Masih belum hilang keterkejutanku, Doli menceraikan Naomi? padahal mereka baru nikah tiga hari. Sementara Doli terus kirim pesan WA, hanya kubaca tak tahu bagaimana harus membalasnya.
(Naomi menipuku, dia tidak jujur, aku sangat sakit hati) pesan dari Doli lagi.
(Kembalilah padaku, Ayu, aku sayang padamu, entah kenapa belakangan ini, kurasa Naomi memeletku, tanpa ada sebab berarti, tiba-tiba saja aku benci padamu dulu, setelah aku tahu Naomi tak perawan, rasa benci yang dulu kini berubah cinta,"
Dalam hati aku tertawa, tapi tawa sedih, sedih memikirkan nasib Naomi, dia sudah diceraikan, dituduh pula memelet Doli, padahal ini perbuatan Bang Torkis, entah bagaimana perasaanku, dulu aku sangat terpukul ditinggal nikah sama Doli, sekarang aku justru bersyukur.
Apakah aku marah pada Bang Torkis? Seharusnya jika dipikir-pikir aku harusnya marah, dia telah membuat Doli meninggalkanku, akan tetapi entah kenapa hati ini aku just
Acara lamaran jadi kacau, Doli terus meracau, dia memegang bibirnya yang sudah berdarah. “Akan kulaporkan kau ke polisi,” teriak Doli. Sementara Bang Torkis sudah lebih baik, dia tak emosi lagi, Pak Parlin memeganginya. Doli pergi, sebelum pergi masih sempat dia ucapkan kata ancaman, akan tetapi Bang Torkis tetap tenang. Setelah Doli pergi kami lanjutkan lagi pembicaraan lamaran. Semua sudah disepakati. Maharku seratus juta dan dua puluh gram emas. Tak ada yang menyinggung soal panjar tersebut. Acara dilanjutkan dengan makan bersama, ketika aku menyiapkan makanan di dapur, datang Bu Nia. “Ayu, bisa bicara bentar,” kata Bu Nia. “Boleh, Bu, boleh,” jawabku seraya memberikan tempat duduk untuknya. “Begini, Ayu, Torkis itu punya karakter yang unik, kalau orang tak memahaminya, cenderung tidak suka, dia benci orang sombong, itu kelemahannya, aku bilang kelemahan karena di kota ini akan banyak bertemu orang sombong. Coba bayangkan jika setiap hari bertemu orang seperti mantan pacarmu
Kami memang keluarga yang saling percaya selama ini, dua kakak iparku tak pernah bermasalah denganku, kami bahkan sering saling pinjam, aku tahu kunci layar HP kedua kakak iparku itu, begitu juga dengan mereka, tak ada yang disembunyikan. Aku sering pinjam ATM mereka, karena selama ini aku adalah pengangguran. Begitu juga sebaliknya, mereka sering pinjam ATM-ku.Akan tetapi uang ternyata bisa mengubah segalanya. Jika Bang Torkis bisa berubah karena cinta, Kak Yanti berubah karena uang. Sebenarnya aku sudah merasakan itu pertamanya kali dia dengar aku dapat panjar mahar. Dia juga ngajak korupsi uang Bang Torkis, akan tetapi aku tak menyangka dia sampai begini. Bekerja sama dengan Doli.Kini aku terkurung di tempat yang tidak kutahu, pelakunya sudah jelas, tak takutkah mereka hukum, apa mereka pikir aku akan diam saja setelah ini?“Ayu, aku lakukan ini demi kebaikanmu juga,” kata Doli lagi.“Kebaikan apaan? Yang ada
Ketika sampai di rumah, peluk tangis dari seluruh keluarga kudapatkan, Ayah yang paling kuat suara tangisnya, dia sampai sesenggukan, sedangkan ibuku terus saja mengucapkan syukur alhamdulillah.Ternyata di rumah sudah berkumpul semua, ada Pak Parlin dan Bu Nia, juga dua anak mereka, yang tidak hadir hanya Kak Yanti. Aku baru tahu ternyata mereka tak lapor polisi karena saran dari Pak Parlindungan, Pak Parlin bilang dia punya cara yang lain, tanpa melibatkan polisi, dia suruh murid kesayangannya yang lakukan, dialah Torkis, calon suamiku.“Bu Nia, boleh bicara?” kataku pada Bu Nia.“Boleh, boleh,” jawabnya, kami lalu berjalan keluar dari rumah, duduk di teras dan aku mulai bertanya.“Bu, apa benar Pak Parlin tukang santet?” tanyaku langsung saja jujur aku mulai khawatir, tak bisa kubayangkan punya mertua angkat tukang santet.“Hahaha,” Bu Nia justru tertawa sampai gusinya k
“Baiklah, Ayu, aku hargai keputusanmu, akan tetapi aku tetap menunggu sampai kau siap,” kata Bang Torkis seraya pergi.Aku tetap pada pendirian, tak sanggup rasanya punya suami seperti Bang Torkis bukan karena dia jahat, akan tetapi entah kenapa dia seperti mengundang orang berbuat jahat. Kak Yanti contohnya, dia selama ini baik, biar pun matre, akan tetapi pada dasarnya dia baik, kami sangat akrab. Setelah Bang Torkis datang, dia berubah jadi koruptor, bahkan bekerja sama dengan penculik meninggalkan suaminya. Aku tak bisa bayangkan bagaimana kehidupanku jika jadi istri Bang Torkis.“Apaaa, gak jadi?” kata Kak Lana ketika kukatakan tentang pernikahan yang batal.“Iya, Kak, batal,”“Kamu kenapa sih? Ayu, kita harus bicarakan ini dengan semua keluarga,” kata Kak Lana seraya mengambil telepon dan menghubungi semua orang.Tak berapa lama kemudian, seluruh keluargaku berkumpul,
Betul juga kata orang tua, seseorang bisa kalah dengan egonya sendiri. Itu terjadi padaku, karena tak rela Bang Torkis sama Naomi, aku mau nikah saat itu juga, akan tetapi ternyata aku dikerjai. Orang tuaku sepertinya terlibat.Aku kembali masuk kamar, tak jadi kutanyakan pada Pak Parlin, sampai di kamar aku munyun.“Kenapa, Dek Yu?” tanya Bang Torkis.“Aku dikerjai, Bang,”“Siapa yang ngerjai, bilang sama Abang biar Abang balas,” kata Bang Torkis.“Abang gak akan berani,”“Berani, Dek, selama orang itu masih makan nasi, Abang gak takut,” kata Bang Torkis.“Yakin, Bang,”“Yakin sekali, Dek, adek tau gak, pernah datang preman ke kebun, dia sangat ditakuti orang, konon dia kebal senjata tajam, pas datang ke kebun kita nakuti karyawan m
Pesta kami akhirnya digelar juga, tamu undangan sangat banyak, karena ini pesta dua keluarga mempelai, tamu Pak Parlin banyak yang datang. Papan bunga berjejer sampai jauh. Tak disangka Pak Parlin yang orang desa ini punya banyak teman di kota. Bahkan ada beberapa perwira polisi yang kirim papan bunga.Ketika pesta berlangsung, ada yang panggil Pak Parlin naik ke pentas.“Saya berharap Coboy Padang Lawas bersedia menyumbangkan suara emasnya, saya rindu Ungut-ungut,” kata pria di atas panggung tersebut, entah siapa dia aku tidak mengenalnya. Akan tetapi setelah itu Pak Parlin naik ke panggung, dia minta seruling dan memainkan seruling tersebut.“Saya akan menyanyikan lagi nasehat perkawinan, mohon maaf ini lagu daerah, jadi mohon maaf yang tidak mengerti,” kata Pak Parlin seraya memainkan seruling tersebut. Duhai, suaranya menyayat hati, aku tak mengerti lagu itu, akan tetapi nada
“Bang, bisa minta tolong,” kataku pada Bang Torkis, saat itu kami lagi tiduran di kamar.“Apa itu, Dek Yu?”“Itu Kak Yanti, kasihan Bang Bayu, bisa gak buat Kak Yanti pulang?” kataku seraya mempermainkan kancing bajunya.“Gak bisa, Dek, kata Pak Parlindungan hanya bisa yang berhubungan dengan kita,”“Maksudnya, Bang?”“Misalnya kau yang lari, Dek, baru bisa kubuat pulang, kalau istri orang gak bisa,”“Oh, gitu, berarti aku gak bisa lari ini ya, Bang,”“Iyalah, hehehe,”“Kasihan Bang Bayu, Bang,”“Justru lebih kasihan jika Kak Yanti kembali, dia akan menderita punya istri seperti Kak Yanti, malah lebih bagus Kak Yanti gak usah datang, ini karena baru itu, lama-lama Bang Bayu
“Apakah tak ada toilet di sini, Bang?” tanyaku lagi.“Adanya cuma di rumah Pak Parlin,”“Waduh, sudah jauh,”“Ya, iya, Dek, buang air di situ saja, aku yang jaga,” kata Bang Torkis.Tak ada pilihan lain lagi, rumah Pak Parlin jauh, sementara aku sudah kebelet, akhirnya aku turun ke sungai kecil tersebut. Ini untuk pertama kali dalam hidupku aku buang air di tempat seperti ini.Setelah selesai, ketika aku hendak memakai celana, aku melihat ada yang nempel di kakiku, coba kupegang ternyata licin.“Itu lintah, Dek,” kata Bang Torkis.Mendengar kata lintah seketika aku takut, reflek aku melompat ke gendongan Bang Torkis. Suamiku ini pun menyingkirkan lintah kecil tersebut dari kakiku. Kebetulan pula lewat dua orang ibu-ibu, mereka membawa kayu bakar.“Astagfirullah, dari segitu banyak tempat, kalian pilih di sini,” kata Ibu t
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga