“Baiklah, Ayu, aku hargai keputusanmu, akan tetapi aku tetap menunggu sampai kau siap,” kata Bang Torkis seraya pergi.
Aku tetap pada pendirian, tak sanggup rasanya punya suami seperti Bang Torkis bukan karena dia jahat, akan tetapi entah kenapa dia seperti mengundang orang berbuat jahat. Kak Yanti contohnya, dia selama ini baik, biar pun matre, akan tetapi pada dasarnya dia baik, kami sangat akrab. Setelah Bang Torkis datang, dia berubah jadi koruptor, bahkan bekerja sama dengan penculik meninggalkan suaminya. Aku tak bisa bayangkan bagaimana kehidupanku jika jadi istri Bang Torkis.“Apaaa, gak jadi?” kata Kak Lana ketika kukatakan tentang pernikahan yang batal.
“Iya, Kak, batal,”
“Kamu kenapa sih? Ayu, kita harus bicarakan ini dengan semua keluarga,” kata Kak Lana seraya mengambil telepon dan menghubungi semua orang.
Tak berapa lama kemudian, seluruh keluargaku berkumpul,
Betul juga kata orang tua, seseorang bisa kalah dengan egonya sendiri. Itu terjadi padaku, karena tak rela Bang Torkis sama Naomi, aku mau nikah saat itu juga, akan tetapi ternyata aku dikerjai. Orang tuaku sepertinya terlibat.Aku kembali masuk kamar, tak jadi kutanyakan pada Pak Parlin, sampai di kamar aku munyun.“Kenapa, Dek Yu?” tanya Bang Torkis.“Aku dikerjai, Bang,”“Siapa yang ngerjai, bilang sama Abang biar Abang balas,” kata Bang Torkis.“Abang gak akan berani,”“Berani, Dek, selama orang itu masih makan nasi, Abang gak takut,” kata Bang Torkis.“Yakin, Bang,”“Yakin sekali, Dek, adek tau gak, pernah datang preman ke kebun, dia sangat ditakuti orang, konon dia kebal senjata tajam, pas datang ke kebun kita nakuti karyawan m
Pesta kami akhirnya digelar juga, tamu undangan sangat banyak, karena ini pesta dua keluarga mempelai, tamu Pak Parlin banyak yang datang. Papan bunga berjejer sampai jauh. Tak disangka Pak Parlin yang orang desa ini punya banyak teman di kota. Bahkan ada beberapa perwira polisi yang kirim papan bunga.Ketika pesta berlangsung, ada yang panggil Pak Parlin naik ke pentas.“Saya berharap Coboy Padang Lawas bersedia menyumbangkan suara emasnya, saya rindu Ungut-ungut,” kata pria di atas panggung tersebut, entah siapa dia aku tidak mengenalnya. Akan tetapi setelah itu Pak Parlin naik ke panggung, dia minta seruling dan memainkan seruling tersebut.“Saya akan menyanyikan lagi nasehat perkawinan, mohon maaf ini lagu daerah, jadi mohon maaf yang tidak mengerti,” kata Pak Parlin seraya memainkan seruling tersebut. Duhai, suaranya menyayat hati, aku tak mengerti lagu itu, akan tetapi nada
“Bang, bisa minta tolong,” kataku pada Bang Torkis, saat itu kami lagi tiduran di kamar.“Apa itu, Dek Yu?”“Itu Kak Yanti, kasihan Bang Bayu, bisa gak buat Kak Yanti pulang?” kataku seraya mempermainkan kancing bajunya.“Gak bisa, Dek, kata Pak Parlindungan hanya bisa yang berhubungan dengan kita,”“Maksudnya, Bang?”“Misalnya kau yang lari, Dek, baru bisa kubuat pulang, kalau istri orang gak bisa,”“Oh, gitu, berarti aku gak bisa lari ini ya, Bang,”“Iyalah, hehehe,”“Kasihan Bang Bayu, Bang,”“Justru lebih kasihan jika Kak Yanti kembali, dia akan menderita punya istri seperti Kak Yanti, malah lebih bagus Kak Yanti gak usah datang, ini karena baru itu, lama-lama Bang Bayu
“Apakah tak ada toilet di sini, Bang?” tanyaku lagi.“Adanya cuma di rumah Pak Parlin,”“Waduh, sudah jauh,”“Ya, iya, Dek, buang air di situ saja, aku yang jaga,” kata Bang Torkis.Tak ada pilihan lain lagi, rumah Pak Parlin jauh, sementara aku sudah kebelet, akhirnya aku turun ke sungai kecil tersebut. Ini untuk pertama kali dalam hidupku aku buang air di tempat seperti ini.Setelah selesai, ketika aku hendak memakai celana, aku melihat ada yang nempel di kakiku, coba kupegang ternyata licin.“Itu lintah, Dek,” kata Bang Torkis.Mendengar kata lintah seketika aku takut, reflek aku melompat ke gendongan Bang Torkis. Suamiku ini pun menyingkirkan lintah kecil tersebut dari kakiku. Kebetulan pula lewat dua orang ibu-ibu, mereka membawa kayu bakar.“Astagfirullah, dari segitu banyak tempat, kalian pilih di sini,” kata Ibu t
“Siapa Azizah, Bang?” tanyaku pada Bang Torkis, saat itu kami lagi berduaan di kamar. Bu Nia memberikan kamarnya satu untuk kami, karena aku tak mau tinggal di gubuk yang berada di tengah kebun sawit.“Hanya masa lalu, Dek?” jawab Bang Torkis.“Kenapa gak pernah cerita, Abang bilang gak pernah punya pacar,”“Dia bukan pacarku, Dek, tapi teman, ceritanya panjang,”“Coba ceritakan, Bang,” kataku seraya duduk bersila.Bang Torkis menarik nafas panjang, lalu ....“Dia anak tukang emas itu, Dek, setiap bulan aku menabung dengan beli emas karena itu kami sering jumpa, dia membantu orang tuanya.”“Terus pacaran gitu?”“Tidakkah, Dek, dia dijodohkan orang tuanya dengan seorang Tentara yang masih sepupunya, dia gak mau, akan tetapi terus dipaksa,’“Lalu lari sama Abang gitu,” potongku lagi.&ldq
Rara, Mencintai Bukan Berarti Memiliki.Aku masih berumur delapan tahun ketika Bapak membawa kami ke daerah terpencil. Jauh di pelosok Sumatra Utara. Bapak yang seorang dokter memilih mengabdi di desa, jadi satu-satunya dokter di salah satu puskesmas yang baru berdiri. Konon bapak dokter pertama yang bertugas di kecamatan tersebut.Aku punya dua Ibu, Ibu kandung dan Ibu sambung, Ibu dan bapak bercerai, kemudian sama-sama menikah lagi. Aku masih ingat perkataan Ibu kandung ketika mereka bercerai.“Seumur hidup itu terlalu lama, Rara, Ibu tidak akan sanggup sampai seumur hidup,” begitu kata Ibuku.Saat itu aku bimbang harus memilih ikut siapa, jika kupilih ikut Ibu, ada Ayah sambung, jika kupilih ikut ayah, ada Ibu sambung.“Masih juga seperti itu, sibuk memikirkan orang sampai lupa pada keluarga sendiri,” itu perkataan Ibu kand
Rara, Mencintai Tak Harus Memiliki.“Aku larang dia kerena aku sayang sama dia, biarpun dia anak tiriku, tapi aku peduli, tidak seperti Papa yang hanya peduli sama orang,” terdengar Ibu sambungku bicara dengan keras.Mungkin bapak memang terlalu baik, bahkan rela mengabdi di desa terpencil seperti ini. Bapak bahkan pernah mencari-cari orang untuk dibantu modal usaha. Aneh memang orang tuaku ini.“Ma, kita sudah sepakat, tolong jangan singgung ke sana lagi. Kalau tidak tahan silakan pergi, aku sudah begini adanya,” kata bapak.“Oh, gitu ya, pantas saja papa ditinggalkan,” kata Ibu sambungku.Pertengkaran kedua orang tuaku terus lanjut, mereka saling adu argumen, Ibu tetap tidak setuju aku berteman dengan anak-anak desa, kata Ibu demi kebaika
Part 3Tamat SD, aku sudah mulai remaja, tanda-tanda kedewasaan mulai muncul. Aku sekolah di salah satu SMP negeri di kecamatan kami. Bang Pain tetap mondok di pesantren, pulangnya hanya sebulan sekali.Saat itu bulan Ramadhan, Bang Pain libur, aku juga libur sekolah. Biarpun sudah mulai dewasa, hobbyku tak pernah berubah. Masih suka nonton film India.Abangnya Bang Pain ada dua, adiknya satu, Bang Nyatan yang paling besar, baru Bang Parta, terus Bang Pain, lalu yang paling kecil sebayaku, namanya Dame. Makin lama aku makin akrab dengan keluarga itu. Kata Wak Domu-ayahnya Bang Pain, aku adalah anaknya. Dia bahkan menamaiku dengan nama orang Batak.Siang itu di bulan Ramadhan, rumah Bang Parlin ada keributan. Ibunya Bang Parlin memang terbiasa bicara keras, dari bicaranya aku dapat informasi, padi mereka hilang satu goni besar.Aku mendekat untuk menguping,