, terus salah satu karyawan yang jadi sopir, kami berangkat. Ucok dan Butet juga ikut, kami berempat di belakang mobil pick up tersebut. Pahaku jadi bantal Bang Parlin. Ucok memegangi kaki ayahnya. Butet memijit-mijit perut ayahnya."Senjata makan tuan, Dek, ternyata begini rasanya orang yang kubuat sakit selama ini, aku sudah banyak berbuat dosa, Ya, Allah, ampuni aku ya Allah," Bang Parlin masih berguman.Mobil terus melaju melewati jalan tanah perkebunan sawit. Terus kudekap Bang Parlin. Tak terasa air mataku menetes dan jatuh tepat ke pipi Bang Parlin."Terima kasih, Dek, terima kasih untuk menangis untukku," kata Bang Parlin.Aku justru makin menangis, tak bisa kulap air mataku karena harus berpegangan di sisi truk tersebut. "Adek bilang aku tak pernah menangis untuk adek, kan, sering, Dek sering, tapi aku harus tegar, tang
ParliNia 2Part 19Malam itu seperti malam pelampiasan hasrat yang tertunda beberapa bulan. Aku juga harus jujur, aku sudah rindu. Akan tetapi ada yang membuat gairahku tiba-tiba sirna. Kebiasaan Bang Parlin memejamkan mata jika sedang berhubungan. "Kenapa sih harus pejamkan mata, Bang," tanyaku sedikit kesal."Kebiasaan, Dek, sulit untuk dirubah," jawab Bang Parlin tanpa membuka matanya."Kebiasaan bayangkan Rara ya?" kataku lagi."Astagfirullah, jangan suozon mulu, Dek," kata Bang Parlin."Kalau begitu, katakan alasannya, Bang, kenapa harus mata terpejam, ataukah aku terlalu jelek untuk dilihat?" tanyaku lagi."Kau aneh, Dek, sudah enam belas tahun terpejam, baru hari ini ditanyakan, tapi baiklah, aku terangkan juga" kata Bang Parlin."Ok, Bang, ditunggu," "Manusia itu punya panca Indra, Dek, lima panca indra ini ikut menikmati saat berhubungan. Jadi aku paling suka indra peraba, yaitu kulit, untuk mendapat sensasi lebih dari indra peraba ini, aku mematikan Indra yang lain, yait
ParliNia 2Part 20Aku memang sudah salah paham, akan tetapi aku tetap merasa sakit hati. Rasanya Bang Parlin cepat bilang leleh jika untukku, sedangkan untuk Rara, dia mau menunggu sampai belasan tahun. Dia tidak lelah menunggu, sampai umurnya tiga puluh enam tahun baru menikah, itupun karena Rara yang duluan menikah. Dia tidak lelah, padahal menunggu adalah pekerjaan yang paling melelahkan. Dia juga seperti ingin mengulang masa lalunya, memilih menyendiri di kebun, dari pada coba untuk membujukku lagi. Usahanya selama ini hanya ide anak-anak yang tidak mau punya orang tua yang berpisah. Entahlah, aku makin merasa sakit hati, ketika dia Bang Parlin bilang "lelah" seakan-akan aku beban yang sangat berat. Padahal dia tidak lelah memperjuangkan Rara, dia tidak lelah mewujudkan cita-cita Ayah Rara. Bahkan dia keluar dari prinsip hidupnya demi gelar keluarga teladan itu. Impian ayah Rara yang tak kesampaian.Apakah Bang Parlin akan bernasib seperti ayah' Rara? Yang luar biasa baik tapi
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga