ParliNiaPart 15Keesokan harinya, Niyet benar-benar dijual, uangnya cukup banyak juga, hampir lima puluh juta."Dek, ini uangnya, kita belikan apa?" tanya Bang Parlin di sore itu."Terserah, Bang," jawabku."Jangan gitulah, Dek, biasanya kau yang selalu punya ide," kata Bang Parlin lagi."Terserah, Bang, bukannya Abang bilang hari itu untuk mesjid" kataku kemudian."Iya, memang, tapi mana tau kau butuh atau punya ide lain," kata Bang Parlin."Gak, Bang," jawabku. Sebenarnya aku kecewa, karena selama ini setiap ada uang yang nganggur, akulah yang pegang, disimpan di rekeningku, akan tetapi kali ini Bang Parlin justru bertanya dibelikan apa. Apa karena uang hasil penjualan sapi pemberian Rara?Hambar, itulah yang terjadi sekarang, semua terasa hambar. Bahkan makan pun rasanya tidak enak lagi. Kerja pun tidak bergairah. Semangat hidupku rasanya sudah turun drastis.Sementara itu tahapan pemilihan kepala desa sudah dimulai, panitia sudah dibentuk. Para panitia ini sudah ikut pendidikan d
a 2Part 16Bang Parlin benar-benar membuat tempat ini jadi spesial. Aku jadi teringat tempat wisata tangga seribu yang ada di kabupaten Tapanuli Tengah. Mirip seperti itu, bedanya jika yang tangga seribu, di puncak bukit ada kuburan wali, yang ini justru ada batu."Sampai sekarang, batu ini masih misterius, Mak," kata Ucok seraya menunjuk batu besar tersebut."Misteri bagaimana, Cok?""Bagaimana bisa batu besar begini di atas bukit? Siapa yang angkat kemari," kata Ucok."Semua misteri kalau dipikir-pikir, Cok, macam danau Toba siapa yang gali itu, tapi itulah fenomena alam, Cok," kataku coba menjelaskan."Ayah cerita, batu ini dulu milik raksasa, raksasa itu lagi bertempur dengan manusia memperebutkan seorang pangeran," "Sebentar, Pangeran?""Iya, Mak, raksasanya perempuan, dibalik bukit itu tempat raksasa, di balik sana lagi tempat manusia, raksasa itu mengamuk, dia mengangkat batu besar, tapi sebelum dia sempat melemparkan batu itu, sudah dipanah orang pakai panah beracun, jadi
ParliNia 2Part 17Tahapan pemilihan kepala desa terus berjalan. Masyarakat desa justru jadi terbelah, ada yang dukung Bang Parlin, ada yang dukung aku. Dengan majunya kami berdua, tiga orang yang sudah mendaftar pun mengundurkan diri. Tinggal kami berdua yang akan maju. Sementara itu hubungan rumah tangga kami makin panas dingin, Bang Parlin sepertinya sudah menyerah, dia kini tak pernah menyentuhku lagi. Ada juga sedikit rasa bersalah, akan tetapi aku memang harus memberikan pelajaran untuk Bang Parlin.Pagi itu Ria datang ke rumah, begitu datang justru langsung marah-marah."Ada apa dengan kalian, Kak, makin ke sini kalian makin seperti anak-anak, masa suami istri sama-sama calon kepala desa," kata adik kandungku tersebut."Entah, aku juga tidak tahu, Ria, aku mau cerai," jawabku."Cerai?'"Iya," "Kenapa, alasannya?""Sulit untuk dijelaskan, Ria, pokoknya aku mau cerai, aku sakit hati selama ini," kataku lagi."Ya, ampun, Kak, segitu baiknya, Bang Parlin, kakak mau cerai," kata
ParliNia Part 18Bang Parlin ternyata serius, dia menyusun beberapa barang ke mobil. Padahal jarak rumah dan kebun hanya sekitar dua puluh lima kilometer. Akan tetapi ini seperti perpisahan yang menyedihkan.Tiga orang guru mengaji sudah datang, Bang Parlin memberikan wejangan panjang lebar."Kuserahkan pada kalian urusan sekolah ini, kalian yang bertanggungjawab penuh. Kau ketuanya, kau wakil, dan kau sekretaris merangkap bendahara. Terserah kalian mau buat seperti apa sekolah ini. Satu yang pasti, jangan pernah mengutip uang dari orang tua murid," kata Bang Parlin. Belakangan ini memang sekolah mengaji itu sudah diurus oleh tiga anak angkat Bang Parlin, dia hanya ikut mengajar sesekali. Kini resmi dia serahkan ke anak angkatnya."Ucok, kau kini kepala rumah tangga, kau laki-laki paling besar, ingat ya, jangan sembarangan pakai ilmu itu," kata Bang Parlin pada Ucok."Siap, Ayah, perintah siap dilaksanakan," kata Ucok bergaya bak tentara saja."Kau, Butet, udah dewasa kau, jangan ce
ParliNia 2Part 18Bang Parlin masih sempat bilang tidak mau ke rumah sakit, akan tetapi aku sudah geram dan kesal. Kuangkat paksa ke dalam mobil bak terbuka, terus salah satu karyawan yang jadi sopir, kami berangkat. Ucok dan Butet juga ikut, kami berempat di belakang mobil pick up tersebut. Pahaku jadi bantal Bang Parlin. Ucok memegangi kaki ayahnya. Butet memijit-mijit perut ayahnya."Senjata makan tuan, Dek, ternyata begini rasanya orang yang kubuat sakit selama ini, aku sudah banyak berbuat dosa, Ya, Allah, ampuni aku ya Allah," Bang Parlin masih berguman.Mobil terus melaju melewati jalan tanah perkebunan sawit. Terus kudekap Bang Parlin. Tak terasa air mataku menetes dan jatuh tepat ke pipi Bang Parlin."Terima kasih, Dek, terima kasih untuk menangis untukku," kata Bang Parlin.Aku justru makin menangis, tak bisa kulap air mataku karena harus berpegangan di sisi truk tersebut. "Adek bilang aku tak pernah menangis untuk adek, kan, sering, Dek sering, tapi aku harus tegar, tang
ParliNia 2Part 19Malam itu seperti malam pelampiasan hasrat yang tertunda beberapa bulan. Aku juga harus jujur, aku sudah rindu. Akan tetapi ada yang membuat gairahku tiba-tiba sirna. Kebiasaan Bang Parlin memejamkan mata jika sedang berhubungan. "Kenapa sih harus pejamkan mata, Bang," tanyaku sedikit kesal."Kebiasaan, Dek, sulit untuk dirubah," jawab Bang Parlin tanpa membuka matanya."Kebiasaan bayangkan Rara ya?" kataku lagi."Astagfirullah, jangan suozon mulu, Dek," kata Bang Parlin."Kalau begitu, katakan alasannya, Bang, kenapa harus mata terpejam, ataukah aku terlalu jelek untuk dilihat?" tanyaku lagi."Kau aneh, Dek, sudah enam belas tahun terpejam, baru hari ini ditanyakan, tapi baiklah, aku terangkan juga" kata Bang Parlin."Ok, Bang, ditunggu," "Manusia itu punya panca Indra, Dek, lima panca indra ini ikut menikmati saat berhubungan. Jadi aku paling suka indra peraba, yaitu kulit, untuk mendapat sensasi lebih dari indra peraba ini, aku mematikan Indra yang lain, yait
ParliNia 2Part 20Aku memang sudah salah paham, akan tetapi aku tetap merasa sakit hati. Rasanya Bang Parlin cepat bilang leleh jika untukku, sedangkan untuk Rara, dia mau menunggu sampai belasan tahun. Dia tidak lelah menunggu, sampai umurnya tiga puluh enam tahun baru menikah, itupun karena Rara yang duluan menikah. Dia tidak lelah, padahal menunggu adalah pekerjaan yang paling melelahkan. Dia juga seperti ingin mengulang masa lalunya, memilih menyendiri di kebun, dari pada coba untuk membujukku lagi. Usahanya selama ini hanya ide anak-anak yang tidak mau punya orang tua yang berpisah. Entahlah, aku makin merasa sakit hati, ketika dia Bang Parlin bilang "lelah" seakan-akan aku beban yang sangat berat. Padahal dia tidak lelah memperjuangkan Rara, dia tidak lelah mewujudkan cita-cita Ayah Rara. Bahkan dia keluar dari prinsip hidupnya demi gelar keluarga teladan itu. Impian ayah Rara yang tak kesampaian.Apakah Bang Parlin akan bernasib seperti ayah' Rara? Yang luar biasa baik tapi
ParliNia 2Part 21Bang Parlin terduduk lesu, dua tangannya memegangi kepala. Dia seperti memijit kepalanya. Sementara Butet masih berkacak pinggang di depan Bang Parlin."Ya, Allah, ada anak mau memecat ayahnya, apakah aku gagal sebagai orang tua?" kata Bang Parlin, dia masih terduduk, dua tangannya masih memegang kepala."Ya, Ayah gagal, ayah memang berhasil jadi orang baik, sampai ke Bandung sana pun ayah pergi untuk urus orang, bohong sama mamak, ajari aku berbohong, tapi gak tau mau anak sendiri," kata Butet lagi.Butet ternyata masih ingat kebohongan ayahnya yang satu itu, benar juga kata orang wanita itu pengingat sejarah paling jago. Padahal saat itu Bang Parlin mau jenguk Rara yang sakit, dia berbohong padaku, dia bilang dia mau menghadiri undangan. Butet akhirnya pergi dengan mulut masih monyong, lucu juga melihat anakku ini memarahi ayahnya, Bang Parlin seperti tak bisa bicara banyak di depan anak gadisnya tersebut. Satu kalimat dari Bang Parlin, Butet ngoceh panjang leba